Dana Rp6,2 T Pemprov Jatim Tak Nganggur, Tapi Tertahan Regulasi

- Dana Rp6,2 triliun Pemprov Jatim tidak nganggur, tapi tertahan regulasi.
- Rp4,6 triliun merupakan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) tahun 2024 yang belum bisa digunakan.
- Rp3,6 triliun ditempatkan dalam bentuk deposito di Bank Jatim agar tetap produktif dan memberi dampak ekonomi.
Surabaya, IDN Times - Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Jawa Timur (Jatim) Adhy Karyono membantah keras anggapan bahwa dana Rp6,2 triliun milik Pemprov Jatim yang tersimpan di bank merupakan dana “nganggur”. Ia menegaskan, dana tersebut justru aktif berputar dalam mekanisme keuangan daerah dan menjadi bagian dari strategi fiskal agar roda pemerintahan tetap stabil di tengah tekanan anggaran akibat penurunan dana transfer pusat.
“Sistem perencanaan anggaran di APBD berbeda dengan APBN, sehingga Silpa boleh dipakai jika sudah ada usulan Perda perubahan,” ujar Adhy, Kamis (23/10/2025).
Dari total dana Rp6,2 triliun, Rp4,6 triliun merupakan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) tahun 2024 yang belum bisa digunakan sebelum Perda Perubahan APBD rampung dan dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Proses tersebut baru selesai pada triwulan keempat tahun ini, sehingga dana itu untuk sementara memang belum dapat dicairkan.
Namun, Adhy memastikan dana itu tidak diam begitu saja. Sebesar Rp3,6 triliun di antaranya ditempatkan dalam bentuk deposito di Bank Jatim, agar tetap produktif dan memberi dampak ekonomi. “Kalau dimasukkan deposito, dana itu tetap bisa digunakan Bank Jatim sebagai BUMD untuk pendapatan dan cash flow kredit,” jelasnya.
Tak hanya itu, bunga deposito juga ikut memberikan manfaat langsung bagi kas daerah. “Kita punya dana yang bisa memberikan pendapatan lain-lain, salah satunya bunga dari deposito,” imbuhnya.
Adhy juga menyinggung Rp1,6 triliun lainnya yang disiapkan untuk kebutuhan cash flow operasional, termasuk pembayaran gaji pegawai selama dua bulan dan berbagai kegiatan rutin.
"Kalau ada transfer di akhir tahun, dana tersebut tidak bisa langsung digunakan dan masuk Silpa,” tambahnya.
Menurutnya, mekanisme ini bukan bentuk kelambanan birokrasi, melainkan sistem penganggaran daerah yang memang berbeda secara struktural dari pusat. “Dengan demikian, dana di bank itu bukan menganggur, tapi sedang menunggu tahapan legal agar bisa digunakan,” tegas Adhy.
Di sisi lain, Adhy mengungkapkan bahwa pengurangan dana transfer daerah (TKD) dari pemerintah pusat semakin menekan ruang fiskal Jawa Timur. Tahun ini, TKD Pemprov Jatim berkurang Rp2,8 triliun dibanding tahun sebelumnya.
“Defisitnya berkurang sekitar Rp2,1 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya turun Rp2,8 triliun,” ungkapnya.
Penurunan tersebut membuat pemerintah provinsi harus melakukan efisiensi ketat senilai Rp2,1 triliun, terutama pada program prioritas dan belanja tugas pokok dan fungsi (tusi). “Kita akan melakukan efisiensi yang sangat-sangat ketat dalam setiap kegiatan,” tegasnya.
Kendati demikian, Adhy memastikan belanja wajib (mandatory spending) untuk sektor pendidikan dan kesehatan tetap aman. “Mandatory spending pendidikan masih di atas 30 persen karena DAK pendidikan masih ada, meski sedikit berkurang. Kesehatan juga tetap di atas 10 persen, jadi di Jatim tidak ada masalah,” jelasnya.
Namun, tekanan fiskal paling berat kini dirasakan 34 kabupaten/kota dengan pendapatan asli daerah (PAD) rendah, yang hanya berkisar antara Rp250 hingga Rp500 miliar, sementara belanja gaji mencapai Rp1 triliun.
“Ini jelas berdampak besar. Kabupaten dan kota dengan fiskal cukup seperti Surabaya masih aman, sementara yang menengah adalah Malang, Kota Malang, Gresik, dan Sidoarjo. Sisanya sangat berat untuk mengalokasikan program,” ungkapnya.
Kondisi ini, lanjut Adhy, menjadi peringatan bagi pemerintah daerah agar terus berinovasi dalam mengelola anggaran dan meningkatkan PAD. “Pemerintah daerah harus adaptif terhadap situasi ini. Fokus utama tetap menjaga pelayanan dasar masyarakat, meski dengan dana yang semakin terbatas,” pungkasnya.