Berdaya dan Lestari dengan Kain Ecoprint

Sidoarjo, IDN Times - Berbisnis sambil melestarikan lingkungan. Misi itulah yang diusung oleh para pengusaha kain motif berbahan alam alias ecoprint. Mereka meninggalkan bahan kimia dan beralih pada bahan alam, terutama daun. Sayangnya niat baik memang tak selalu langsung berbuah manis. Mereka kerap susah mendapat pembeli karena alasan harga.
Meski masih terbatas, kain ecoprint kini kian banyak digemari. Salah satu cerita sukses pengusaha ecoprint datang dari perempuan Sidoarjo bernama Riski Fakhrunnisa. Riski yang mengawali usaha pada tahun 2018 ini mulanya mengaku tak sengaja. Ia dulunya hanya kolektor kain. Perjumpaan pertamanya dengan adalah saat mendapat pelatihan pembuatan ecoprint pada tahun 2018. Selain motifnya, Riski mengaku kesengsem kepada jenis kain ini karena ramah lingkungan. “Tak ada bahan kimia sama sekali dalam pembuatan kain ecoprint,” ujarnya, kepada IDN Times, Selasa, (16/5/2023).
Meski begitu, diakui Riski bahwa pembuatan ecoprint tak mudah. Setiap perajin punya cara masing-masing. Riski misalnya, biasanya memulai produksi dengan membersihkan kain katun sebagai bahan dasar. Kain katun harus bersih dari zat kimia agar warna dan jejak daun bisa meresap ke pori-pori. Lantaran rumitnya proses pengerjaan, dalam sehari Riski mengaku maksimal hanya bisa memproduksi lima lembar kain.
Setelah beberapa kali berhasil membuat kain ecoprint, Riski pun memberanikan diri mengikuti berbagai pameran, salah satunya yang diselenggarakan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada tahun 2019. Saat itu, produknya memang tak banyak yang beli. Namun, di momen itulah ia bertemu dengan seorang asal Banyuwangi. “Dia jadi reseller besar saya, sampai sekarang,” ujarnya.
Sayangnya, memasarkan ecoprint sama susahnya dengan proses produksinya. Banyak calon konsumen yang menolak dengan dalih kemahalan. “Karena mereka tak tahu proses rumitnya. Padahal, ada misi merawat lingkungan yang kami usung. Nah, sambil jualan kami juga mengedukasi,” kata dia.
Setelah menemukan pasar, ia pun terus mengembangkan usahanya. Tak cuma kain, Riski terus berinovasi dengan membuat outer, dompet, syal, jilbab, hingga alas kaki. Dari sebuah ketidaksengajaan, Riski sekarang justru bisa menjadi perempuan berdaya yang mampu melestarikan lingkungan.
“Alhamdulillah berkat konsistensi, pelan tapi pasti pasar saya sudah terbentuk. Saat ini omzet rata-rata sih sekitar Rp7-12 juta sebulan,” ujarnya.
Cerita sukses juga datang dari perempuan Sidoarjo lain, Winarsih. Ia jatuh bangun, banting setir sebelum akhirnya menjadi produsen kerajinan tangan berbahan ecoprint. Wina,begitu ia biasa dipanggil, sebelumnya adalah pengusaha furniture. Ia mengaku beralih ke ecoprint karena melihat potensi pasar produk ini.
Agar tak sama dengan perajin lain, Wina memadukannya dengan kerajinan tangan lain. “Saya mengombinasikan dengan produk kerajinan tangan lain, seperti anyaman,” kata Wina. Dari hasil kombinasi ini, ia pun menghasilkan berbagai kreasi, mulai dari tas, kotak tisu, hingga kap lampu. Produk-produk yang kemudian ia beri merek Hana Wina Craft itu pun ia lempar ke pasaran.
Tapi sekali lagi, memasarkan produk ecoprint tak semudah yang dibayangkan. Ia sempat mengalami berbagai penolakan. Ditambah lagi, persaingan di industri ini juga cukup ketat. Setelah beberapa kali mencoba, Wina akhirnya menemukan target pasarnya.
“Ternyata produk saya banyak diminati oleh anak muda, terutama perempuan,” ujarnya. Untuk menggenjot pemasarannya, Wina pun mulai rajin mengikuti pameran-pameran Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Jejaring bisnisnya makin meluas saat menjadi mitra binaan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Wina mengaku mendapat wadah dalam mengembangkan bisnisnya.
Di saat bisnisnya sedang matang, pandemi datang. Ia sempat resah resah karena banyak UMKM gulung tikar. Namun, ia kembali memutar otak. Ternyata, di tengah ganasnya pandemi ia menemukan kembali celah bisnis.
“Saya bikin kreasi masker batik ecoprint,” ujarnya. Hasilnya di luar dugaan. Pesanan masker miliknya membuludak. Bahkan, dari hasil penjualan masker batik itu, Wina mampu membeli peralatan produksi yang baru. Tentu saja penambahan alat itu mampu meningkatkan produktivitasnya. Ia pun kini mampu mengantongi omzet hingga Rp5 juta. Selain mandiri, ia juga mampu menjadi bagian dari pelestarian lingkungan.