Nelayan Wonorejo Satu Suara Tolak Reklamasi Pantai Timur Surabaya

Surabaya, IDN Times - Masih seputar polemik reklamasi pantai timur Surabaya yang berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), kali ini IDN Times mendengar curahan hati seorang nelayan di daerah Wonorejo, Mukminin (46). Ia berasal dari Kelompok Usaha Bersama (KUB) Rukun Makmur yang didirikan pada tahun 2018.
Ia mengaku khawatir dengan adanya pembangunan mega proyek di daerah yang menjadi jantung kehidupannya. Tak berpasrah dengan keadaan, Mukminin sempat menyampaikan kegelisahannya melalui forum formal dan informal, seperti yang pernah dihadirinya di Komisi C DPRD Surabaya dan Kenjeran Park (Kenpark) Surabaya beberapa waktu silam.
1. Nelayan mengaku baru diajak berdiskusi setelah Proyek Strategis Nasional (PSN) ditandatangani Presiden

Menurut pengakuan Mukminin, ia dan nelayan-nelayan lain baru saja mendapat informasi seputar rencana reklamasi pantai timur Surabaya.
"Baru-baru ini (mendengar tentang rencana reklamasi). Sebelum itu ya gak tahu apa-apa. Tiba-tiba ada berita lautnya mau diurug. Kok katanya sudah dapat izin. Saya gak tahu itu benar atau tidak," ungkapnya saat ditemui IDN Times pada Rabu (07/08/2024) di kediamannya di daerah Wonorejo, Surabaya.
Yang mengejutkan lagi, tambah Mukminin, proyek ini ternyata sudah disetujui Presiden Joko Widodo jauh sebelum sosialisasi dilakukan kepada masyarakat setempat.
"Pas ada pertemuan sama PT. Granting di Kenpark, pihaknya (PT. Granting Jaya) sudah dapat izin dari presiden (untuk merealisasikan PSN). Informasinya sih seperti itu," tutur pria yang sejak belia sudah akrab dengan kehidupan laut ini.
Berdasarkan keterangan Mukminin, sayangnya pertemuan bersama PT. Granting Jaya itu belum membuahkan keputusan apa-apa. Mereka baru menjelaskan rencana proyek yang hendak dilakukan, belum memastikan jadi atau tidaknya reklamasi di pantai timur Surabaya. Terlepas dari itu, nelayan Wonorejo satu suara dalam menolak reklamasi, karena menurut mereka reklamasi pasti membuahkan dampak negatif.
"Dari teman-teman nelayan sudah (memberi) argumentasi, (reklamasi) itu merugikan, gak cocok buat nelayan. Bikin nelayan kehilangan penghasilan. Itu (reklamasi) belum ada keputusan seperti apa sih kelanjutannya. Tapi, pokoknya protes terus," terangnya.
Meski demikian, Mukminin tidak berhenti berharap agar pihak-pihak terkait sungguh mengkaji dampak reklamasi, tak hanya dari satu aspek saja, tetapi dari segala aspek mulai dari yang terkecil hingga terbesar.
"Kajian itu harus fair. Harus dimulai dari (dampak) sekecil apapun sampai sebesar apapun. Jangan ditunjukkan yang enak-enak saja. Misal yang diuntungkan pihak A, eh yang ditonjolkan si A terus, yang pihak lain gak (digubris). Ya, jangan seperti itu, harus fair," tandasnya.
2. Laut tidak terpisahkan dari kehidupan nelayan

Menurut cerita Mukminin, ia secara pribadi sebetulnya menolak segala aktivitas yang berpotensi merugikan nelayan, terutama aktivitas tersebut dilakukan di laut, tempat ia dan nelayan-nelayan lain menggantungkan hidup.
"Sebenarnya hati saya menolak. Alasan saya menolak ya karena takut. Di situ ada hajat hidup nelayan. Kalau itu sampai direklamasi, (dampaknya) nelayan kehilangan mata pencaharian, belum lagi ekosistem berubah," ungkapnya.
Dampak negatif yang terjadi setelah reklamasi, misalnya kemunduran ekosistem, tentu tidak bisa dipastikan pulih dalam waktu dekat. Reklamasi seringkali memengaruhi kualitas air, mengurangi keanekaragaman hayati, bahkan merusak kawasan mangrove. Pemulihan ekosistem semacam ini pasti membutuhkan waktu yang lama.
Tak hanya berbicara tentang dampak nelayan, Mukminin juga mengkhawatirkan dampak negatif yang dirasakan petani tambak.
"Kalau air laut keruh karena reklamasi, mereka (petani tambak) jelas tidak mau memasukkan air laut ke tambak udang atau bandeng. Dampaknya kan itu (air keruh) bisa menimbulkan kematian budidaya mereka. Terus, mau diairi apa?" katanya.
3. Banjir siap merendam kota

Berdasarkan keterangan Mukminin, melubernya air laut akibat reklamasi pasti tidak bisa dihindari lagi.
"Dampak banjir itu sudah pasti. Seribu hektare sebelum direklamasi kan tempatnya air, dan itu nggak sedikit. Setelah direklamasi, air-air itu larinya ke mana? Kan ke sungai. Sungai tidak muat larinya ke got, terus ke jalan, akhirnya bertamu ke rumah-rumah warga," urainya.
Seribu hektare adalah rencana luas lahan yang hendak direklamasi jika proyek ini tetap berlangsung. Dengan luas yang tidak sedikit ini, Kota Surabaya tentu mengalami tantangan baru. Debit air yang bertambah setiap tahunnya, menurut Mukminin, juga pasti terjadi karena adanya hujan.
"Belum lagi air pasang rob ditambah hujan, ini jadi dampak jangka panjang, lho," jelasnya.
Bagi Mukminin, reklamasi tidak hanya merugikan nelayan saja, tetapi juga warga Surabaya pada umumnya.
"Siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan (dari proyek reklamasi ini)? Kalau masalah yang dirugikan (dalam) jangka panjang, ya sudah pasti masyarakat," ujarnya.
Selain hilangnya mata pencaharian, banjir juga menjadi keresahan Mukminin. Ia mengaku selama ini daerah tempat tinggalnya tidak pernah tergenang banjir besar. Seandainya banjir karena curah hujan yang tinggi, banjir itu pasti cepat surut.
"Kalau dampaknya reklamasi ya pasti banjir. Entah jangka panjang atau jangka pendek, entah saat reklamasi atau setelahnya, pasti ada dampak buat masyarakat Surabaya," ungkapnya.
Mukminin juga menjelaskan, salah satu penyelesaian banjir di Surabaya adalah dengan meninggikan jalan. Di sisi lain, alternatif ini menyebabkan masalah baru, yaitu perbedaan tinggi antara jalan dan rumah-rumah. Jika kondisi ini terjadi, pastilah rumah-rumah yang lebih rendah dari jalan digenangi air.
"Buat yang punya uang, gampang saja rumahnya ditinggikan. Kalau nggak punya (uang), ya terpaksa menerima tamu-tamu yang tidak diundang tadi," katanya.
4. Membutuhkan kerja sama media dalam mengawal polemik ini

Berdasarkan pengakuan Mukminin, setiap hari ia mendapat kiriman berita-berita seputar reklamasi dari komunitas nelayan melalui grup WhatsApp.
"Ada saja media (berita) yang masuk di grup (WhatsApp). Ini baru masuk (berita) yang dari ITS," tuturnya.
Dengan masifnya pemberitaan seputar reklamasi, Mukminin berharap agar seluruh awak media bersikap jujur dan adil dengan melaporkan berita sesuai fakta yang mereka lihat dan dengar.
"Kadang-kadang ada (media) yang berpihak, jadinya tidak berimbang. Nah, itu jangan sampai ada lagi," ungkapnya.
"Jurnalis atau media itu kan intinya ingin peduli dengan kondisi sosial yang ada di wilayah sekitar, juga ikut memantau isu-isu yang ada di sekitar. Jadi, yang disampaikan ke publik haruslah sesuai kenyataan, jangan dibelokkan," terangnya.
Dengan pemberitaan terus-menerus, Mukminin berharap agar proyek reklamasi di pantai timur Surabaya dibatalkan demi kepentingan bersama.