Fadli Zon, Peristiwa Kelam 98 dan Dugaan Pemerkosaan Massal di Surabaya

- Fadli Zon menyebut peristiwa kerusuhan Mei 1998 masih bisa diperdebatkan, termasuk informasi mengenai pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa.
- Tesis Evi Lina Sutrisno mengungkap adanya kerusuhan, penjarahan, hingga pemerkosaan massal saat 1998 di Surabaya.
- Bingky Irawan meluncurkan pernyataan bahwa pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa telah terjadi di bagian utara Surabaya selama kerusuhan pada malam 14 Mei 1998.
Surabaya, IDN Times - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan pernyataan yang membuat polemik saat diwawancarai pemimpin redaksi IDN Times, Uni Lubis dalam program 'Real Talk.' Ketika ditanya, soal perkosaan massal pada Mei 1998, Fadli menyebut peristiwa 27 tahun lalu itu masih bisa diperdebatkan, termasuk informasi mengenai aksi pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa.
Dalam tesis Evi Lina Sutrisno yang berjudul The May 1998 Riot in Surabaya: Through Local People’s Perspective (2002) di Universitas Amsterdam, ia mengungkap fakta bahwa memang ada kerusahan, penjarahan hingga pemerkosaan massal saat 1998. Dosen Universitas Gadjah Mada itu mewawancarai para saksi pelaku sejarah.
Mulanya, Evi membandingkannya dengan kerusuhan di Jakarta. Kerusuhan di Surabaya lebih kecil dalam hal area yang terkena dampak dan jumlah korban. Narasi resmi yang diberikan oleh Panglima Komando Daerah Militer Brawijaya dan Kepala Polisi Daerah Surabaya sangat singkat.
Kerusuhan bermula ketika matahari hendak terbenam. Surabaya, 14 Mei 1998 menjadi memori kelam bagi etnis Tionghoa. Sekitar pukul 17.00 WIB, segerombolan pemotor tak dikenal mulai membuat kegaduhan. Bagi sebagian warga, hiruk-pikuk di jalanan adalah pemandangan yang lazim. Pekikan reformasi dari mahasiswa dan seruan “lengserkan Soeharto” bak melodi yang menyapa indra pendengaran setiap hari.
Dikatakan bahwa kerusuhan tersebut diprovokasi oleh 200 provokator yang terlatih dan berasal dari luar Surabaya, seperti Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Solo. Target utama provokator adalah menyerang Tunjungan Plaza, mall terbesar di Surabaya. Juga dikatakan bahwa sebagian penduduk lokal telah diprovokasi untuk bergabung dalam kerusuhan. Meskipun Panglima Komando Daerah Militer dengan meyakinkan memberikan jumlah pasti provokator, tidak ada satu pun dari mereka yang ditangkap. Sebaliknya, 224 perusuh lokal ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara dari satu hingga enam bulan.
Tak sampai di situ, dalam tesis juga diungkap adanya penjarahan waktu kerusuhan 98 di Surabaya. penjarahan dimulai di tiga distrik, Semampir, Wonokusumo, dan Pegirian. Target penghancuran dan penjarahan adalah dealer bensin, mesin ATM bank, dan toko-toko. Salah satu korban penjarahan ialah Ibu H (28) mengaku kalau rukonya habis tak tersisa dijarah. Ketika itu, ia pulang dari Pasar Atom Surabaya sudah diperingati pensiunan polisi agar menutup toko. Hal ini setelah adanya kekacauan di dekat Polsek Semampir. Para perusuh ini diprediksi beraksi di kampung sekitar.
Benar saja, penjarahan pun terjadi. Ruko milik H yang ditempati ibu dan dua saudara laki-lakinya turut dijarah. Mereka berempat bisa lolos melarikan diri. Kemudian sementara waktu tinggal di hotel untuk mengamankan diri. Ibu H juga mendapatkan informasi kalau ada pemerkosaan di tengah kerusuhan. Hal itu dialami keluarga muda yang tinggal di Karang Tembok. Perusuh memperkosa istri, yang merupakan ibu muda dari bayi.
"Mereka meninggalkan rumah setelah kerusuhan dan kami tidak pernah tahu ke mana mereka pindah. Ada banyak cerita tentang pemerkosaan," ungkapnya dalam tesis Evi. Perdebatan tentang kerusuhan Mei 1998 mencapai puncaknya yang paling kontroversial ketika membahas isu pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa. Isu pemerkosaan selama kerusuhan menimbulkan perhatian dan kecaman internasional.
Pada 1 Juli 1998, Bingky Irawan meluncurkan pernyataan bahwa pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa telah terjadi di bagian utara Surabaya (Kota Lama) selama kerusuhan (pada malam 14 Mei 1998). Sebagai pendeta Konghucu, dia menerima pengakuan dan laporan dari korban dan keluarga mereka, beberapa di antaranya berasal dari komunitas keagamaannya, yaitu kelenteng Boen Bio di Kapasan (Kota Lama).
Dia menjelaskan bahwa banyak perempuan diperkosa di depan orang tua atau suami mereka. Meskipun dia tidak menyebutkan jumlah pasti korban pemerkosaan, dia mengatakan bahwa korban di Jakarta lebih banyak daripada di Surabaya. Menurutnya, ada puluhan perempuan yang diperkosa.
Karena korban mengalami trauma, dia bermaksud mengirimkan relawan perempuan untuk membantu mereka menghadapi masa sulit. Dia berharap relawan dapat mengumpulkan lebih banyak data dan detail tentang pemerkosaan. Meskipun dia pesimis bahwa pelaku dapat dibawa ke pengadilan, Irawan menutup pernyataannya dengan mengharapkan polisi dan militer untuk melindungi keselamatan etnis Tionghoa.
Rangkaian interogasi pun harus dijalani Irawan usai mengeluarkan pernyataan tersebut. interogasi berakhir pada 15 Juli 1998, Presiden Habibie secara resmi mengutuk pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa selama kerusuhan di Jakarta dan kota-kota lain dan berencana untuk membentuk tim untuk menyelidiki kerusuhan Mei 1998.
Kelompok itu segera melaporkan hasil investigasi mereka secara anonim. Pada 5 Juli 1998, mereka melaporkan bahwa ada pemerkosaan terhadap empat perempuan Arab dan enam perempuan Tionghoa. Pada 16 Juli 1998, jumlah korban yang diverifikasi menjadi 15 perempuan.
Beberapa tokoh terkemuka juga memberikan data. Pendeta terkemuka, Sandyawan Sumardi SJ, mengatakan bahwa selama kunjungannya ke Surabaya, dia menerima pengakuan dari seorang korban Ketua Gerakan Pemuda Ansor NU Surabays Ansor, Choirul Anam, juga bersaksi bahwa bertemu dengan seorang korban dan dokternya.
Sementara itu, Aktivis 98 Surabaya, Taufik Hidayat alias Taufik Monyong mengakui memang kerusuhan pecah di Kota Pahlawan. Speerti tesis Evi, kerusahan tidak sebesar di Jakarta. Hal ini dapat diminimalisir karena sebagian warga Surabaya dapat diajak oleh aktivisi mahasiswa. Sehingga tidak saling serang.
"Memang terjadi penjarahan dan pelemaparan di Surabaya, kalau pemerkosaan belum dengar pastinya, yang jelas kami yang tergabung dalam gerakan mahasiswa itu kondusif kompak. Ditambah di Surabaya waktu itu masyarakat support," ungkapnya kepada IDN Times, Senin (16/6/2025).
Karena support inilah, berdiri beberapa pos jaga. Seperti di Pandegiling hinga Rangkah. "Kita tiap hari ngepos karena tahu di Jakarta rusuh. Di Surabaya idak terjadi mobilisasi seperti Jakarta," bebernya. Kendati demikian, Demisioner Ketua Dewan Kesenian Jatim ini menyesalkan rencana penulisan ulang sejarah oleh Menbud yang menghilangkan beberapa peristiwa. Salah satunya mengenai perjuangan reformasi yang di dalamnya memang sempat terjadi kerusuhan.
"Aku melihat faktanya memang di Jakarta seperti. Jangan terus dihilangkan. Aku melihat kenyataan seperti itu, peristiwanya keos. Sejarah biarkan jadi sejarah, fakta jadi fakta, jangan diubah. Sejarah nenek moyang kita dulu diubah Belanda. Masak sekarang kita ubah sejarah kita sendiri," tegas Taufik.
Taufik menambahkan, persitiwa 98 adalah sebuah peristiwa yang di dalamnya berisi mahasiswa dan masyarakat bersatu mewujudkan semangat reformasi. Yang memang juga ada peristiwa kelam, berupa penjarahan, kekerasan hingga pemerkosaan. "Situasi politik momen itu ya begutu, mahasiswa ideal. Tulis saja. Ada tentang kejadian menjarah, memperkosa tulis saja," tegasnya.
"Kalau ada yang dihilangkan, teman-teman yang hilang apakah tidak ada artinya. Yang mati apakah tidak ada artinya. Saya ingatkan, pemerintah ini lima tahunan. Rakyat abadi. Saya lihat penulisan ulang sejarah ini ada kepentingan politik, instrumen yang dipakai di Kemenbud tidak berkubudayaan, yang harusnya mencatat sebenarnya, bukan menghilangkan faktanya," pungkas Taufik.