LBH Surabaya Nilai Pengesahan RKUHAP akan Perkuat Impunitas Polisi

- LBH Surabaya menilai pengesahan RKUHAP oleh DPR RI ugal-ugalan dan kurang melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
- KUHAP baru memperkuat kewenangan kepolisian, mendegradasi standar HAM, dan tidak mengadopsi hak perempuan dan anak.
- Pasal 90 dan 93 dalam KUHAP baru dinilai bisa mendorong penyidik untuk menghindari pengawasan yudisial.
Surabaya, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menilai pengesahan Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi KUHAP baru yang disahkan DPR RI, ugal-ugalan dan terkesan kucing-kucingan. Pembahasan RUU tersebut juga kurang melibatkan partisipasi publik yang bermakna, sehingga substansi isinya justru dianggap mendegradasi standar Hak Asasi Manusia (HAM) serta memperkuat kewenangan kepolisian.
LBH Surabaya yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan RKUHAP telah kerap kali memberikan pernyataan di publik mengenai dampak RKUHAP baru tersebut. Namun DPR RI justru sering membuat klaim secara sepihak.
"Nah, yang yang yang memang menjadi apa sorotan kami itu ada beberapa hal ya, ada beberapa bacaan ada kurang lebih ada 18. Pertama itu soal masalah klaim yang kemudian klaim dari DPR atau pemerintah, dalam hal ini bahwa kami dianggap setuju dan lain sebagainya. Karena apa, karena kami mendorong adanya partisipasi publik bermakna," ujar Direktur LBH Surabaya, Habibus Solihin, Rabu (19/11/2025).
Menurut Habibus, KUHAP baru justru memperkuat kewenangan kepolisian dan menambah ruang diskresi yang berpotensi memicu abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan. Padahal, KUHAP yang lama saja sudah gagal dalam mekanisme pengawasan yang terbukti dari maraknya praktik penganiayaan, salah tangkap, kriminalisasi, penggunaan kekuatan berlebihan hingga penyalahgunaan wewenang.
"Anehnya KUHAP itu justru memperkuat kewenangan kepolisian dan menambah ruang diskresi yang membuka ruang abuse of power gitu kan. Nah, praktik ini sebetulnya suatu tindakan impunitas kepolisian yang melakukan tindak pidana juga dibiarkan," ungkap dia.
KUHAP baru ini justru semakin mempersempit atau mendegradasi standar HAM warga negara. Meskipun konsideran RKUHAP menegaskan akan memperhatikan perkembangan hukum internasional.
"Faktanya dalam rumusan pasalnya RKUHAP itu justru mendegradasi standar HAM. dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik itu mengenai masalah prinsip keadilan yang jujur dan adil," ungkap dia.
Selain itu KUHAP baru dinilai tidak mengadopsi hak perempuan dan anak. "Jadi istilahnya kayak setengah hati gitu loh terkait dengan masalah perlindungan hak asasi manusianya di RKUHAP," terangnya.
KUHAP baru, khususnya pada Pasal 90 dan 93, terkait skema penahanan, LBH menilai pasal tersebut bisa mendorong penyidik untuk menghindari pengawasan yudisial. Skema penahanan alternatif memungkinkan penyidik membuat surat perintah penahanan sendiri tanpa penetapan hakim. Hal ini mempertebal alasan subjektivitas kepolisian dalam melakukan penahanan, bahkan ketika belum tentu ada tindak
"Jadi posisinya itu yang menjadi beberapa ancaman ke depan sehingga sehingga kalau menurut saya KUHAP ini akan menjadi hal yang luar biasa nantinya dari pihak kepolisian, dengan sewenang-wenang dan semena-mena," jelas Habibus.
"KUHAP yang lama sekalipun sudah banyak diuji malah mereka berbuat berlebihan gitu kan. Itu yang kemudian menjadi kekhawatiran kami masyarakat sipil," imbuh dia.
Koalisi masyarakat sipil kini masih melakukan penelitian terhadap draf tersebut untuk mempersiapkan langkah hukum selanjutnya. Menurut Habibus pembatalan total tidak mungkin, namun potensi untuk mengubah atau menambah redaksional melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) masih terbuka.
"Kami koalisi itu masih mengkaji apa saja draf yang mana yang paling terakhir untuk disahkan itu karena banyak versi jadi dinamika draf tersebut itu sebetulnya tidak jauh beda dengan Omnibus Law. Jadi memang dibuat secara ugal-ugalan gitu," sebut dia.
Koalisi juga menyoroti proses di akhir pembahasan yang cenderung menganggap kritikan masyarakat sebagai hoaks, padahal berdasarkan data yang dimiliki, banyak terjadi korban kekerasan dan penganiayaan. "Kami menawarkan konsep agar supaya ada pengawasan dari pengadilan ketika penangkapan dan lain sebagainya," pungkasnya.















