Gundih, Melawan Stigma ‘Kawasan Merah’ Lewat Kampung Pancasila

- Kampung Gundih di Surabaya berubah dari 'Kawasan Merah' premanisme menjadi kampung yang asri dan bersih.
- Perubahan ini didorong oleh kesadaran warga, pembangunan fisik, dan upaya pemberdayaan sosial dan ekonomi.
- Program Kampung Pancasila dari Pemerintah Kota Surabaya mendapat apresiasi dari pemerintah pusat sebagai solusi untuk mengatasi masalah sosial di masyarakat.
Surabaya, IDN Times - Sinar matahari merayap pelan di Jalan Demak, Kelurahan Gundih, Kecamatan Bubutan, Kota Surabaya, Minggu (12/10/2025) pagi. Udara panas ‘metropolitan’ bercampur aroma besi tua dan pelumas melebur bersama suara kegiatan pagi. Berbelok sedikit dari keramaian Jalan Demak, tepatnya di Jalan Demak Timur RW 06 suasana seketika berubah. Pemukiman padat penduduk itu jauh dari kesan kumuh.
Di sudut Jalan Demak Timur Gang 6, sekelompok warga sibuk dengan galon bekas, pupuk kompos, hingga bibit tanaman. Tangan mereka cekatan mencampur pupuk dengan tanah, lalu memindahkan media tanam ke galon yang telah disulap jadi pot. Tanaman yang belum sepenuhnya berkembang itu pun perlahan ditata sedemikian rupa di berbagai sudut kampung. Suasana yang tadinya gersang di bawah bayang-bayang pusat perdagangan Kota Pahlawan pelan-pelan mulai tersamar, kini berganti asri.
Warga juga disibukkan ‘melayani’ ribuan ulat magot yang lahap memakan sampah sisa dapur dari setiap rumah. Sebagian lagi repot memilah magot yang siap ditimbang untuk jadi cuan. Di sudut lain, tetenger plakat ‘Bank Sampah Makmur VI’, jadi tempat puluhan kilogram sampah non organik ditumpuk untuk dijual. Warga kampung berprinsip, sampah yang keluar dari wilayah tersebut harus seminimal mungkin. Alhasil, kampung dengan paving berhias cat hijau bercorak kuning tersebut bersih, nyaris tak ada sampah di sepanjang jalan.
Pemukiman asri nan enak dipandang itu bukan hasil dari ‘abrakadabra’. Sekitar era 1990an, Gundih pernah mendapat stigma sebagai 'Kawasan Merah' premanisme. Letaknya yang tak jauh dari Pusat Grosir Surabaya (PGS), Pasar Turi, Pasar Loak Dupak, Stasiun Surabaya Pasarturi hingga beberapa pergudangan membuat Gundih tak lepas dari urbanisasi masyarakat. Latar belakang masyarakat berbeda-beda inilah yang memunculkan berbagai persoalan sosial. Setidaknya itu yang diceritakan oleh warga setempat bernama Dhyna.
Selepas merapikan tanaman, Dhyna duduk sejenak menemui IDN Times, mengenang masa kelam kampungnya. Menurut Dhyna, apa yang terlihat hari ini jauh berbeda dengan yang ia saksikan sekitar 20 atau 30 tahun lalu. Kata Dhyna, gerombolan warga yang sedang menenggak minuman keras adalah pemandangan harian di kampung Gundih. “Iya, dulu itu begitu (banyak orang minum minuman keras). Ada satu orang terus ngajak temannya dari luar ke sini,” ujar Dhyna.
Yang paling mencekam, kala ia duduk di bangku SMA tahun 1990-an. Sekelompok orang di kampungnya terlibat aksi tawuran. Dhyna ingat betul, saat itu kampungnya sedang ada bazar, tiba-tiba terjadi salah paham antar warga. Suasana mendadak gaduh, senjata tajam pun melayang hingga menyebabkan warga bersimbah darah. “Warga itu kan suka gank-gank-an gitu, sampai ada penusukan, pas wayahe bazar itu, karena ada salah paham. Itu tahun 90-an, akeh preman bener itu, arek-arek enom cangkruk, terus kesenggol titik dadi tersinggung, akhir e tukaran,” ungkap dia.
Wakil Ketua RT 06 RW 06, Kelurahan Gundih, Yusuf turut mengenang. Label 'Kawasan Merah' diperparah dengan kondisi kampung yang kala itu masih kumuh. Bahkan, di awal tahun 2000-an, banjir menjadi tamu tahunan di kala musim hujan datang. "Tinggi airnya itu sampai betis orang dewasa," ujar Yusuf.

Pelan-pelan, warga mulai punya kesadaran, mereka mengubah wajah kampung agar indah dipandang. Secara swadaya warga memasang paving agar tak lagi becek, mempercantik jalanan dengan cat, menanam tanaman di setiap rumah hingga menghias gapura. “Wilayah Demak Timur di RW 6 itu yang membangun paving dari swadaya masyarakat kita RT 6 yang mengawali, yang lainnya menyusul,” jelasnya.
Hasilnya, kampung ini pun menjadi langganan penerima penghargaan dari Pemerintah Kota Surabaya dan pemerintah pusat. Kampung ini pernah meraih juara Harapan 1 Kampung Green and Clean, juara 2 Kampung Green and Clean dan pernah mendapat prestasi sebagai 25 gapura terbaik di Indonesia.
Menurut Yusuf, perubahan fisik perlahan bisa mengubah cara hidup warganya. Lambat laun, orang mabuk-mabukan mulai menyingkir. Tindak kejahatan pun hilang dengan sendirinya. Yusuf bilang, lingkungan bersih bikin warga yang hendak melakukan tindakan negatif merasa segan. "Yang terpenting sekarang, kepedulian, peran serta warga, ketika kita memperindah kampung dan menjaga kampung, dengan sendirinya tindakan negatif semakin hilang dengan adanya kegiatan positif,” ungkapnya.
Dia menilai, tindakan negatif yang pernah terjadi di kampung tersebut dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya masalah sosial ekonomi. Kemandirian sosial dan ekonomi inilah yang terus diperjuangkan oleh Yusuf dan warganya. Salah satu upaya kecil yang ia lakukan misalnya dengan menanam tanaman pangan. “Ini ada cabai, terong, bunga kol, hasil panen bisa dinikmati sendiri oleh warga nanti bisa beli dengan harga yang lebih murah untuk menambah kas RT, kalau sudah semakin banyak bisa juga dijual ke warga kampung lain, selain sedap dipandang juga menghasilkan uang,” ungkap Yusuf.
Ikhtiar untuk membuang jauh masalah sosial di kampung tempatnya tumbuh ini juga dilakukan dengan membuka lapangan kerja. Yusuf yang memiliki usaha susu etawa di gang kecil depan rumahnya pun mempekerjakan lebih 20 orang warga. Walau hanya level Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM), Yusuf yakin bisa memberikan imbas kepada ekonomi kampung tersebut. “Sekarang kita fokus bagaimana peningkatan dan pengembangan ekonomi,” tuturnya.

Menyelesaikan masalah sosial di kampung tersebut bukanlah beban yang hanya diemban oleh Yusuf dan pengurus RT maupun RW. Warga kampung sadar, ini adalah tanggung jawab bersama. Hal sederhana yang dilakukan warga adalah menguatkan solidaritas ekonomi melalui dukungan terhadap usaha-usaha kecil milik warga. Setiap ada hajatan misalnya, kebutuhan kue harus dibeli dari usaha milik warga. Dengan demikian, roda ekonomi di kampung tersebut terus berputar.
Enggan kembali pada masa kelam, warga punya prinsip untuk gotong royong agar jauh dari masalah kemiskinan, salah satunya lewat koperasi simpan pinjam dengan nama 'Koperasi Makmur 6' yang berdiri sejak tahun 1980-an. Koperasi itu dipertahankan dan dikelola secara mandiri oleh ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), tujuannya agar tak lagi ada warga yang terjerat utang di tengah maraknya Pinjaman Online (Pinjol).
Ketua RT 06, RW 06, Arum mengatakan, koperasi Simpan Pinjam Makmur dibentuk karena dulu warga kerap terjerat utang di rentenir. 'Koperasi Makmur 6' menjadi alternatif warga yang sedang membutuhkan, mulai untuk keperluan sekolah anak, hingga tambahan modal usaha bagi UMKM sekitar.
Alih-alih memberatkan, penyimpan dan peminjam sama-sama mendapat keuntungan lewat Sisa Hasil Usaha (SHU) yang akan dibagi setiap Lebaran. Pembagiannya pun beragam, tergantung besaran uang yang disimpan dan dipinjam. "Kita tidak ada bunga, tapi ada biaya admin 10 persen di awal saja, kredit pinjaman dengan tenor 4 bulan. Kalau ada sisa (dari SHU) nanti akan digunakan untuk tambahan uang tur (jalan-jalan bersama), setiap tahun kita ada tur," ujar Arum.

Usaha menjauh dari masalah sosial juga dilakukan dengan konsep warga bantu warga. Arum bercerita, beberapa pekan lalu, seorang lansia di kampungnya hidup di dalam sebuah rumah yang kumuh dan penuh barang-barang bekas. Merasa iba, warga berbondong-bondong ke rumah lansia itu untuk kemudian membersihkan seluruh isi rumahnya. “Dia sudah sepuh, kita bantu bersihkan rumahnya, kan kasihan banyak tikus dan sebagainya, barangnya banyak, akhirnya orang-orang bantuin, sukarela,” ungkap dia. Ancaman dari pihak luar seperti pencurian dan perampokan pun tak lepas dari pengamatan warga setempat. Agar kampungnya tak diacak-acak penyamun, warga menggalakkan Siskamling. “Gak pernah ada maling di kampung ini, Alhamdulillah,” sebut dia.
Upaya mengubah stigma dan menjaga kampung juga melibatkan generasi muda, dalam hal ini Karang Taruna. Sekretaris Karang Taruna RT 06 RW 06, Dewi mengatakan, ide-ide acara menarik di kampung datang dari kalangannya. Peringatan HUT RI Ke-80 pada Agustus lalu, Kartar lah yang berjibaku mengurus segalanya. Lewat acara Tegal Desa dengan gunungan sayur dan buah, anak muda di kampung tersebut ingin generasi sesamanya tak lupa pada tradisi dan budaya. “Peringatan hari ibu kita juga buat acara, lomba jarik, lomba kreasi makanan dari bahan ubi dan jagung,” ungkap dia. Dewi percaya, ketika anak muda disibukkan dengan kegiatan positif di kampung, maka kenakalan remaja bisa ditekan.
Hasil dari segala upaya warga Gundih ini tak cuma terlihat dari kasat mata. Perbaikan kondisi sosial di sana juga bisa dilihat dari paparan data empiris. Menurut Badan Narkotika Nasional Kota (BNNK) Surabaya, tahun 2023 Kelurahan Gundih menjadi salah atau dari 24 kelurahan di Surabaya yang masuk dalam kategori bahaya narkoba. Tapi status tersebut berubah menjadi kategori aman pada tahun 2024.
Meski begitu, upaya ini harus dilakukan secara terus menerus. Penyakit sosial di sana bisa saja kambuh. Ini setidaknya tergambar dari data Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya tahun 2022 misalnya menyebut bahwa Jalan Demak, yang juga masih berada di Kelurahan Gundih masuk sebagai salah satu titik rawan tawuran. Area ini termasuk dari 33 kawasan lainnya di Kota Pahlawan.
Apa yang dilakukan warga kampung Gundih itu sejalan dengan cita-cita Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi. Ia ingin mewujudkan lingkungan di Surabaya sebagai Kampung Pancasila. Melalui program Kampung Pancasila, ia berharap akan terwujud perkampungan-perkampungan yang saling menolong, bergotong royong, dan saling menjaga. “Gerakan ini akan melibatkan seluruh elemen masyarakat, mulai dari RW, RT, Kader Surabaya Hebat, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK), Bunda PAUD, komunitas, hingga perguruan tinggi,” imbuhnya.
Ide ini, kata Eri, dilatarbelakangi atas keprihatinannya terhadap berbagai permasalahan sosial, terutama yang melibatkan anak-anak dan remaja. “Anak-anak tidak sepenuhnya salah, karena yang mereka lihat dan contoh sejak kecil hingga remaja adalah orang tuanya," ungkap Eri.
Konsep Kampung Pancasila ini juga dibarengi dengan pembentukan Satgas Kampung Pancasila di setiap RW dan RT. Satgas memiliki mandat yang luas, mulai mengawasi dan membina anak-anak muda, hingga berkolaborasi dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah kota dalam menjalankan tugasnya.
Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) itu menegaskan bahwa kesejahteraan sejati akan terwujud ketika setiap individu menyadari masalah yang ada di Kota Surabaya bisa diatasi secara bersamaan-sama. Tentu saja lewat warga jaga warga dan warga bantu warga. Kampung Pancasila tertuang dalam Keputusan Wali Kota Surabaya Nomor: 100.3.3.3/ 142/436.1.2/2025 tentang Satgas Kampung Pancasila yang ditetapkan pada 2 Juli 2025.
Kepala BPBD Surabaya sekaligus Ketua Satgas Kampung Pancasila, Irvan Widyanto mengatakan, ada sebanyak 1.360 RW di Surabaya telah terbentuk sebagai Kampung Pancasila dengan 15 tim pendamping mulai dari dinas, kecamatan.
Ikhtiar Pemerintah Kota Surabaya melalui Kampung Pancasila untuk mengatasi masalah di lini terkecil masyarakat ternyata mendapat apresiasi dari pemerintah pusat, yakni Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI). Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kemendagri, Teguh Setyabudi menilai program ini sebagai wujud nyata gotong-royong warga dalam menuntaskan permasalahan, khususnya terkait Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas).
"Saya memberikan apresiasi terhadap pembentukan Kampung Pancasila. Bahkan, ada lebih dari 6.000 ASN (Aparatur Sipil Negara) Pendamping yang diterjunkan di 1.361 RW Surabaya," ujar Teguh Setyabudi saat di Surabaya pada Kamis (11/9/2025).