Ricuh Mahasiswa Papua, Soekarwo Usul Asrama Bhineka Tunggal Ika

Surabaya, IDN Times - Gubernur Jawa Timur (Jatim), Soekarwo buka suara soal aksi Papua Merdeka yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Surabaya, Sabtu (1/12) lalu. Menurutnya, aksi tersebut karena masyarakat Papua masih merasa terpinggirkan dan belum mendapat keadilan penuh. Rasa terpinggirkan ini menurutnya muncul karena mereka belum menyatu dengan masyarakat sekitar.
1. Mahasiswa Papua dinilai belum berbaur dengan sekitar sehingga merasa terpinggirkan

Pakde Karwo sapaan akrab Gubernur Jatim menilai selama ini mahasiswa Papua kurang berbaur dengan budaya sekitar alias kurang alkulturasi. Sebabnya, mereka selalu berkelompok dalam satu asrama.
"Begitu Papua ini menjadi daerah otonomi khusus yang uangnya banyak, hampir semua kabupaten berkompetisi membuat asrama sendiri-sendiri dan ada perbedaan fasilitas di setiap asrama kabupaten itu dan berujung konflik sendiri," ujarnya saat ditemui di Hotel Shangri La Surabaya, Senin (3/12).
2. Mahasiswa Papua bisa proses alkulturasi jika mau tinggal kos

Kalau saja, lanjut Pakde, para mahasiswa ini mau tinggal di kos, akan terjadi alkuturasi. Sehingga, mahasiswa Papua bisa mengenal lebih dekat kehidupan sekitarnya termasuk bisa berbaur dengan pemilik kos. "Karena sebetulnya yang bisa mengubah ekstremitas itu adalah persatuan dari etnik moral dan kultural," katanya.
3. Pakde usulkan asrama Bhineka Tunggal Ika agar tidak mengelompok

Pakde menambahkan, untuk solusinya adalah para mahasiswa jangan mengelompok. Kalau misalkan ada asrama campur saja dengan mahasiswa luar kota dari daerah lain. "Seperti dulu ada asrama Bhinneka Tunggal Ika yang diisi oleh mahasiswa dari berbagai daerah," terangnya.
4. Pendekatan humanis dan keadilan menjadi yang utama

Pakde juga mengatakan, saat ini yang perlu dilakukan yaitu mendekati para mahasiswa Papua dengan humanis dan keadilan. Menurutnya, pemerintah harus melakukan pencarian dasar permasalah dengan melibatkan psikolog. "Kita harus terus melakukan dialog jangan ada persona non grata," ucapnya.
5. Pakar komunikasi sebut perlunya pendampingan dan asrama dibuat tidak ekslusif dengan sekitar

Sementara itu, Pakar Ilmu Komunikasi Univeristas Airlangga, Suko Widodo senada dengan melihat akar masalah. Dia menyampaikan perlunya mengkaji cara-cara berkehidupan sosial, karena Papua berbeda dengan Surabaya. "Memang pendekatan kebudayaan di dalam menangani masalah ini jadi penting. Bahkan bahwa asrama itu harus dibuka, tidak eksklusif sehingga ada peluang dari mahasiswa Papua itu bisa berinteraksi dengan warga Surabaya," katanya.
Dia menambahkan, bahwa mahasiswa Papua perlu pendampingan. Tujuannya agar bisa menjadi sahabat yang memandu mengenalkan Kota Surabaya. "Kalau terjadi itu ada proses knowledge bisa punya panduan untuk berkehidupan di mana dia tinggal. Ini melibatkan juga selain masyarakat juga pihak pemerintah yang mengirim dan menerima mahasiswa tersebut," pungkasnya.