Literasi Jalanan, Gerakan dari Komunitas yang Katanya Sok Pinter

Surabaya, IDN Times - Safira Dwisiwi (26) tampak asyik membaca buku di tengah riuh suara lalu lalang orang di pelataran Balai Pemuda Surabaya, Minggu (23/6/2024). Wanita berambut sebahu ini tak sendiri. Ia ditemani 14 orang lainnya yang juga asik dengan buku mereka. Mereka tak sekadar membaca, mereka sedang menjalankan aktivitas literasi jalanan yang dinamai 'Baca di Surabaya'. Semua orang yang duduk dan membaca di pelataran Balai Pemuda Surabaya itu tak saling kenal. Mereka larut dalam bacaan masing-masing tanpa peduli orang di sekitar.
Dua tahun lalu, Nabila Dwiputri (26), kembaran Safira yang kini menetap di Jakarta pertama kali mencetuskan gerakan tersebut. Tak ada maksud lain, selain hanya untuk mencari teman membaca, sebab Nabila pernah mendapat stigma negatif saat sedang membaca buku sendiri di ruang publik.
Hidup dalam lingkungan literasi sedari kecil membuat Safira dan Nabila tak bisa lepas dari buku. Mereka bisa membaca di mana saja, di kafe, taman, hingga transportasi publik. "Kalau baca buku di rumah bosan, ada kalanya baca buku dengan suasana baru, jadi baca buku itu kadang di kafe, di taman,” ujar Safira, sembari menutup lembar buku yang ia baca.
Safira bercerita, gerakan ini muncul saat saudara kembarnya mendapat stigma negatif dari masyarakat ketika membaca di taman. Nabila dicap sebagai orang yang sok pinter dan mencari perhatian.
"Padahal membaca buku di luar itu ya biar kita gak bosen, dan menyenangkan juga," katanya sambil menyeruput segelas coffe latte.
Alih-alih kapok membaca buku di ruang publik, Nabila justru mengajak banyak orang untuk membaca bersama. Keduanya akhirnya membentuk gerakan #BacadiSurabaya. "Inspirasinya dari kakak kami sendiri yang juga menginsipirasi gerakan baca buku di Jakarta," katanya.
Setiap satu atau dua bulan sekali di hari Minggu, kakak beradik ini akan mengajak banyak orang untuk membaca di pelataran Balai Pemuda Surabaya. “Setiap satu kali, atau dua kali dalam sebulan itu kita mengadakan kegiatan ini. Untuk memberi tahu ke banyak orang bahwa segerombolan orang membaca buku di ruang publik itu bukan hal yang aneh, karena ini itu menyenangkan, mengajak orang untuk hal yang positif,” jelas Safira.
Biasanya, Nabila atau Safira akan mengunggah di Instagram @bacadisurabaya kapan dan di mana mereka akan membaca. Setiap orang boleh ikut dengan hanya datang, duduk lalu membaca buku. Tak ada sesi perkenalan, diskusi maupun meminjam buku.
“Kegiatannya memang di Balai Pemuda terus, karena tempatnya di tengah, siapapun dari barat, timur selatan itu ketemunya di tengah, dan balai kota itu dilewati oleh dua bus. Kalau temen-temen yang tidak memiliki kendaraan pribadi ya, jadi aksesnya lebih mudah,” ujar Safira.
Setelah membaca bersama, Safira akan mengajak para peserta untuk mengunjungi tempat-tempat literasi, seperti toko buku atau kafe dengan konsep perpustakaan. “Selain itu, kita ada kegiatan lain yakni Literatour, kita ke tempat-tempat lain kayak ke perpustakaan, toko buku atau ke kafe yang punya inisiasi konsepnya perpustakaan,” kata Safira.
Safira bilang, kegiatan 'Baca di Surabaya' dibuat seinklusif mungkin tanpa membatasi status sosial, jenjang umur, gender hingga pendidikan. “Kenapa kok kita gak membentu grup chat, karena ada beberapa orang itu enggan menjalin relasi lebih jauh,,” terang Safira.
Selama dua tahun, ada sekitar 500 orang ikut dalam kegiatan tersebut. Ada yang rutin, ada pula yang hanya sekali. “Instagram kita sudah ada 1.219 orang pengikut, kira-kira kalau dilihat dari followers di Instagram, ada setengahnya. 500 orang sudah ikut kegiatan,” tuturnya.
Tak banyak yang mereka impikan dari gerakan ini, syukur-syukur bila gerakan tersebut dapat membantu meningkatkan literasi di Kota Pahlawan. Yang paling penting baginya dan Nabila saat ini adalah, bagaimana membuka pikiran masyarakat bahwa membaca di ruang publik tak senegatif itu.
“Paling penting ya itu tadi, berharap masyarakat tidak nge-judge (ketika ada orang yang membaca di ruang publik),” pungkas Safira.
Bila Safira dan Nabila membuat gerakan baca bersama di ruang publik, lain hanya dengan Evelyn Naomi (27) dan Jojo (26). Mereka justru membuat perpustakaan jalanan dengan menyediakan buku-buku bacaan koleksi mereka sendiri.
Setiap Minggu, Evelyn dan Jojo bakal menggelar tikar di Taman Bungkul Surabaya. Buku-buku kemudian mereka tata dengan rapi di atas tikar.
Satu per satu orang akan datang melirik koleksi mereka, ada yang hanya lewat, bertanya bahkan duduk bersama membaca buku. Ada yang habis olah raga, mencari jajanan atau sekedar jalan-jalan saja.
Tak jarang, anak-anak juga datang menghampiri mereka, ikut membaca, hingga mewarna. Selain menyediakan buku bacaan untuk orang dewasa, Evelyn dan Jojo juga menyediakan buku bacaan dan mewarnai untuk anak-anak.

Langganan tetap lapak mereka justru bocah-bocah anak penjual kaki lima di Taman Bungkul. Mereka berbondong-bondong datang ketika Evelyn dan Jojo mulai menggelar tikar. "Langganannya kebanyakan yang datang si anak-anak penjual di sini (Taman Bungkul), iya kelas menengah ke bawah," ujar Evelyn.
Bagi Evelyn, membuka perpustakaan jalanan semacam ini adalah caranya membantu memberikan akses literasi kepada masyarakat. Masyarakat bisa mendapatkan buku bacaan yang bagus, tanpa perlu melakukan proses administrasi.
"Antusiasmenya (literasi di masyarakat )itu ada, cuma tempatnya gak ada. Kalau ada kayak gini mereka itu tertarik, mereka mau beli juga (bukunya) mahal," sebut dia.
Tapi sayangnya, Evelyn dan Jojo juga mendapat stigma negatif dari masyarakat. Bila Safira dan Nabila dicap sebagai orang sok pinter, Evelyn dan Jojo mendapat stigma buruk tentang koleksi buku mereka.
Ada yang menganggap buku mereka kekanakan karena mayoritas bacaan anak. Tapi, ia tak menggubris, sebab baginya, menyediakan buku anak adalah caranya membantu mengenalkan pentingnya literasi, terutama anak-anak yang kurang bisa mengakses buku bacaan.
"Kemarin, di X kita dapat stigma negatif. Kita gak ekspektasi bakal dapat dapat kayak gitu (stigma buruk). Tapi orang kayak gitu ternyata ada. Kalau menurutku, yang penting baca aja dulu gak sih, yang penting punya ketertarikan membaca, terus eksplore ganrenya banyak," sebut dia.
Tentu saja, baginya, membuka perpustakaan jalanan semacam ini akan mengubah cara pikir masyarakat memandang buku-buku. Perlahan, orang akan terbisa dengan kegiatan membaca di ruang publik seperti yang mereka lakukan. "Iya, karena kita membebaskan orang untuk membaca di sini," pungkas dia.
Bisa dibilang, apa yang dilakukan Safira dan Nabila serta Evelyn dan Jojo, ternyata sedikit membantu meningkatkan indeks minat baca di Kota Surabaya. Tahun 2023 indeks minat baca di Surabaya berada di angka 80,3 kemudian meningkat 84,7 pada 2024.
Kepala Bidang Pembinan dan Pengelolaan Perpusatakaan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Kota Surabaya, Pudji Astuti mengklaim, ada berbagai kegiatan literasi yang telah dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) di kalangan masyarakat. Seperti mengadadakan Taman Baca Masyarakat (TBM) hingga lomba-lomba literasi.
"Yang membuat naik adalah banyaknya kegiatan literasi di masyarakat. Kemudian banyaknya Taman Baca Masyarakat (TBM) dan pojok baca di seluruh balai RW," ujarnya
Perempuan yang akrab disapa Tutik ini mengatakan, saat in jumlah perpustakaan di Surabaya ada dua yakni di Balai Pemuda dan Rungkut. Selain perpuskaan daerah, pemerintah juga menyediakan TBM dan pojok baca di seluruh balai RW, yang jumlahnya mencapai 715.
"Masyarakat sangat senang dengan adanya TBM dan pojok baca, terutama anak-anak, karena banyak buku bacaan untuk anak-anak," kata dia.
Untuk memenuhi taman baca di ruang terbuka, pihaknya juga memiliki 5 unit perpustakaan mobil keliling. Setiap Sabtu dan Minggu akan ada di taman-taman Surabaya, seperti Bungkul, dan Kebun Bibit.
"Pelayanannya juga ke sekolah-sekolah, panti asuhan. Banyak yang minta, kirim surat ke kami," sebutnya.
Dalam upaya meningkatkan minat baca di masyarakat, Dispusip juga akan selalu up date mengenai buku-buku yang sedang best seller dan digemari masyarakat. Terutama, buku-buku yang disenangi remaja.
"Koleksi buku kita sesuaikan dengan yang kekinian, pengunjung minta apa kita akan sesuaikan Kore, novel dan buku-buku best seller," kata dia.
Selain fasilitas membaca, berbagai kegiatan juga dilakukan. Seperti menggelar kegiatan lomba mendongeng, mengarang hingga parikan. "Lombanya kita sesuaikan dengan tema, misalnya ini kan mau Agustusan, ya kita pakai tema 17 Agustus," pungkasnya.
Sementara itu, Guru Besar Sains Informasi dan Pengajar Mata Kuliah Literasi dan Perilaku Gemar Membaca Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Rahma Sugihartati menilai, Iiterasi masyarakat diukur secara tidak langsung berdasarkan Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) yang dirilis oleh Perpustakaan Nasional. Pembangunan Literasi Masyarakat terdiri dari tujuh unsur yakni pemerataan layanan Perpustakaan, ketercukupan koleksi, ketercukupan tenaga perpustakaan, tingkat kunjungan masyarakat, perpustakaan yang dibina sesuai standar nasional perpustakaan, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan sosialisasi dan anggota perpustakaan.
"IPLM Kota Surabaya tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya untuk membangun literasi dari 7 unsur IPLM, Surabaya adalah kota yang tergolong mendukung pembangunan literasi," ujar Rahma.
Jika pemerintah ingin meningkatkan kegemaran membaca, pemerintah diharapkan menyediakan tujuh unsur pembangunan literasi secara memadai. Hal lain yang penting adalah menyediakan bahan bacaan beragam dan jumlah yang dibutuhkan masyarakat.
"Selama ini keluhan dari masyarakat yang sering terdengar adalah ragam dan jumlah bahan bacaan atau koleksi bacaan di perpustakaan kurang memadai," kata Rahma.
"Padahal untuk mendukung dan meningkatkan kegemaran membaca masyarakat, ketersediaan bahan bacaan yang cukup bahkan berlimpah adalah yang diidamkan oleh masyarakat. Tidak mungkin kita mengharapkan adanya peningkatan kegemaran membaca jika apa yang dibaca tidak ada atau hanya bacaan itu-itu saja yang ada di perpustakaan," tambahnya.
Tentu saja Rahma mengapresiasi gerakan yang dilakukan Safira dan Nabila serta Evelyn dan Jojo. Gerakan yang berasal dari kelompok di luar institusi perpustakaan ini pasti dimotivasi oleh keinginan untuk ikut meningkatkan kegemaran membaca masyarakat.
"Menurut saya, aktivitas atau gerakan literasi di kalangan anak muda yang banyak dijumpai di tempat-tempat publik justru berhasil menjangkau kelompok-kelompok dan lokasi-lokasi yang kurang terjangkau oleh perpustakaan umum," tutur Rahma.
Dengan strategi pendekatan yang lebih personal ke masyarakat, maka gerakan literasi yang dilakukan oleh anak muda ini tentu akan dapat menumbuhkembangkan kecintaan membaca, meskipun dalam skope kecil. Baginya, gemar membaca hanya bisa tumbuh jika masyrakat membaca bukan karena terpaksa.
"Membaca novel atau buku lainnya, sepanjang itu dilakukan dengan sukarela dan bahkn dengan suka cita, justru itulah pijakan dan fondasi yang baik bagi tumbuhnya perilaku gemar membaca," sebut Rahma.
Sementara soal stigma negatif membaca di ruang publik yang dialami oleh Nabila sehingga membuat gerakan membaca bersama, Rahma mengatakan, istilah kutu buku atau stigma bahwa anak yang gemar membaca sebagai orang sok pintar harus di-counter. Setiap orang harus menghargai siapapun yang gemar membaca, termasuk di ruang publik.
"Dibutuhkan counter culture dan counter wacana untuk mendekontruksi stigma negatif itu dan kemudian direkonsruksi wacana yang menghargai orang yang gemar membaca di tempat publik, atau di tempat-tempat lain ketika mengisi waktu senggang, bukan malah mencemooh dan menganggap sok," katanya.
Sebenarnya dari perspektif orang yang gemar membaca, membaca di manapun tidak akan menjadi persoalan. Yang penting mereka menikmati dan memang ada sesuatu yang ingin mereka ketahui dari membaca.
"Menurut beberapa studi, kecenderungan yang terjadi pada orang yang kecanduan membaca, maka mereka akan terus memburu dan membaca bacaan tanpa bisa dicegah. Oleh karena itu tidak mengherankan jika mereka akan membaca di manapun tempatnya bahkan di tempat publik," pungkas Rahma.



















