Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Menengok Keamanan Jalur Pendakian Gunung Indonesia dari Kaki Lawu

Jalur Pendakian gunung Lawu via Cemerosewu di Magetan. IDN Times/Riyanto.
Jalur Pendakian gunung Lawu via Cemerosewu di Magetan. IDN Times/Riyanto.
Intinya sih...
  • Pendakian demi konten Instagram dan TikTok dapat membahayakan keselamatan, terutama saat tidak siap menghadapi cuaca ekstrem.
  • Pemandu gunung menerapkan protokol keselamatan yang ketat, termasuk pengecekan logistik, kondisi peserta, dan evakuasi darurat saat dibutuhkan.
  • Pendakian bukan hanya soal pencapaian pribadi, tetapi juga tentang tanggung jawab, empati, dan kesiapan menghadapi risiko di alam bebas.

Magetan, IDN Times – Indonesia dikenal sebagai negeri cincin api dengan ratusan gunung aktif dan tidak aktif yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Keindahannya menghipnotis para pendaki dari berbagai penjuru dunia. Namun, di balik pesonanya, jalur-jalur pendakian di tanah air masih menyimpan risiko keselamatan yang kerap luput dari perhatian.

Seperti diketahui selama 5 tahun terakhir, sejumlah insiden seperti pendaki tersesat, hipotermia, hingga kecelakaan fatal mencuat ke publik. Salah satunya terjadi di Gunung Rinjani dan beberapa gunung lain yang menyoroti lemahnya sistem keselamatan, koordinasi evakuasi, hingga belum memadainya infrastruktur darurat.

IDN Times mencoba merekam potret keselamatan dan etika pendakian di Gunung Lawu—salah satu gunung favorit para petualang yang membentang di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kami mewawancarai pendaki, pemandu gunung, dan relawan untuk melihat lebih dekat bagaimana keselamatan dan kesadaran lingkungan diterapkan di lapangan.

1. Antara estetika dan etika: “Banyak yang naik demi konten”

Jalur Pendakian gunung Lawu via Cemerosewu di Magetan. IDN Times/Riyanto.
Jalur Pendakian gunung Lawu via Cemerosewu di Magetan. IDN Times/Riyanto.

Irene (29), seorang pendaki asal Kediri, mengaku Gunung Lawu tetap menjadi favoritnya karena akses yang mudah dan jalur yang cukup jelas. Namun, bukan berarti bebas dari risiko. Pada pendakiannya via Cemorosewu, seorang temannya mengalami hipotermia ringan.

"Waktu itu kami tidak hubungi SAR, tapi kami tangani sendiri. Buka flysheet, masak air, dan peluk untuk hangatkan suhu tubuhnya. Untung cepat ditangani,” ujar Irene kepada IDN Times.

Ia menyayangkan tren pendaki FOMO (fear of missing out) yang datang hanya demi foto Instagram dan TikTok. "Banyak yang cuma cari feed estetik. Tapi lupa kalau ini alam liar, bukan studio foto. Kadang berisik, tidak peka, dan tidak siap menghadapi cuaca ekstrem. Itu bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain,” tambahnya.

2. Pemandu: “Lebih baik mecewa di basecamp daripada celaka di puncak”

Jalur Pendakian gunung Lawu via Cemerosewu di Magetan. IDN Times/Riyanto.
Jalur Pendakian gunung Lawu via Cemerosewu di Magetan. IDN Times/Riyanto.

Tomo (28) dan Nanang (24), dua pemandu dari komunitas Sanggar Margo Lawu, mengaku disiplin dalam menerapkan protokol keselamatan sejak dari basecamp.

"Pengecekan logistik, kondisi peserta, dan briefing rutin adalah wajib. Kami juga pantau cuaca harian dan selalu cek titik air,” kata Tomo.

Mereka pernah menangani kondisi darurat saat kebakaran melanda jalur pendakian dua tahun lalu. Evakuasi dilakukan secara manual karena bantuan dari bawah tak bisa menembus asap dan medan.

"Kami tidak bisa tunggu. Harus jemput langsung pendaki yang terjebak,” kata Nanang.

Tentang pendaki ‘konten-oriented’, Tomo tidak ragu untuk mengambil sikap tegas. "Kalau tidak siap, kami arahkan gabung kelompok atau bahkan tunda pendakian. Lebih baik kecewa di bawah daripada mati gaya di atas,” ujarnya.

3. Pendakian bukan sekadar pencapaian, tapi kesadaran

Jalur Pendakian gunung Lawu via Cemerosewu di Magetan. IDN Times/Riyanto.
Jalur Pendakian gunung Lawu via Cemerosewu di Magetan. IDN Times/Riyanto.

Kisah Irene, Tomo, dan Nanang adalah potret kecil dari kompleksitas pendakian di Indonesia. Dibutuhkan lebih dari sekadar kekuatan fisik untuk menaklukkan gunung. Ada tanggung jawab, empati, dan kesiapan menghadapi risiko.

Sampai kapan pendakian di Indonesia akan terus mengandalkan keberuntungan semata? Jika keselamatan belum menjadi budaya, maka pertanyaan “selamat atau selamat tinggal?” akan selalu membayangi setiap langkah di jalur pendakian.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Zumrotul Abidin
EditorZumrotul Abidin
Follow Us