Merekam Pekerja Perempuan TPA Benowo Mengais Sisa-sisa Kehidupan

- Perempuan di TPA Benowo mengais sampah untuk mencari nafkah
- Rata-rata pendapatan harian perempuan pemulung Rp80-100 ribu
- Meski berisiko kesehatan, para pemulung tetap bekerja demi kelangsungan hidup
Surabaya, IDN Times - Udara bercampur bau tak sedap menyengat hidung sedari kejauhan. Truk-truk besar membawa kantong-kantong sampah silih berganti berdatangan masuk ke dalam gerbang Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Di kiri jalan menuju gerbang TPA Benowo, berjajar kantong-kantong plastik besar. Di antaranya berdiri bangunan semi permanen dengan tembok kayu, itu adalah kampung pemulung.
Di bawah terik matahari Surabaya yang panasnya bukan main, para perempuan di kampung pemulung duduk mengais sisa-sasa kehidupan. Mereka memisahkan gelas, botol plastik, botol kaca, kaleng, kardus dan sampah lainnya. Sampah-sampah itu masuk ke dalam keranjang besar hingga terkumpul penuh.
Bau busuk menusuk hingga relung hati tak jadi hal yang berarti. Tanpa menggunakan alat pelindung diri sedikit pun, ribuan lalat mengerubungi tubuh mereka.
Di antara perempuan-perempuan itu ada Rumiati (51), ia sudah 20 tahun bekerja mengais-ngais sampah sisa kehidupan dari jutaan warga Surabaya. Keriput menghiasi wajahnya, tapi tangannya cekatan memiliah mana sampah yang berharga mana yang tidak.
Selama bertahun-tahun, setiap hari ia giat menaiki gunungan sampah TPA. Tapi, satu bulan terakhir ini kakinya sudah tak sekuat dulu, Rumiati memilih memilah sampah di luar TPA Benowo. "Di dalam (area TPA) sejak tahun 2002," ujarnya.
Hasil bekerja sepanjang hari, Rumiati hanya dapat uang Rp80-100 ribu. Tetapi, itu cukup untuk hanya sekedar membeli nasi dan kebutuhan sehari-hari. "Hasil tiap hari tidak tentu Rp80-100 ribu, ya cukup, dicukup-cukup in," kata dia.
Perempuan setengah baya ini rupanya tidak bekerja secara mandiri, ia bekerja untuk orang lain. Hasil pendapatan dari memilah sampah itu ia bagi dua dengan pengepul, yang ia sebut sebagai 'bos'. "Ini kita ada bosnya, kita bagi hasil. Nanti kalau ditimbang misalnya dapat Rp500 ribu, dibagi dua sama bosnya," ungkap dia.
Tak pernah terbesit sedikit pun dipikirkan Rumiati soal masalah kesehatan. Yang penting baginya, ia tetap bisa makan dan menghidupi keluarga. "Gak pernah (kena penyakit) aman saja. Dari sana (pemerintah) dapat pemeriksaan kesehatan," pungkas perempuan asal Lamongan ini.
Di tempat lain duduk Sri Utami (46) sedang 'ngasoh'. Dia berteduh sejenak di teras rumahnya setelah setengah hari bekerja mengais sampah di gunungan TPA Benowo. Rumah dengan tembok kayu dan lantai plesteran semen itu hasil menyewa, letaknya hanya beberapa meter dari gerbang TPA.
Sri akan mulai beranjak dari rumah saat matahari mulai meninggi, berbekal keranjang dan kait pengambil sampah ia akan bergegas masuk ke dalam TPA lalu menaiki pelan-pelan gunungan sampah. Gelas plastik, botol plastik, kaleng dan sampah berharga lainnya masukkan keranjang yang ia gendong di punggung.
Kala matahari sudah mulai di ufuk dan langit kian menggelap, Sri akan pulang ke rumah. Barang-barang yang ia kumpulkan akan diletakkan di dekat rumahnya. "Saya biasa mulai jam 6 sampai jam 5 sore. Sehari dapatnya gak mesti tergantung tenaganya," kata dia.
Hasilnya memulung dihimpun selama lima hari, usai itu pengepul datang untuk menimbang. Sri akan menerima beberapa lembar uang. "Ya gak mesti, bisa Rp50-75 ribu sehari,"
Hasilnya memulung, cukup hanya untuk sekedar membeli beras, menghidupi satu anak dan membayar kontrakan kecil di dekat TPA Benowo. "Cukup, dicukup cukupkan. Kalau bayar kontrakan di sini Rp250 ribu, belum listrik," terangnya.
Masalah kesehatan tak menjadi perhatian baginya. Selama bertahun-tahun mengais sampah, Sri merasa badannya sehat-sehat saja. "Gak pernah (kena penyakit), Corona ya sehat-sehat," kata dia.
Bagi para pekerja perempuan di TPA Benowo, sampah bukan hal yang menjijikkan. Tapi yang tepenting bagaimana mereka adalah bisa tetap mendapat kehidupan.


















