Aliansi Masyarakat Sipil di Malang Tolak RUU Penyiaran

Malang, IDN Times - Aliansi Masyarakat Sipil di Malang mendeklarasikan bahwa mereka menolak Revisi Undang Undang (RUU) Penyiaran. Aliansi yang terdiri dari jurnalis, akademikus, mahasiswa, kreator konten, dan pegiat antikorupsi ini menilai RUU Penyiaran mengancam demokrasi.
Aliansi Masyarakat Sipil menilai saat ini Indonesia memasuki autocratic legalism. Artinya pemerintah menggunakan hukum untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang tidak demokratis. Ini dibuktikan dengan banyak produk peraturan perundang-undangan dibuat untuk kepentingan penguasa, bukan untuk kepentingan rakyat.
1. RUU Penyiaran dibuat tanpa melibatkan masyarakat

Dosen Hukum Universitas Islam Malang (Unisma), Muhammad Fachrudin menilai jika pembaruan RUU Penyiaran tidak melibatkan partisipasi publik. Padahal putusan Mahkamah Agung menurutnya harus melibatkan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan atau meaningful participation. Sementara prosesnya dari Badan Legislatif (Baleg) DPR mengembalikan RUU Penyiaran kepada Komisi I DPR.
Sehingga Penyiaran menimbulkan kontroversi. Tak hanya tentang larangan jurnalistik investigasi, ada juga tumpang tindih dengan kewenangan Dewan Pers dalam menangani sengketa pers.
"RUU ini menyebabkan keberagaman konten dihapus, sehingga berpotensi menimbulkan praktik oligopoli media siaran. RUU Penyiaran juga menyasar platform digital siaran. Kreator konten juga diawasi, setiap konten harus lulus kelayakan siaran yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)," terangnya saat dikonfirmasi pada Jumat (31/5/2024).
Pakar Hukum Tata Negara, Anwar Cengkeng juga menyoroti tidak dilibatkannya masyarakat sipil dalam RUU Penyiaran ini. Apalagi revisi UU ini mengancam kebebasan pers dan masyarakat dalam berpendapat.
"Ketika reformasi terlahir UU Pers, filosofi ini menjawab kebutuhan rakyat untuk dipenuhi haknya mendapat informasi. Pers adalah informasi untuk rakyat, dan kembali ke rakyat. RUU Penyiaran banyak yang bertentangan dengan UU Pers mulai pembentukan UU-nya. MK 91/2022 membentuk UU harus libatkan masyarakat," ucapnya.
2. RUU Penyiaran bertentangan dengan pilar demokrasi dan kontrol sosial

Dosen komunikasi Universitas Negeri Malang (UM), Dr Akhirul Aminullah mengatakan jika revisi UU Penyiaran ini bisa jadi sebagai konsekuensi perkembangan teknologi. Tapi menurutnya pelarangan penayangan investigasi bertentangan dengan pilar demokrasi dan fungsi kontrol sosial. Hal ini justru lebih tepat disebut pembungkaman seperti yang dilakukan rezim Soeharto di era order baru.
Ia mencontohkan Pasal 50B Ayat 2 yang mengatur pelarangan jurnalisme investigasi yang ikut membongkar kejahatan, menurutnya ini sudah berlebihan. Tidak semestinya kekuasaan pemerintah mengatur dan mengontrol penyiaran.
Kemudian pada Pasal 8A Ayat 1 terdapat tumpang tindih kewenangan KPI dengan Dewan Pers. Padahal ketika ada sengketa isi siaran bukanlah KPI yang bertindak, tapi Dewan Pers.
"UU Pers fungsinya diserahkan kepada Dewan Pers. Harus dibedakan kewenangan KPI dengan Dewan Pers. Apalagi kalau keanggotaan KPI dan Dewan Pers dipilih konstituen, ini kan seperti pasal karet," tegasnya.
3. RUU Penyiaran juga mengancam kreativitas masyarakat

Sineas Nasional, Sudjane Kenken juga berpendapat jika RUU penyiaran juga melarang menayangkan kobten mistik dan horor. Padahal ini juga termasuk kreativitas seni. Sehingga skenario akan jadi hal yang aneh tanpa kreativitas seni. Kemudian RUU Penyiaran juga melarang penayangan adegan merokok, sehingga aneh jika ada film yang menunjukkan mafia tidak merokok dan minum alkohol.
"Jika RUU dijalankan maka tidak akan menguntungkan bukan hanya bagi kami, tapi seluruh pekerja seni di Indonesia. Termasuk juga platform digital seperti YouTube dan OTT yang jadi wadah kreator audio visual. Juga Instagram, Tiktok, dan sebagainya," pungkasnya.