Mengubur Harap Pengungsi Afghanistan di Puspa Agro 

Mereka sudah hampir 12 tahun di pengungsian tanpa kepastian

Surabaya, IDN Times - Wajah Mohammad Ali (36) basah kuyup penuh keringat usai berjalan dari Jalan Tunjungan menuju kantor Kanwil Kemkumham Jatim, Senin (22/6/2022). Bersama puluhan rekan senasib, pria Afghanistan ini mencari kepastian hidup. 

Pengungsi yang tinggal di Rusun Puspa Agro, Desa Jemundo, Kecamatan Taman, Sidoarjo itu lupa kapan terakhir kali ia hidup tenang. 12 tahun lamanya ia tinggal  di tempat pengungsian yang ia anggap sebagai sebuah penjara. Dengan bahasa Indonesia seadanya, Ali bercerita tentang awal mula perjalanan hidupnya. 

Tahun 2010 silam, saat usia Ali baru menginjak 22 tahun, ia memberanikan diri masuk ke Indonesia lewat Bandara Soekarno-Hatta dengan dibantu oleh seorang makelar. Indonesia bukan tujuan utama. Ia dan bersama imigran lainnya berencana ke Australia. Bagi Ali dan warga Afghanistan, Australia adalah sebuah mimpi. Yang ia dengar, banyak saudara sebangsanya mendapatkan penghidupan layak di negeri Kanguru tersebut. Ia pun menyeberang menggunakan kapal ilegal melalui Kupang, Nusa Tenggara Timur, 

"Kapal kita tenggelam, kita ditangkap di Kupang. Habis itu saya balik lagi ke Bogor," ujar Ali. Tak kapok, ia mencoba peruntungannya kembali. "Akhir 2012 saya naik perahu lagi, ditangkap lagi. Terus saya ke Cilegon selama tiga bulan," ujar Ali, sambil mengelap keringat di dahinya.

Baca Juga: Arus Pengungsi Afghanistan kian Deras, 5 Negara Ini Tutup Pintu

Mengubur Harap Pengungsi Afghanistan di Puspa Agro Sejumlah pengungsi Afghanistan saat melakukan aksi di Surabaya, Senin (20/6/2022). (IDN Times/Khusnul Hasana)

Tidak berhenti di Cilegon, nasib Ali masih terombang-ambing. Ia pun pindah ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Setelah lima bulan di Tanjung Pinang, barulah ia pindah ke Rusunawa Puspa Agro, Sidoarjo.

Di sini lah ia kemudian menghabiskan sepertiga masa hidupnya. Tentu saja dengan ketidakpastian. Hidup di pengungsian, justru membuatnya tak karuan. Hingga ia harus minum obat tenang. "Masalah saya makin parah, karena sekarang saya tidak bisa ingat. Kalau malam saya makan, besoknya saya lupa," ungkap Ali.

Ali mengaku stres. Tak ada kegiatan yang bisa ia lakukan di tempat pengungsian. Setiap hari Ali dan teman-temannya hanya tidur dan makan. “Kami dapat pelatihan, tapi pelatihan itu cuma buat 10 orang dari 300 orang (pengungsi). Pelatihan itu juga buat apa, kami tidak boleh kerja, stres kami," tuturnya. Belum lagi, hampir setiap hari ia dihantui rasa cemas tentang nasib keluarganya.

"Ibu saya ada, di Pakistan, kita pindah dari Afghanistan ke Pakistan, imigran. Kabar mereka baik, tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa kalau mereka sakit misalnya. Fisik kita di sini tapi pikiran kita di sana (keluarga)," kata Ali.

Tak banyak keinginan Ali dan teman-temannya ini, ia hanya ingin Pemerintah Indonesia membantu para pengungsi untuk memproses resettlement atau kepindahan menuju ke negara ketiga. Asa itu terus ia pupuk. Seminggu sekali ia menggelar aksi. Tapi sesering itu pula ia pulang dengan tangan kosong.

"Kita demo di mana-mana, kita demo di depan kantor Gubernur, kantor perwakilan, dan di mana-mana. Tapi mereka hampir tidak mau bicara sama kita. Kita cuma mau bicara, supaya mereka (pemerintah) sampaikan suara kita, tapi mereka gak peduli," urainya.

Mengubur Harap Pengungsi Afghanistan di Puspa Agro Rusunawa Jemundo. Tempat tinggal pengungsi Syiah Sampang. IDN Times/Vanny El Rahman

Pemerintah bukan tak tahu kisah Ali dan kawan-kawannya. Namun, mereka berdalih terbentur peraturan. Kasubsi Ketertiban Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Surabaya, Wahyu Tri Wibowo, mengatakan, kewajiban pemerintah Indonesia hanya memenuhi hak tempat yang aman, kebutuhan sehari-hari dan hak kesehatan. Di luar hal-hal tersebut menjadi kewajiban International Organization for Migration (IOM) dan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).

"Tidak ada kegiatan untuk mereka, mereka tidak mempunyai izin tinggal, kalau mereka punya izin tinggal, mereka bisa melakukan aktivitas lain," ujar Bowo, sapaan akrabnya saat dihubungi IDN Times.

Sejauh ini, kata dia, ada 323 orang yang tinggal di Puspa Agro, Sidoarjo. Mayoritas dari mereka adalah pengungsi asal Afghanistan. "Semuanya laki-laki, kalau di green bambu itu ada 38, ada 11 orang keluarga, ada 3 keluarga." Mereka ditangani oleh Satgas Penanganan Pengungsi Darurat yang terdiri dari kepolisian, TNI dan pemerintah.

Pernyataan Bowo juga diamini oleh Kepala Bagesbangpol Kabupaten Sidoarjo, Mustaim Baladan. Ia menjelaskan bahwa penanganan Pengungsi di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2015 tentang penanganan Pengungsi dari luar negeri. Dalam Perpres tersebut ada sejumlah larangan yang tidak boleh dilakukan oleh pengungsi.

Baca Juga: Turki Tegaskan Tidak Akan Menerima Pengungsi Afghanistan

Salah satu poin dalam beleid itu antara lain soal larangan melakukan aktifitas perekonomian di luar penampungan. Pengungsi, kata dia, hanya diizinkan melakukan aktifitas perekonomian di dalam penampungan dan hanya dikhususkan bagi sesama pengungsi.

"Pengungsi dilarang bekerja dan mendapatkan upah baik dalam bentuk barang maupun jasa," ungkapnya.

Jika melanggar, mereka akan dikenai sanksi. "Sanksi sedang, ditempatkan dalam ruang detensi paling lama 7 hari dan menunda atau meniadakan hak tertentu dalam kurun waktu tertentu. Sanksi berat ditempatkan dalam ruang isolasi paling lama 14 hari dan dapat diperpanjang sebanyak 2, kali paling lama 7 hari di setiap perpanjangannya," jelasnya.

Mustaim menuturkan, pemerintah telah berusaha sebaik mungkin menangani pengungsi di Indonesia, utamanya membantu pengungsi agar bisa menuju ke negara ketiga. Namun, ada sejumlah hal yang dihadapi, salah satunya adalah kuota dari negara penerima alias resettlement country dan lamanya proses resettlement oleh UNHCR.

"Dinaturalisasi juga tidak bisa, memangnya mereka punya skill apa. Kalau pemain bola bisa. Ya kita hanya bisa sabar dan ikhlas," kata Mustaim.
Nasib Ali dan teman-temannya memang bukan berada di tangan Pemerintah Indonesia. Sebab, Indonesia belum menjadi negara yang menandatangani Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi atau Protokol 1967. Karena kondisi tersebut, UNHCR lah yang memproses permintaan status pengungsi di Indonesia atas nama Pemerintah Indonesia. Sementara untuk melindungi pengungsi selama tinggal di Indonesia, ada organisasi Internasional untuk Migran atau IOM yang berkontribusi untuk perlindungan para migran.

Mengubur Harap Pengungsi Afghanistan di Puspa Agro Seorang ayah dan anak-anak pengungsi dari Afghanistan meninggalkan pesawat angkut C-17 Globemaster AS setelah tiba di Pangkalan Udara Ali Al Salem, Kuwait, Selasa (24/8/2021). Gambar diambil (24/8/2021). ANTARA FOTO/U.S. Air Force/Staff Sgt. Ryan Brooks/Handout via REUTERS/WSJ.

Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Airlangga, Joko Susanto mengatakan permasalahan penangana pengungsi di Indonesia memang cukup kompleks. Salah satunya karena Indonesia tidak menandatangani Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi atau Protokol 1967. Sehingga langkah pemerintah untuk penenanganan pengugsi, sangat terbatas. Terlebih, masalah di Indonesia sendiri cukup banyak. "Jangankan mengurus pengungsi, mengurus rakyat sendiri saja terkadang masih kesulitan," kata dia. Problem lain adalah negara-negara yang diharapkan meneriman pengungsi juga sedang kesusahan akibat pandemik COVID-19.

Joko melanjutkan, nasib pengungsi di Indonesia semakin terkatung-katung saat Australia menyetop bantuan bagi pengungsi di Indonesia. Akibatnya, Indonesia harus menanggung sendiri biaya bagi pengungsi.

Meski begitu, ada beberapa opsi yang bisa ditawarkan agar nasib pengungsi tak semakin terkatung-katung. Pertama mereka harus dikembalikan ke negara asal, selagi negara asal tersebut selesai dalam konflik.

Kedua, diasimilasi di Indonesia. Namun, opsi kedua ini berat karena mereka tidak menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan. Sebaliknya, Indonesia juga tidak tertarik untuk menampung mereka. Opsi ketiga adalah bekerjasama dengan IOM dan UNHCR untuk menyalurkan mereka ke negara-negara ketiga. "Tapi itu tidak mudah," ungkap Joko.

Peliknya masalah pengungsi ini, menurut dia seharusnya tidak hanya dipikirkan sendiri oleh Indonesia dan negara ketiga. "Negara-negara muslim yang kaya-kaya itu juga perlu untuk diajak ngomong," sebut Joko.

Sebaliknya, bagi pengungsi, mereka juga harus menerima apa yang terbaik bagi mereka. 
"Dari pada mereka hidup tidak jelas, malah nanti akan timbul masalah sosial, bahkan beberapa ada yang terlibat kriminal, mereka juga stres," kata Joko.

Ali dan kawan-kawan tampaknya masih harus bersabar sambil terus menggelar aksi di jalan. Mengurai masalah yang ia hadapi perlu waktu dan kerjasama banyak pihak. Padahal, sekali lagi Ali menegaskan bahwa mimpinya tak banyak. Ia hanya ingin segera keluar dari tempat pengungsian. Bahkan, saat ditanya, apakah ia ingin menjadi Warga Negara Indonesia, Ali sama sekali tak tertarik. 

"Kita gak minta apa-apa, walaupun kita dikasih uang setiap bulan, kita cuma mau proses (ke negera ketiga)," pungkasnya.

Baca Juga: Cari Kepastian, Pengungsi Afghanistan Longmarch di Surabaya 

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya