Sertifikat Tanah Elektronik dalam Sistem Hukum Indonesia

Kementerian ATR/BPN baru saja merilis kebijakan tentang sertifikat elektronik yang diatur dalam peraturan Menteri Agraria Tata Ruang Nomor 3 tahun 2023. Kebijakan tersebut merupakahn alih media untuk adaptasi di era digital. Alih media sertifikat dari analog menjadi digital merupakan keharusan. Tetapi ada beberapa catatan agar pemberlakuan sertifkat elektronik bisa terwujud.
Mengacu pada teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, efektifitas hukum dipengaruhi oleh tiga eleman atau unsur yaitu struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture).
Struktur hukum berkaitan dengan perangkat aparat pelaksana hukum atau organisasi yang menjalankan hukum. Dalam konteks program ini, pelaksaanaan yang dijalankan Kementerian ATR/BPN beserta mitra ATR BPN seperti notaris dan/atau PPAT, belum maksimal di bagian pemetaan karena sertifikat elektronik harus memastikan bidang tanah yang akan dialih media harus sesuai batas-batas.
Seringkali metode pengukuran sertifkat tahun lama, tidak sesuai sehingga menyebabkan bidang tanah yang telah bersertifikat harus diukur ulang untuk memastikan kesesuaian data digital dengan kondisi fisik tanah.
Mitra dari kementerian ATR/BPN yaitu notaris dan/atau PPAT sebagai pejabat yang membantu kantor pertanahan dalam pendaftaran tanah perlu diberikan pemahaman lebih lanjut. Misalnya terkait sertifkat yang awalnya analog menjadi elektronik karena ada beberapa perubahan seperti yang awalnya penulisan mengunakan nomor sertifkat berubah menjadi Nomor induk bidang. Hal ini akan berpengaruh terhadap penulisan dalam akta yang menjadi bukti otentik berkaitan dengan perbuatan hukum.
Dalam lelang, perubahan nomor sertifikat menjadi elektronik akan berpengaruh dalam objek lelang yang berubah karena sebelumnya menggunakan nomor sertifikat, berubah menjadi nomor induk bidang sehingga tidak sesuai dengan akta pemberian hak tanggungan dan perjanjian kredit sehingga tidak bisa didaftakan lelang karena ada perbedaan data. Dengan demikian akan berdampak pada Not Performing Loan yang mempengaruhi performa bank.
Berikutnya, substansi hukum (substance of the law). Dalam aturan alat bukti hukum acara yang berlaku di Indoensia masih menggunakan HIR atau RBG. Produk hukum tersebut merupakan warisan dari pemerintah Hindia Belanda dan belum diubah saat ini, sehingga alat bukti elektronik dalam pembuktian di pengadilan masih menggunakan ketentuan manual. Artinya, masih perlu fisiknya dihadirkan di pengadilan dan mendatangkan kantor pertanahan setempat untuk membuktikan keaslian dari sertifakat yang menjadi bukti di pengadilan.
Penulisan akta PPAT dalam akta jual beli atau akta yang membuktikan perbuatan hukum atas hak atas tanah sebagaimana diatur dalam peraturan agraria/kepala badan nomor 8 tahun 2012 masih menggunakan ketentuan penulisan sertifikat tanah bukan nomor induk bidang.
Lalu, budaya hukum (legal culture). Karena literasi digital Indonesia yang masih rendah, ditakutkan menjadi hambatan dalam penerapan sertifikat elektronik di Indonesia. Hal itu dipengaruhi adanya arus infrastruktur telekomunikasi (internet) yang masih rendah dan belum merata di tanah air. Kebiasaan masyarakat dalam melakukan transaksi jual beli tanah yang masih melalui lembaga yang tidak semestinya yaitu PPAT dan tidak didaftarakan di kantor pertanahan setempat membuat data dan kondisi fisik bidang tanah menjadi tidak sesuai dan membuat disparitas antara kondisi sesungguhnya dan data digital yang ada di masyarakat.
Permasalahan yang menjadi penghambat pelaksanaan program sertifikat elektronik perlu diselesaikan dengan cara sinergi dan harmonisasi peraturan terkait dengan pembuktian dengan penyesuaian acara perdata sesuai kondisi era digital sekarang ini. Dengan mengakomodir alat bukti digital dan bisa diverifikasi secara sistem oleh lembaga pengadilan.
Pada prinsipnya sertifikat merupakan alat bukti kempemilikan hak atas tanah, sehingga sebagai bukti otentik sertifikat harus bisa membuktikan apa yang tertulis di dalam sertifikat tersebut. Terkait dengan penegakkan atau pelaksaaan hukum perlu adanya koordinasi dan penyuluhan hukum dari Kementerian ATR/BPN dengan pelaskasana hukum seperti Dirjen Kekayaan Negara yang membidangi lelang, Mahkamah Agung terkait dengan alat bukti di pengadilan, aparat penegak hukum sepertti kepolisisan dan kejakasaan, serta PPAT sebagai mitra strategis Kementerian ATR/BPN sebagai yang terdepan pelayaan terhadap masyarakat.
Program sertifikat elektronik bertujuan baik, yakni mempersempit ruang gerak mafia tanah dan pentingnya pembaharuan data pertanahan sehingga tidak menimbulkan data yang tidak sesuai dengan kondisi semestinya. Dalam hal ini Kementerian ATR/BPN bisa menggandeng PPAT sebagai mitra yang bertugas membantu kantor pertanahan dalam rangka pendaftaran tanah.
Penulis: Dhenis Prabowo Sakti, S.H,M.Kn
Notaris/PPAT/Pejabat Lelang Kelas II/NPAK