Temuan SHGB 656 Ha di Laut Sidoarjo, WALHI: Tata Ruang Jatim Kacau

Sidoarjo, IDN Times - Penemuan Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 656 hektare (Ha) di wilayah laut Desa Segoro Tambak, Kecamatan Sedati, Sidoarjo mendapat sorotan berbagai pihak. Salah satunya darj Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, WALHI menyebut, temuan ini menjadi bukti buruknya pengelolaan tata ruang di wilayah Jawa Timur.
Direktur Eksekutif WALHI Jatim, Wahyu Eka Setyawan mengatakan, HGB seluas 656 hektar ini menimbulkan kejanggalan, sebab sesuai aturan, HGB hanya dapat diterbitkan di wilayah daratan dengan peruntukan yang jelas. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kanwil Jawa Timur, HGB tersebut atas nama dua perusahaan dan telah diterbitkan sejak tahun 1996.
" Namun, citra satelit menunjukkan bahwa wilayah yang menjadi lokasi HGB tersebut berada di kawasan laut, bahkan sejaktahun 2002 kawasan tersebut tidak pernah berupa daratan. Sehingga klaim bahwa sebelumnya merupakan daratan harus dibuktikan secara transparan oleh BPN kepadapublik," ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima IDN Times, Rabu (22/1/2025).
Tak cuma di Sidoarjo, kasus serupa juga terjadi di Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, di mana Sertifikat Hak Milik (SHM) diterbitkan di atas pesisir dan laut seluas 20 hektar lebih.
Wilayah ini direncanakan untuk reklamasi dan pembangunan kawasan ekonomi, meski mendapatkan penolakan keras dari warga, terutama nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya pada kawasan tersebut.
"Hingga saat ini BPN Kanwil Sumenep belum bertindak atas adanya SHM tersebut, padahal sudah jelas melanggar kesesuaian ruang," kata Wahyu.
Menurutnya, HGB di laut Sedati tidak memiliki dasar hukum yang relevan, mengingat, Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Jawa Timur 2023 sesuai Perda No. 10/2023 bahwa tidak menyebutkan kawasan Sedati sebagai zona reklamasi. Wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan tangkapanikan, zona pertahanan, dan keamanan, termasuk dalam pengembangan Bandara Juanda.
"Kemudian, RTRW Sidoarjo 2019 sesuai Perda No. 4/2019 menegaskan wilayah pesisir dan laut Sedati sebagai kawasan perlindungan mangrove dan perikanan," ungkap dia.
Lalu, berdasarkan PP No. 18/2021 dan Permen ATR No. 18/2021, menyatakan bahwa HGB hanya dapat diterbitkan di wilayah darat, bukan di atas laut. Keempat, berdasakan UU No. 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Mengutamakan konservasi kawasan laut khususnya pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
"Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010 menyebut membatalkan ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) karena bertentangan dengan UUD 1945," jelasnya.
Menurutnya, kehadiran HGB ini semakin memperburuk kondisi kawasan pesisir dan laut di Sidoarjo dan Surabaya. Alih fungsi mangrove dan kerusakan ruang laut terus meningkat, mengancam ekosistem dan keberlanjutan lingkungan.
Oleh karena itu, WALHI mendesak agar Kementerian ATR/BPN segera mencabut izin HGB di laut Sedati serta SHM di laut
yang berada di Gersik Putih, Sumenep. Kemudian, mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk meenegakkan rencana tata ruang sesuaiperuntukan dan mengutamakan keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut.
"Mendesak Presiden RI agar meengevaluasi kinerja Kementerian ATR/BPN dan stakeholder terkait, serta mengusut dugaan praktik korupsi dalam penerbitan izin HGB," terang Wahyu.
"Pengelolaan tata ruang yang transparan dan berorientasi pada keberlanjutan adalah kunci melindungi kawasan pesisir dari kehancuran. Mari hentikan pengrusakan ekosistem laut demi masa depan generasi mendatang," pungkas Wahyu.