Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Nelayan Wonorejo Mengaku Lebih Nyaman Melaut 

ilustrasi perahu nelayan. (IDN Times/Sifa).
ilustrasi perahu nelayan. (IDN Times/Sifa).

Surabaya, IDN Times - Proyek Surabaya Waterfront Land (SWL), yang menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN), dikhawatirkan berdampak negatif bagi kehidupan para nelayan. Dampak ini sangat dirasakan nelayan, mengingat proyek tersebut dilangsungkan dengan mereklamasi pesisir pantai untuk dijadikan kawasan bisnis, perumahan, dan fasilitas publik. Padahal, pantai dan laut adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan nelayan.  

Salah satu nelayan Wonorejo yang khawatir dengan kelangsungan mata pencahariannya adalah Mukminin (46). Ia mengaku keberatan jika harus meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan. Ia khawatir dengan nasib keluarganya jika laut tidak bisa lagi diandalkan dalam mengais rezeki. Itulah sebabnya, ia dan para nelayan lain tak henti-hentinya menyuarakan protes.

1. Nelayan merasa berat hati meninggalkan pekerjaannya

Ilustrasi nelayan. (unsplash.com/Cassiano Psomas)
Ilustrasi nelayan. (unsplash.com/Cassiano Psomas)

Menurut pengakuan Mukminin, PT Granting Jaya belum memberikan kejelasan tentang proyek reklamasi ini. Ia juga bercerita, dirinya belum pernah mendapat alternatif pekerjaan lain, seandainya nelayan kehilangan pekerjaan akibat proyek senilai Rp72 triliun ini. 

"Ditawari jadi satpam, tukang sapu, atau kuli gitu ya maksudnya? Belum, belum pernah ada tawaran-tawaran seperti itu," terangnya saat ditemui IDN Times pada Rabu (7/8/2024) di kediamannya di daerah Wonorejo, Surabaya.

Seandainya ada tawaran alternatif, Mukminin mengaku keberatan jika harus meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan. Menurutnya, semua nelayan termasuk dirinya tidak terbiasa bekerja dengan waktu yang teratur, misalnya seperti pekerja kantoran yang harus mencari rezeki mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.00. 

“Nelayan kan kerjanya nggak dalam tekanan. Fleksibel aja. Kalau saya terbiasa bebas dan gak dalam tekanan, kayaknya (pekerjaan baru) itu gak nyaman,” ungkapnya.

Mukminin mengaku, barangkali tak hanya dirinya yang merasa tidak nyaman, tapi juga para nelayan lain. Mereka sudah terbiasa hidup bebas. Belum lagi faktor alam seperti musim panen yang menurut mereka cukup menjanjikan secara ekonomi.   

"Nelayan itu ketika musim (panen) ya hasilnya bisa melebihi UMR. Tapi, kalau misalkan terjadi reklamasi, ya gak tahu, apa yang nelayan rasakan. Yang pasti, pendapatan akan menurun karena lahannya sudah gak ada," tuturnya. 

Menurut pengakuan Mukminin, 1.000 hektar luas lahan yang hendak direklamasi bukanlah jumlah yang sedikit. Lahan seluas itu biasanya digunakan nelayan untuk mencari ikan, kerang, kepiting, dan hasil laut lain yang memiliki nilai jual.  

“Nggak hanya saya, teman-teman nelayan itu intinya semua resah. Soalnya kan kita hidup dan makan gak dijamin PT Granting, pemerintah juga gak (menjamin). Kita berusaha sendiri, kita bergantung dengan alam," curhatnya.

Mukminin juga menegaskan, tidak semua nelayan mau beralih profesi, seandainya PT Granting Jaya menawarkan alternatif pekerjaan lain.    

"Kalau diiming-imingi peluang kerjaan sama PT Granting, iya kalau cocok (pekerjaannya). Biasanya kan kami hidup bebas. Nggak semua orang mau (berganti profesi),” pungkasnya.

2. PT Granting Jaya tawarkan pembuatan dermaga

Ilustrasi nelayan melaut. (freepik.com)
Ilustrasi nelayan melaut. (freepik.com)

Menurut pengakuan Mukminin, ia tidak akan menukarkan pekerjaannya sebagai nelayan dengan alternatif pekerjaan lain. Seandainya diberi fasilitas baru untuk kepentingan melaut, misalnya kapal yang layak, Mukminin tetap akan menolak. Katanya, fasilitas-fasilitas itu tidak menjamin kelangsungan mata pencahariannya apabila reklamasi tetap dilakukan. 

"Kalau saya sih intinya tetap menolak (reklamasi). Waktu sosialisasi, PT Granting menyampaikan akan dibuatkan dermaga untuk nelayan. Perahu dan alat tangkap juga bakal mereka ubah. Tapi, argumen saya tetap (menolak)," tandasnya.

Mukminin menjelaskan, hanya ada tiga kebutuhan nelayan, yaitu alat tangkap yang memadai, perahu yang layak, dan ikan-ikan yang bisa ditangkap. Dengan begitu, nelayan bisa melakukan pekerjaannya dengan efektif.

"Alat tangkapnya canggih, tapi ikannya gak ada, ya percuma," ujarnya.

Menurut Mukminin, meski PT Granting Jaya berencana membuatkan dermaga yang canggih, upaya itu menjadi tidak berarti sebab nelayan tetap kehilangan laut beserta ikan-ikannya. Bagi Mukminin, percuma saja, karena tidak ada lagi hasil tangkapan yang bisa dibawa ke dermaga.  

Kata Mukminin, dampak proyek reklamasi pasti jauh lebih besar dibandingkan dampak paceklik. Di musim paceklik, nelayan tetap akan mendapat penghasilan meskipun tidak sebanyak saat musim panen.  

3. Pekerjaan sebagai nelayan sudah cukup menjanjikan

Ilustrasi kapal nelayan. (freepik.com/frimufilms)

Menurut keterangan Mukminin, meski pekerjaan sebagai nelayan kerap mengalami pasang surut, ia dan nelayan lain tetap bisa mendapatkan penghasilan meski tidak melimpah. 

"Sekarang ini kan musim paceklik. Tapi, kalau saya cari kepiting ya masih dapat penghasilan. Tadi ini saya dapat (uang) lebih dari Rp300 ribu. Kalau kemarin (dapat uang) Rp500 ribu-an," jawabnya sembari menunjukkan slip penjualan hasil laut. 

Mukminin selalu memilih pengepul yang bisa memilah hasil tangkapannya dengan baik sekaligus membeli hasil tangkapan tersebut dengan harga tinggi. Menurutnya, pekerjaan sebagai nelayan seperti ini cukup menjanjikan. 

"Kalau saya disuruh (memilih) jadi kuli atau nelayan, ya pilih nelayan. Ya karena itu tadi, nelayan tidak tertekan, (jam kerjanya) bebas. Beda sama kuli batu yang berangkat jam 8 (pagi) pulang jam 4 (sore). Kalau nelayan, pengen di rumah siang, ya berangkat (melaut) nanti sore. Kalau pengen di rumah malam, ya berangkat (melaut) nanti siang atau pagi," ungkapnya. 

Kata Mukminin, jam kerja yang fleksibel digabungkan dengan penghasilan yang menjanjikan menjadi kenyamanan tersendiri. Apalagi saat musim panen, ia mengaku pernah mendapatkan uang jutaan rupiah dalam satu hari. Sebaliknya, saat musim paceklik, total pendapatan perhari yang bisa ia kumpulkan sekitar Rp200 ribu.    

Menurut Mukminin, penghasilan ini sebenarnya sudah cukup bagi dirinya dan keluarganya. Namun, wacana reklamasi yang baru-baru ini mencuat membuatnya resah. Reklamasi pasti mengancam sumber penghasilannya. 

"Kita harus bisa jaga alam, agar alam juga berbuat baik kepada manusia. Kalau alam dirusak oleh manusia, ya dampaknya kan pasti ke manusia itu sendiri. Seperti saya yang gak ikut merusak, gak ikut menikmati hasil reklamasi, tapi dampaknya kan saya tetap dapat," keluhnya. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Talita Hariyanto
EditorTalita Hariyanto
Follow Us