Berebut Berkah Jenang Candi di Festival Desa Candirejo Magetan

- Tradisi bersejarah Jenang Candi sudah ada sejak 1899, menjadi ikon desa dan kebanggaan warga Magetan.
- Rebutan jenang memiliki makna simbolis sebagai sedekah budaya dan keberkahan bersama.
- Festival diakhiri dengan penampilan seni budaya tradisional yang semarak, meninggalkan kesan bahagia bagi warga.
Magetan, IDN Times – Ribuan warga tumpah ruah di Pasar Londo, Desa Candirejo, Kecamatan/Kabupaten Magetan, Jawa Timur pada Minggu (14/9/2025). Suasana riuh pecah ketika momen paling ditunggu tiba, yaitu rebutan jenang dalam Festival Jenang Candi 2025.
"Rebutan pak, tapi dapetnya sedikit soalnya nggak bisa maju, takut juga terinjak-injak,” ujar Novi, pengunjung asal Plaosan, sambil tertawa kecil setelah berhasil membawa pulang sejumput jenang dari kerumunan.
Bagi masyarakat, rebutan jenang bukan sekadar mencari jajanan manis, melainkan simbol berkah yang diyakini membawa kebaikan.
1. Ikon desa yang bersejarah

Kepala Desa Candirejo, Agus Setyono, menjelaskan bahwa tradisi ini punya akar panjang. “Jenang Candi sudah ada sejak 1899, bersamaan dengan peleburan beberapa dukuh menjadi Desa Candirejo. Waktu itu ada Pasar Londo yang terkenal dengan jajanan tradisional, termasuk jenang. Wisatawannya banyak orang Belanda,” katanya.
Festival Jenang Candi sendiri mulai digelar sejak 2020 dan kini sudah memasuki tahun keempat. “Harapan kami, jenang tetap lestari, jadi ikon desa, kebanggaan warga, sekaligus membawa berkah untuk masyarakat Magetan,” tambah Agus.
2. Makna di balik rebutan

Setiap tahun, pemerintah desa menyiapkan gunungan jenang dalam jumlah besar untuk prosesi rebutan. Warga percaya, siapa pun yang mendapat bagian, sekecil apa pun, akan kebagian berkah.
"Rebutan ini bukan soal siapa yang dapat paling banyak, tapi simbol sedekah budaya dan keberkahan bersama,” terang Agus.
3. Ditutup dengan kesenian tradisional

Festival semakin semarak dengan penampilan seni budaya, mulai dari Reog Ponorogo hingga Singo Kusumo. Panggung utama pun jadi pusat perhatian hingga sore hari.
Warga pulang dengan wajah sumringah, sebagian menggenggam jenang, sebagian hanya membawa cerita. Namun, semuanya sepakat: tradisi ini bukan tentang isi genggaman, melainkan tentang ngalap berkah.