Millennials Belajar Penanganan Wabah pada Masa Kolonial

Ternyata karantina wilayah sudah ada sejak dulu lho

Surabaya, IDN Times - Presiden Joko 'Jokowi' Widodo telah mengeluarkan keputusan guna menangani wabah virus corona di Indonesia. Sejak mengumumkan kasus 01 dan 02 positif COVID-19, 2 Maret lalu, Jokowi langsung menginstruksikan masyarakat menerapkan social distancing.

World Health Organization (WHO) kemudian mengganti istilahnya dengan physical distancing. Pemerintah Indonesia lantas mengikuti istilah itu. Nyatanya, physical distancing masih dianggap kurang efektif karena banyak masyarakat yang masih keluar rumah dan berkerumun.

Maka, Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Selasa (31/3). Dalam PP PSBB tersebut dijelaskan bahwa adanya pembatasan mobilitas di daerah yang terjangkit karena memiliki angka kasus tinggi. Sehingga, sekolah dan kerja harus diliburkan. Kemudian kegiatan agama dan di tempat umum juga ditunda sementara waktu. Namun pelaksanaannya harus merujuk pada UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Nah, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kini tengah menggodok peraturan pembatasan itu. Rencananya, kendaraan yang memiliki nomor polisi (nopol) atau pelat selain L (wilayah Surabaya), maka dilarang masuk. Kecuali mereka ber-KTP Surabaya dan memiliki kebutuhan mendesak.

Beberapa profesi seperti dokter, pegawai bank, pekerja konstruksi, dan lain-lain masih diberikan akses keluar masuk Surabaya. Meskipun mereka naik kendaraan tidak berpelat L. Namun, mereka akan diperiksa secara ketat di perbatasan kota.

"Intinya nanti screening case by case. Akan ada kriterianya," ujar, Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya Irvan Wahyudrajad dikonfirmasi IDN Times, Selasa (31/3).

Kondisi serupa justru sudah mulai diterapkan di Banyuwangi. Penumpang kapal dari Pelabuhan Ketapang yang akan menyeberang ke Bali diperiksa ketat. Prioritas utama yang boleh masuk ke Pulau Dewata itu hanyalah yang ber-KTP Bali. Di luar itu, hanya boleh masuk ketika ada kebutuhan mendesak seperti kendaraan logistik.

Aturan tersebut dijalankan sesuai Surat Edaran (SE) Gubernur Bali tanggal 16 Maret 2020. Intinya meminta masyarakat mengurangi aktivitas keluar-masuk Bali. Tujuan dari SE ini tak lain ialah untuk memutus mata rantai penularan COVID-19 dari orang ke orang.

Kabupaten di Selatan di Jatim, yakni Trenggalek juga baru-baru ini menerapkan pembatasan akses keluar masuk ke daerahnya. Bahkan, Bupati Trenggalek Mochammad Nur Arifin memerintahkan pemasangan beton pada di perbatasan.

Hanya ada tiga titik masuk yang bisa dilewati. Yakni jalur jalan nasional Trenggalek-Tulungagung, jalur jalan nasional Ponorogo-Trenggalek, dan jalur jalan nasional Pacitan-Trenggalek. Pembatasan ini bertujuan orang yang masuk ke Trenggalek, dapat terdata secara keseluruhan oleh petugas gabungan di check point.

"Kami melakukan pemeriksaan suhu tubuh serta penyemprotan disinfektan di checkpoint ini," kata Ipin sapaan akrabnya melalui teleconference, Minggu (29/3).

Tapi tahukah kamu? Kebijakan pembatasan akses seperti sekarang ini ternyata telah diterapkan pada masa kolonial lho.

Sekitar abad ke-19, kawasan nusantara diterpa wabah kolera yang sangat dahsyat. Pemerintah Hindia-Belanda pun membuat berbagai aturan untuk menangkal wabah ini agar tidak terus merebak.

1. Wabah pertama tahun 1864-1875

Millennials Belajar Penanganan Wabah pada Masa KolonialIlustrasi Virus Corona (IDN Times/Reja Gussafyn)

Sejarahwan Universitas Airlangga (Unair) Purnawan Basundoro menyebut, wabah terdahsyat dan pertama kali masuk Indonesia pada tahun 1864-1875. Wabah penyakit ini bernama kolera dan diduga dibawa masuk oleh masyarakat yang baru saja pulang melaksanakan ibadah haji.

Kantong-kantong pintu masuk kawasan pelabuhan pun diperketat karena wabah kala itu terus meluas. Tak main-main, angka kematian seseorang apabila terpapar wabah ini sekitar 40-50 persen pada saat itu. Sampai-sampai keluar istilah pagi sakit, sore meninggal dunia.

"Wabah ini masuk di kota-kota besar yang memiliki pelabuhan, saat itu Batavia, Semarang, dan Surabaya," ujar Purnawan kepada IDN Times, Rabu (1/4).

2. Berlakukan screening, karantina hingga isolasi

Millennials Belajar Penanganan Wabah pada Masa KolonialIlustrasi karantina wilayah. IDN Times/Mia Amalia

Tak tinggal diam Pemerintah Hindia Belanda pun memberlakukan screening di kawasan pelabuhan. Maklum, saat itu transportasi publik dari luar daerah dan luar negeri ialah kapal. Para penumpang yang naik dan turun diperiksa terlebih dahulu. Apabila sehat dipisahkan, jika sakit langsung dikarantina.

"Kebijakan itu berlaku bagi penumpang umum," kata Purnawan.

Sedangkan penumpang khusus, dalam hal ini jemaah haji yang pulang dari Arab Saudi, tidak diperkenankan masuk ke area pelabuhan terlebih dahulu. Mereka diharuskan isolasi di pulau yang telah ditetapkan. "Semacam diisolasi, SOP pada saat itu mencegah wabah," ucap dia.

3. Lokalisasi episentrum wabah

Millennials Belajar Penanganan Wabah pada Masa KolonialIlustrasi virus corona. IDN Times/Sukma Shakti

Tak cukup sampai di situ, Pemerintah Hindia-Belanda juga mengidentifikasi episentrum wabah. Khusus di Surabaya, ternyata di kawasan Krembangan memiliki jumlah penduduk terbanyak yang tertular kolera. Sebab, kawasan tersebut letaknya berdekatan dengan pelabuhan.

Untuk meminimalisir meluasnya wabah, pemerintah langsung melokalisasi kawasan Krembangan pada tahun 1870. Sehingga penduduk yang terinfeksi wabah, mobilitasnya terbatas. Mengingat di kawasan sekitar juga ada permukiman orang Eropa, yakni sekitar Jalan Rajawali dekat Jembatan Merah Surabaya.

"Tahun 1870 lokalisir kawasan Krembangan itu. Selain krembangan itu juga di Gresik. Bahkan di Gresik 1873 ada 1.200 kena kolera," Purnawan membeberkan.

Baca Juga: Pekan Ini, Kendaraan Selain Plat L Tak Boleh Masuk Surabaya

4. Pemberlakuan libur kantor hingga pembatasan buruh pabrik

Millennials Belajar Penanganan Wabah pada Masa KolonialIlustrasi bekerja dari rumah. (IDN Times/Arief Rahmat)

Kebijakan lain yang diambil Pemerintah Hindia-Belanda di tengah wabah kolera yaitu pemberlakuan libur kerja. Aktivitas perkantoran di sekitar pelabuhan, khususnya Jalan Rajawali hingga Jalan Veteran, menjadi lumpuh. Bahkan buruh pabrik yang masuk kerja juga dibatasi.

Dalam buku Oud Soerabaya de Geschiedenis Van Indies Eerste Kopstad Van de Out-ste Tijden Instiling Van den Gemeenteraad, 1904 karangan Von G.H. Faber yang disebut Purnawan, ada suatu pabrik yang memiliki 300 buruh tapi hanya mewajibkan 30 saja yang masuk kerja.

Dampak ekonomi atas kebijakan itu lambat laun terasa, banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan perusahaan terhadap pekerjanya. Bahkan, proyek strategis pemerintah kala itu juga sempat mengalami perlambatan.

"Proyek pembangunan pada waktu itu. Kemudian kantor kosong, pegawainya terserang kolera. Buruh banyak dirumahkan," ucap dia.

Namun, kebijakan ini akhirnya berbuah hasil. Selama 11 tahun berjalan, wabah bisa diatasi. Pada tahun 1876, Pemerintah Hindia-Belanda kembali memulihkan kondisi yang ada hingga akhir abad ke-19.

5. Buat karantina wilayah dan program proyek perbaikan kampung

Millennials Belajar Penanganan Wabah pada Masa KolonialIlustrasi karantina wilayah. IDN Times/Mia Amalia

Wabah tetaplah wabah, tak tahu kapan datangnya. Awal abad ke-19, tepatnya 1911, wabah bakteri yersinia pestis atau yang lebih dikenal pes menerpa Hindia-Belanda. Bakteri ini berasal dari tikus dan kutu tikus.

Surat kabar berbahasa Belanda Het Nieuws van den Dag edisi 3 Mei 1911 melaporkan, dalam pertemuan antara dokter, otoritas kereta api, dan pemerintah daerah Malang ada opsi untuk melakukan karantina wilayah di Malang untuk mencegah penyebaran wabah pes. Langkah ini diambil pemerintah untuk Malang.

Satu tahun berikutnya, berdasarkan buku Mededeelingen Van Den Burg Burgerlijken Geneeskundigen Dienst, Anno 1923 deel II pada skirpsi mahasiswa Ilmu Sejarah, Fakultas Imu Budaya, Unair, Akustiana Fitri "Pelayanan Kesehatan dan Karantina Haji di Hindia Belanda Tahun 1912-1932", kolera kembali merebak pada tahun 1912.

Tabel yang ditampilkan, selama 10 tahun penanganan kolera terus menurun. Dari 7.000 pasien di tahun 1912 turun menjadi empat pasien pada 1921 di seluruh Jawa dan Madura. Penanganan saat itu diakui memang membutuhkan waktu yang lama.

"Karena rumah sakit terbatas, dokter terbatas, obat modern langka. Masyarakat bumi putera dianjurkan minum rempah-rempah saja," Purnawan membeberkan.

Pemerintah Hindia-Belanda pun terus mencari solusi agar wabah pes maupun kolera tidak terjangkita luas. Mereka menggelar kongres di Semarang pada 1922. Isinya yaitu membuat program proyek perbaikan kampung.

Karena setelah ditelusuri, wabah terjadi masalah kebersihan. Terlebih banyak rumah penduduk di perkotaan yang masih menggunakan bambu dan ilalang. "Saat itu juga semua mulai dibenahi, karena rumah penduduk sebelumnya diduga jadi sarang tikus juga. Itu yang mengakibatkan wabah pes," kata dia. Program ini pun berdampak positif.

Nah, meskipun kebijakan pemerintah hari ini untuk menangani COVID-19 hampir menyerupai masa kolonial, diharapkan ada percepatan. Menurut Purnawan, meminimalisir mobilitas ialah upaya terbaik memutus mata rantai penularan seperti yang dilakukan Pemerintah Hindia-Belanda.

"Efektif menghentikan penyebaran adalah mencegah mobilitas manusia," ucap dia.

Semoga yang sakit lekas sembuh, semoga yang sembuh tetap sehat. Cepat membaik dan pulih bumiku. Indonesiaku. Merdeka!

Baca Juga: Beberapa Jenis Pekerja Masih Boleh Masuk, Meski Surabaya Dikarantina

Topik:

  • Dida Tenola

Berita Terkini Lainnya