Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Disebut Ampuh Pulihkan Pasien COVID, Vitamin D Tak Baik untuk Obesitas

dr. Henry Suhendra, SpOT yang merupakan alumnus Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga tahun 1992. Dok. Humas Unair.
dr. Henry Suhendra, SpOT yang merupakan alumnus Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga tahun 1992. Dok. Humas Unair.

Surabaya, IDN Times - Vitamin D disebut-sebut dapat menaikan imunitas seseorang serta membantu pemulihan pasien terinfeksi COVID-19. Namun siapa sangka, vitamin D dan obesitas ternyata memiliki hubungan yang kurang menyenangkan.

1. Suplemen Vitamin D susah diserap oleh penyintas obesitas

ilustrasi minum vitamin dan cairan ion (IDN Times/Mardya Shakti)
ilustrasi minum vitamin dan cairan ion (IDN Times/Mardya Shakti)

Alumnus Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair), dr. Henry Suhendra, membeberkan orang-orang dengan obesitas tinggi lebih rentan terinfeksi COVID-19. Alasannya, karena kandungan vitamin D pada tubuh penderita berat badan berlebih hanya sekitar 50-70 persen.

Sebab, sambung dr Henry, vitamin D yang seharusnya larut dalam lemak lebih banyak terperangkap dalam lemak. Sehingga yang tersisa pada pembuluh darah hanya sedikit. Kemudian, yang bisa dipakai vitamin D di pembuluh darah, baru dibawa ke organ-organ.

"Jadi semakin tebal lemak seseorang, Vitamin D akan semakin banyak tersimpan di lemak dan jadinya useless," ujarnya dalam rilis resmi Unair yang dilihat, Minggu (18/7/2021).

2. Kebutuhan vitamin D dapat terpenuhi dengan berjemur di siang hari

Youngerlooks
Youngerlooks

Untuk mengetahui asupan vitamin D dalam tubuh telah optimal atau belum, kata dr. Henry, diperlukan kontrol terhadap sejumlah aspek lain. Seperti kalsium dalam darah, kalsium pada urine, serta hormon yang dikeluarkan oleh paratiroid.

Sebenarnya, ada beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan vitamin D agar optimal. Salah satunya yakni berjemur di panas matahari atau mengonsumsi suplemen vitamin D. Henry menyarankan memilih waktu antara jam 11 hingga 1 siang.

Hal tersebut sesuai dengan hasil riset dari salah satu peneliti asal Boston yang datang ke Indonesia pada 2011 lalu. “Jam berjemur paling optimal, dimana kadar Ultraviolet B maksimum didapat bukanlah pagi hari, melainkan pada jam 11 hingga jam 1 siang,” tegas dia.

3. Disarankan berjemur dengan 85 persen tubuh harus terpapar sinar matahari

ilustrasi pernapasan QR (pexels.com/Pixabay)
ilustrasi pernapasan QR (pexels.com/Pixabay)

Lebih lanjut, seseorang yang berjemur 85 persen tubuh harus terpapar sinar matahari secara langsung. Sebab, jika terhalang baju atau objek lainnya, yang didapat tubuh hanya Ultraviolet A yang tidak membentuk vitamin D.

Terkait lama waktu berjemur juga dipengaruhi oleh tipe kulit. Dari enam tipe kulit yang berbeda, mayoritas orang Asia Tenggara berada di urutan 4 dan 5. “Kita kalau jemur rata-rata perlu tiga sampai empat kali lebih banyak daripada bule-bule untuk mendapatkan vitamin D yang sama. Itu susah, makanya bisa kita ganti juga dengan suplemen,” pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ardiansyah Fajar Syahlillah
EditorArdiansyah Fajar Syahlillah
Follow Us

Latest News Jawa Timur

See More

Kakek Tiri Bejat, Perkosa Cucu Usia 6 Tahun di Gresik

14 Des 2025, 15:04 WIBNews