Cerita Veteran Soetarjo 4 Kali Ditangkap Belanda

Malang, IDN Times - Soetarjo tidak pernah menyangka akan merasakan kemerdekaan Indonesia selama 79 tahun. Di usianya kini yang mencapai 99 tahun, kaki-kakinya tidak sekuat dulu waktu masih berjuang sebagai Pasukan Gerilya di Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Wonogiri. Kini jalannya sempoyongan ditopang tongkat sepanjang 1 meter, tapi ia bersyukur masih diberikan kesehatan.
Kebiasaan Soetarjo setiap sore adalah berjalan ke gapura yang jaraknya 10 meter dari rumahnya di Desa Mulyoangung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Di sana ia duduk di bawah bendera merah putih yang ia perjuangkan, meskipun matanya kian sulit untuk melihat merah putih.
1. Soetarjo cerita pernah 4 kali ditangkap Belanda

Kepada jurnalis IDN Times yang datang ke kediamannya, Soetarjo menceritakan jika ia pernah 4 kali ditangkap oleh Belanda. Pertama kali ditangkap pasa tahun 1947 saat ia memantau situasi di Kota Solo sekitar pukul 22.00 WIB. Tergabung sebagai prajurit di Militer Kecamatan (sekarang Koramil) Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Wonogiri, ia memang ditugasi sebagai mata-mata.
"Pertanyaan waktu ditangkap itu mereka tanya apakah saya garong (gerilya), jadi dulu gerilya itu mereka sebut garong. Meskipun ditendang dan dipukul sama KNIL, saya mengakunya buruh pabrik, karena pakaian saya kan pakaian biasa saja," terangnya saat ditemui pada Senin (19/8/2024).
Pria kelahiran 1925 mengatakan jika dulu Pasukan Belanda secara acak menangkap orang, terutama yang masih berkeliaran pada malam hari. Jika ketahuan sebagai Pasukan Gerilya, dipastikan peluru akan bersarang di kepala. Soetarjo mengatakan jika 2 kawannnya ketahuan sebagai Pasukan Gerilya, keduanya langsung dieksekusi di markas musuh.
"Saat ditangkap yang kedua kali, kaki saya dua-duanya dipukul menggunakan popor senapan. Kemudian tertangkap yang ketiga kalinya saat saya mau ke Wonogiri, yang menyiksa saya banyak dari KNIL (Koninklijk Nederlands-Indische Leger) orang Indonesia sendiri. Tapi tertangkap kedua dan ketiga ini saya berhasil kabur dengan alasan buruh pabrik juga," kenangnya.
Soetarjo kembali tertangkap oleh Belanda untuk keempat kalinya pada 1948, penangkapan keempat ini membuat Pasukan Belanda ini curiga karena ia sering terjaring razia. Tapi Soetarjo kembali mendapat keberuntungan saat pasukan musuh mendapat panggilan darurat. Hal ini membuat markas yang menahannya sepi, sehingga ia dan 2 kawannnya bisa kabur dan kembali ke markas di Sidoharjo.
2. Soetarjo menceritakan jika perayaan kemerdekaan paling meriah adalah di tahun 1949

Soetarjo mengenang jika di tahun 1945 ia terdaftar sebagai siswa Calon Prajurit Keraton Solo. Ia menceritakan jika saat proklamasi 17 Agustus 1945 tidak ada perayaan meriah di Kota Solo. Warga masih tidak berani merayakan secara terbuka, bahkan mungkin ada yang tidak tahu jika saat itu Ir Soekarno telah membacakan teks proklamasi di Jakarta.
"Dulu radio itu sulit, kalau orang daerah mau dengar radio itu harus ke pusat kota dulu. Kalau saya dulu tahu proklamasi itu dari komandan di Keraton Solo, kami diminta bersiap-siap karena Jepang sudah kalah," bebernya.
Ternyata perjuangan belum berakhir, Soetarjo akhirnya keluar dari pendidikan sebagai Calon Prajurit Keraton Solo. Ia bergabung sebagai Pasukan Gerilya melawan Agresi Militer Belanda 1 dan 2. Setelah Belandanya akhirnya mundur, mereka baru bisa merayakan kemerdekaan secara penuh.
"Masyarakat baru berani merayakan kemerdekaan itu akhir 1949. Itu meriah karena tentara Belanda sudah kembali. Di mana-mana pesta untuk merayakan kemerdekaan," ungkapnya sambil tertawa.
3. Soetarjo kemudian pindah ke Malang karena tidak dapat pekerjaan di Solo

Setelah berhasil mengusir Belanda, Soetarjo tidak lagi melanjutkan karir militernya. Ia pulang ke Kota Solo untuk bertemu keluarganya kembali. Sayangnya di Solo ia tidak mendapatkan pekerjaan yang layak. Ia akhirnya mendapatkan kabar dari pamannya yang ada di Malang bahwa di sana ada pekerjaan untuknya, jadilah ia berangkat ke Malang pada 1951.
"Saya tiba di Malang pertama kali tahun 1951, saya di Kampung Wonojati, Desa Mondoroko, Kecamatan Singosari sejak tahun 1951 sampai 1953. Kemudian pindah ke Lawang dan tinggal di sana sekitar 12 tahun," paparnya.
"Di Lawang itu saya pertama ikut camat, kemudian saat pemilu pertama tahun 1955 saya jadi sekretaris PPS. Kemudian dapat pekerjaan di Kantor Pasar Kota Batu. Saya sempat ditarik lagi kerja di Kantor Kecamatan Lawang. Kemudian pindah ke Pakis. Kemudian saat geger 1965 saya ke sini (Dau) sampai pensiun ini," pungkasnya.