Saat Siswa-siwa dari Kota Jadi Pencari Rumput di Pelosok Banyuwangi
Banyuwangi, IDN Times - Sebanyak 258 Siswa-siswi kelas VIII Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 01, Kelurahan Penganjuran, Kabupaten Banyuwangi selama empat hari akan tinggal bersama masyarakat di perkampungan pelosok, Lingkungan Papring, Kecamatan Kalipuro.
Mereka yang biasa tinggal di kawasan perkotaan akan menginap dan mengikuti aktivitas keseharian masyarakat yang rata-rata bekerja sebagai penyadap karet, mencari rumput maupun berkebun kopi. Lokasi Kampung Papring, sendiri berada di perbatasan hutan Perhutani KPH Banyuwangi Utara.
1. Menempuh perjalanan di pelosok kampung
Pagi tepat pukul (7/3), ratusan siswa didampingi wali murid, masing-masing tampak menyiapkan keberangkatan dari SMPN 1 menuju Kampung Papring. Masing-masing siswa tampak mengenakan pakaian adat lokal Suku Using dengan setelan kemeja warna hitam, lengkap dengan udeng di kepala. Berbagai perlengkapan menginap sudah tertata rapi dengan tas maupun koper. Perjalanan menuju Kampung Papring ditempuh dengan menyewa puluhan kendaraan mobil angkutan kota.
Perjalanan dari SMPN 1 yang ada di jantung kota Banyuwangi menuju Kampung Papring membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Akses jalan yang menukik naik dan turun disertai kondisi jalan yang terjal membuat mobil angkutan kota seringkali macet dan harus mendinginkan mesin. Para siswa pun tidak sedikit yang berjalan kaki untuk mengurangi beban muatan.
"Ayo semangat teman teman," ujar salah satu siswa sambil ikut mendorong mobil angkutan yang macet. Masyarakat sekitar pun juga tampak gotong-royong mendorong mobil angkutan saat di tanjakan.
2. Demi pendidikan karakter
Guru SMPN 1 sekaligus Koordinator Kegiatan, Muhammad Saiful menjeaskan, program karantina para siswa agar tinggal di perkampungan pelosok, memang tidak masuk dalam kurikulum. Namun, SMPN 1 menginisiasi sebagai cara agar para siswa bisa mengaplikasikan materi pelajaran di kelas dengan praktik langsung di kehidupan nyata, yakni bermasyarakat.
"Ini adalah program dari kegiatan ekstrakulikuler, jadi apa yang sudah dipelajari secara teori di kelas, misalkan IPS, PPKN, Agama, bagaimana siswa menerapkannya secara langsung di masyarakat. ini kami laksanakan sejak 2012, rutin setiap tahun kami gelar," kata Saiful saat mengantar Anak-anak ke Kampung Papring.
Selama tinggal di rumah-rumah penduduk, para siswa akan belajar menggunakan bahasa lokal Using maupun Madura. Adaptasi juga dilakukan ibarat memiliki orangtua baru di rumah yang sedang ditinggali. Para siswa akan makan dengan menu yang biasa dimasak warga Papring, akan ikut mencari rumput bila memiliki ternak, dan aktivitas sehari-hari di kebun maupun hutan.
"258 siswa mereka akan tinggal selama 4 hari di dua Rukun Warga (RW). Dibagi kelompok-kelompok, dititipkan ke induk semang, mereka akan hidup seperti yang dilakoni bapak emaknya (orangtua sementara), kalau lagi nyari rumput, ya dia akan ikut bantu nyari rumput," ujar Saiful.
Harapannya, setelah menuntaskan pengalaman menginap dan berbaur dengan masyarakat di pelosok, para siswa bisa belajar bersyukur, lebih dewasa, dan tentunya memiliki karakter yang lebih mandiri.
"Mereka (siswa) akan menyadari, pertama pasti lebih bersyukur, karena hidup mereka jauh lebih baik secara ekonomi dibandingkan kehidupan warga yang hidup terpencil seperti ini. Tujuannya agar siswa bisa belajar bersyukur, melihat perjalanan susah, masyarakat di sini masih mau giat bekerja, anak-anaknya tekun belajar, masak yang hidupnya lebih mapan tidak mau giat. Setelah bersyukur harapannya siswa akan memperbaiki diri," katanya.
3. Program sempat mau ditiadakan, tapi orang tua siswa ingin dilanjutkan
Saiful melanjutkan, program ekstrakulikuler yang diberi nama "Homstay" sudah berlangsung sejak tahun 2012. Mulanya program tersebut sesuai arahan Menteri Pendidikan terkait program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) untuk meningkatkan mutu pendidikan. Setelah RSBI dihapuskan, SMPN 1 sempat mau menghapus program ekstrakulikuler Homestay ini, namun para wali murid justru ingin tetap diadakan.
"Pernah mau ditiadakan, kami rintis sejak era RSBI. Karena RSBI dibubarkan dan dianggap kurang berkenan, program ini sempat mau kami tiadakan. Tapi wali murid menganggap ini sangat penting, akhirnya disepakati dilanjutkan dengan konsekuensi dana kegiatan di-back up dari orangtua," paparnya.
Saiful sendiri sudah melakukan observasi dan bertanya kepada wali murid yang anaknya sudah menjalani pendidikan ekstrakulikuler Homestay. Katanya, karakter Anak-anak semakin santun, mandiri dan lebih rajin dibandingkan sebelumnya.
"Mereka jadi berubah, semua yang telah mengikuti program homestay wali murid melaporkan karakternya berubah, lebih santun, lebih rajin. Jadi ini pendidikan karakter," jelasnya.
Selama tinggal dengan induk semang di Kampung Papring, para siswa tidak diperbolehkan membawa kebiasaan di kota. Sebab, para guru telah memilih rumah-rumah yang menjadi induk semang masih menggunakan dinding dari anyaman bambu, tidak beralas keramik, kehidupan sederhana.
"Rumah-rumah penduduk yang ditempati para siswa kriterianya harus sederhana, dan orang tua angkat induk semang harus memiliki pekerjaan tetap yang ada di sekitarnya saja, tidak sampai pergi jauh dari rumahnya," ujarnya.
4. Berbagi manfaat
Sementara itu, warga Papring, Widie Nurmahmudy (40) mengatakan Anak-anak yang tinggal di rumahnya akan diajari sejumlah kerajinan kearifan lokal, seperti membuat gedhek dan besek dari anyaman bambu, serta piring dari lidi.
"Nanti ada kegiatan pelatihan yang akan digelar warga sendiri, ada anyaman bambu, buat besek dan buat piring dari lidi. Warga sendiri yang akan melatih, kami sudah musyawarah bersama ketua-ketua Rukun Tetangga (RT)," ujar widi.
Widi sendiri berharap, para siswa SMPN 1 yang tinggal di Papring bisa memberi manfaat, khususnya kepada Anak-anak sebaya di Papring. Dia menjelaskan, motivasi belajar dan bersekolah di Papring masih terbilang kurang, setelah lulus dari pendidikan Sekolah Dasar (SD) banyak yang memilih bekerja dan kemudian menikah.
"Harapannya bisa memotivasi Anak-anak Papring untuk melanjutkan brlajar di SMP, tidak hanya berhenti sekolah di SD. Bahwa pendidikan itu penting, tidak hanya belajar dari masyarakat," kata pria yang berprofesi sebagai petani kopi ini.
Widya, salah satu siswa SMPN 1 mengaku terkesan, perjalanan yang cukup panjang dan kondisi perkampungan yang masih rindang membuat dia penasaran. "Ya baru pertama kali ke sini ternyata ada penduduk yang tinggal lokasinya jauh, jalannya masih susah. Semoga saya bisa kerasan dan betah," katanya.