Nelayan- Petani Tambak Geruduk Balai Kota Surabaya, Tolak Reklamasi

- Nelayan dan petani tambak menolak proyek Reklamasi Surabaya Waterfront Land
- Forum Masyarakat Madani Maritim (FMMM) geruduk Balai Kota Surabaya untuk menolak proyek tersebut
- FMMM mendesak Walikota Surabaya dan Gubernur Jawa Timur untuk menyatakan penolakan secara administratif maupun di depan publik
Surabaya, IDN Times - Forum Masyarakat Madani Maritim (FMMM) yang terdiri dari elemen nelayan, petani tambak, pelaku umkm perikanan, mahasiswa, organisasi keagamaan, organisasi masyarakat dan masyarakat pesisir geruduk Balai Kota Surabaya, Senin (22/9/2025). Mereka datang untuk menolak proyek Reklamasi Surabaya Waterfront Land (SWL).
Kordinator umum, Forum Masyarakat Madani Maritim, Ramadhani Jaka Saputra mengatakan, aksi unjuk rasa ini Adalah imbas dari adanya forum rapat Kerangka Acuan (KA) Proyek Surabaya Waterfront Land yang dihadiri oleh PT. Granting, OPD Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya serta pihak terkait pada hari Kamis, 21 Agustus 2025.
"Kami merasa bahwa pelaksanaan konsultasi tersebut telah cacat secara prosedural. Hal tersebut dikarenakan proses pelibatan kelompok masyarakat dilakukan dengan tidak transparan," ujarnya, Senin (22/9/2025).
Dalam rapat yang mengundang OPD Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur serta dihadiri seluruh Camat di wilayah terdampak. Dalam rapat tersebut, pihaknya tidak menemukan komitmen penolakan. Justru, OPD dan camat bersikap normatif dan diam tanpa menegaskan penolakan yang jelas sesuai kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan elemen masyarakat FMMM.
"Kami menyayangkan sikap OPD di tingkat Kota dan Provinsi karena tidak bersikap tegas menolak Proyek Surabaya Waterfonrt Land sebagaimana komitmen Walikota Surabaya sesaat sebelum menjalani cuti kampanye PILWALI 2025," ungkap dia.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga seakan tidak peduli dengan hal tersebut. Mengingat perjuangan penolakan ini sudah lebih dari 1,5 tahun sejak Permenko Perekonomian RI No. 6 Tahun 2024 disahkan dengan menambahkan beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) termasuk Surabaya Waterfront Land.
"Kami telah menempuh dan melaksanakan berbagai upaya penolakan seperti unjuk rasa, audiensi, hearing dari tingkat Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur hingga Ke Pemerintahan Pusat termasuk pada Komisi IV DPR RI," tuturnya.
Namun, Perpres No. 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2025-2029 yang memuat 77 daftar Proyek Strategis Nasional sepertinya tidak mampu menjadi jawaban atas kegelisahan kami.
Meskipun Surabaya Waterfront Land tidak termasuk dalam 77 daftar PSN, nyatanya pengembang masih melanjutkan berbagai tahapan pra operasional. Saat ini pengembang telah mengantongi Perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dan saat ini sedang melanjutkan tahap pengurusan izin lingkungan yang baru sampai pada penyusunan Kerangka Acuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (KA ANDAL). "Kami memiliki dasar penolakan yang kuat secara akademik mengingat dampak pembangunan Surabaya Waterfront Land tidak hanya sekedar merusak dan menurunkan kualitas lingkungan, tetapi juga berdampak pada sosial dan perekonomian bagi masyarakat pesisir," jelas dia.
Pembangungan pulau buatan tersebut berdiri tepat pada habitat udang, kerang, teripang, ikan dan berbagai komoditas perikanan lainnya. Hal tersebut justru bertentangan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto mengenai ketahanan pangan. Ketika habitat tersebut hilang maka ketahanan pangan bidang perikanan akan terganggu mengingat selat tersebut tidak hanya dimanfaatkan oleh nelayan Surabaya saja, melainkan nelayan madura, sidoarjo, pasuruan, probolinggo dan berbagai daerah lainnya.
"Selain itu, kami juga sangat meragukan pengembang yakni PT. Granting Jaya karena tidak memiliki rekam jejak sebagai Perusahaan yang bergerak dibidang property yang jelas. Justru beberapa track record seperti ambrolnya wahana prosotan kenpark, rendahnya serapan PAD Atlantis Land, dan berbagai rekam buruk lainnya," kata dia.
Pada 8 September 2025 lalu, FMMM telah melakukan audiensi dengan Asisten 1 Wali Kota Surabaya. Pihaknya memberikan tiga tuntutan yakni, agar Walikota Surabaya berkenan memberikan nota permohonan pencabutan PKKPRL kepada KKP RI dan penghentian proses penerbitan izin lingkungan (AMDAL), mengintruksikan seluruh jajaran Pemkot Surabaya untuk membersamai perjuangan penolakan Surabaya Waterfront Land.
"Kemudian 10 September 2025, Asisten 1 Walikota Surabaya mengundang perwakilan Forum Masyarakat Madani Maritim untuk bertemu dengan Sekda Kota Surabaya. Namun, hasil pertemuan tersebut justru membuat kemarahan warga semakin memuncak, karena gaya dan komunikasi Sekda Kota Surabaya seolah menantang kami untuk melaksanakan demonstrasi dengan berabagai jawaban dan argumen yang arogan, tidak serius, serta berbagai candaan yang menurut kami tidak lucu. Sebab berbagai jawaban yang dijawab dengan candaan justru merendahkan perjuangan kami," terang dia.
Atas hal tersebut, FMM kemudian menggelar aksi. Aksi digelar karena FMM merasa tidak adanya upaya serius dari Pemerintah untuk mengakomodir aspirasi kami melalui jalur dialog.
Adapun tiga poin tuntutan sebagai berikut:
1. Mendesak Walikota Surabaya dan Gubernur Jawa Timur beserta jajaran untuk menyatakan penolakan Surabaya Waterfront Land baik secara administratif maupun di depan publik.
2. Mendesak Walikota Surabaya dan Gubernur Jawa Timur untuk mengirimkan nota permohonan pencabutan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
3. Mendesak Walikota Surabaya dan Gubernur Jawa Timur untuk mengirimkan nota permohonan permohonan pemberhentian proses penerbitan izin lingkungan (AMDAL) kepada Kementerian Lingkungan Hidup RI.
"Apabila 3 poin tuntutan tersebut tidak terpenuhi dalam 3x24 Jam, kami akan meningkatkan eskalasi gerakan lebih besar dan massif," pungkas dia.