Siapa Marsinah? Aktivis Buruh yang Mendapat Gelar Pahlawan Nasional

- Marsinah, aktivis buruh, dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 10 November.
- Marsinah lahir dari keluarga petani miskin di Nganjuk dan bekerja sebagai buruh pabrik sepatu di Surabaya.
- Kematian tragis Marsinah masih menjadi misteri hingga kini, namun ia tetap dianggap sebagai simbol perjuangan kaum buruh.
Nama Marsinah tidak pernah ada dalam buku pelajaran di sekolah, namun mengapa ia mendapat gelar pahlawan nasional pada peringatan hari pahlawan 10 November lalu. Apa jasa perempuan yang mati muda ini sehingga pantas mendapat gelar pahlawan?
Bagi para buruh, Marsinah bukan nama yang asing, sebab nama dan poster wajahnya kerap hadir di tengah aksi buruh yang menuntut hak mereka. Keberanian Marsinah di masa hidupnya menjadi simbol perjuangan kaum buruh hingga saat kini.
Selengkapnya berikut tentang sosok Marsinah, aktivis buruh yang semangatnya masih membara meski tubuhnya telah dimatikan.
Marsinah lahir dari keluarga petani miskin di Nganjuk.
Marsinah lahir di Nganjuk 10 April 1969, anak kedua dari tiga bersaudara. Di tengah keluarga petani miskin, Marsinah telah belajar bekerja sedari muda. Setamat sekolah, Marsinah harus mencari kerja demi bisa mencapai mimpinya berkuliah di Fakultas Hukum.
Mimpinya melanjutkan pendidikan tinggi membawanya bekerja sebagai buruh pabrik sepatu di Surabaya tahun 1989 kemudian pindah ke Sidoarjo. Selain bekerja sebagainya buruh, Marsinah kerap mencari kerja sampingan untuk menambah pemasukan.
Marsinah bukan buruh biasa. Ia cerdas dan memiliki peka terhadap lingkungannya. Marsinah berani menyampaikan kritik seperti saat hak buruh yang terabaikan. Keberaniannya tersebut yang hingga saat ini menjadi sumber inspirasi dan kekuatan buruh di Indonesia.
Di Sidoarjo Marsinah bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS) sebuah pabrik arloji di daerah Porong. Perusahaan tersebut menjadi tempat terakhir Marsinah bekerja karena kematiannya yang Tragis di usia 24 tahun.
Buruh perempuan yang cerdas dan tidak kenal takut
Marsinah hidup di masa Orde Baru, di bawah pemerintahan Soeharto, tidak mudah menjadi warga kelas bawah untuk menyuarakan pendapat. Pemerintah secara masif membatasi beragam upaya buruh melakukan tuntutan kolektif. Melalui SK Menteri tenaga Kerja No.342/Men/1986 yang berisi jika ada perselisihan buruh dengan pengusaha yang berhak memediasi adalah militer.
Namun Marsinah tidak gentar, bersama rekan buruh PT CPS ia menginisiasi adanya serikat pekerja dan menuntut kesejahteraan pekerja yang sebelumnya tidak diberikan. Agar tuntutan didengar perusahaan, para buruh melakukan aksi unjuk rasa hingga mogok kerja. Selain aksi, Marsinah dan para buruh bekerja cerdas dengan melakukan riset besaran gaji di pabrik-pabrik lain yang ternyata lebih baik.
Kisah tragis kematian Marsinah
Kisah kematian Marsinah berawal dari adanya instruksi Gubernur Jawa Timur dalam surat edaran No.50/Th. 1992. Isinya adalah himbauan kepada pengusaha untuk menaikkan kesejahteraan karyawan dengan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. PT CPS, tempat Marsinah bekerja tidak mengindahkan himbauan tersebut.
Marsinah bersama para buruh lainnya melakukan unjuk rasa menuntut kenaikan upah dan perbaikan standar kerja, seperti cuti hamil, upah lembur, asuransi kesehatan, tidak mendapat intimidasi kerja dan sebagainya. Upaya para buruh ditentang keras perusahaan, bahkan represi mulai dilakukan Kodim setempat.
Upaya para buruh membuahkan hasil, perusahaan bersedia menerima tuntutan kenaikan upah dan berjanji akan meninjau tuntutan lain. Namun kesepakatan tersebut ternyata bukan akhir bahagia, 13 buruh dipanggil ke Kodim. Beberapa orang dipukul dan diancam untuk keluar dari perusahaan.
Marsinah yang sebenarnya tidak termasuk dalam 13 buruh ikut hadir. Melihat rekannya mendapat perlakuan buruk Marsinah mulai berupaya mencari keadilan. Surat pemanggilan Kodim dan pernyataan yang dibuat buruh disiapkan untuk perlawanan. Namun Rabu 5 Mei 1993, di malam setelah pertemuan dengan buruh lainnya, Marsinah menghilang. Tidak ada yang tahu keberadaannya, hingga tiga hari kemudian, 8 Mei mayat Marsinah ditemukan di sebuah gubuk pemantang sawah di hutan Wilangan, Nganjuk.
Beberapa bos Marsinah di pabrik tempatnya bekerja sempat divonis bersalah. Namun, belakangan vonis itu dibatalkan karena mereka tidak terbukti melakukan pembunuhan. Sejak saat itu, pelaku pembunuhan Marsinah tidak pernah benar-benar terungkap.
Gelar pahlawan untuk Marsinah yang mati tanpa keadilan
Banyak kejanggalan dalam kematian Marsinah yang hingga kini menjadi tanda tanya. Kematiannya adalah luka pada banyak perjuangan dan menjadi bukti keadilan tidak untuk kaum papa. Namun 32 tahun setelah kematiannya, Marsinah mendapat gelar pahlawan nasional dari pemerintah.
Diberikannya gelar pahlawan nasional untuk Marsinah tentu harus kita sambut gembira. Harus lebih banyak orang mengenal siapa Marsinah, perempuan muda yang mati berjuang dari penindasan.
Ironisnya, gelar tersebut diberikan bersamaan diberikannya gelar pahlawan pula untuk Presiden Soeharto, pemimpin Orde Baru, era di mana Marsinah dibunuh.

















