Konflik Yai Mim vs Sahara Sama-sama Terlanjur Terbuai Medsos

- Konflik Yai Mim dan Sahara terjadi karena perbedaan perspektif sebagai tetangga
- Media sosial menjadi pemicu konflik yang semakin pelik dan viral
- Yai Mim dan Sahara terkesan menikmati gelombang keviralan mereka, sulit mencari solusi dari konflik
Malang, IDN Times - Konflik mantan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Mohammad Imam Muslimin alias Yai Mim dengan tetangganya, Sahara kian mengerucut. Keduanya kini saling lapor ke Satreskrim Polresta Malang Kota. Yai Mim melaporkan Sahara dan beberapa orang lain terkait UU ITE dan penistaan agama, sementara pihak Sahara melaporkan Yai Mim terkait UU ITE dan pelecehan seksual.
1. Dosen Ilmu Komunikasi UNMER menilai kasus ini terjadi hanya karena perbedaan perspektif dalam bertetangga

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Merdeka (UNMER) Malang, Aryo Prakoso Wibowo mengungkapkan jika permasalahan antara Yai Mim dan Sahara ini adalah perbedaan perspektif sebagai tetangga, Yai Mim melihat dari perspektif sebagai dosen dan Sahara melihat dari perspektif pengusaha. Menurutnya, bertetangga dengan tetangga yang juga membuka usaha di rumah memang rentan terjadi konflik.
"Contohnya di lingkungan rumah saya, 2 bulan terakhir ini sebelah rumah saya ada rumah makan yang berdiri, kalau perspektif saya seperti kata netizen yaitu no viral no justice, nah ini jadi sebuah pandangan baru dalam bertetangga. Karena saya sendiri merasakan polusi udara dan polusi air karena limbahnya dibuang juga di selokan depan rumah. Hampir setiap hari kotoran dari sana itu membawa bau tidak sedap ke rumah saya. Tapi karena perspektif saya tetangga ada teman hidup selamanya, ini yang membuat saya berhati-hati dalam mem-viralkan kejadian ini," terangnya saat dikonfirmasi pada Rabu (22/10/2025).
Aryo memiliki pandangan bahwa tetangga itu adalah teman hidup yang justru lebih dekat dibandingkan saudara, maka ia menumbuhkan perspektif tentative communication atau saling menyadari, sehingga tidak gegabah membuat konflik hingga menjadi viral di media sosial. "Ini juga yang harus kita sadari bahwa ketika hunian yang dijadikan tempat usaha, maka perubahan sosial itu harus direspon dengan tanggap juga," jelasnya.
2. Media sosial jadi bara api yang membuat konflik Yai Mim dan Sahara jadi makin pelik

Aryo berpandangan jika istilah no viral no justice ia pahami sebagai vigilante justice atau keadilan main hakim sendiri di era digital. Framing-framing di media sosial diciptakan tanpa memikirkan jangka panjang, ditambah dengan fenomena perbedaan cara pandang dalam bertetangga membuat masyarakat terkecoh sehingga masalah yang awalnya sepele justru jadi viral dan berkepanjangan.
"Kalau melihat Yai Mim dan Mbak Sahara, saya kita keduanya adalah orang dengan latar budaya yang berbeda, kemudian cara kandang dari perspektif yang berbeda dari pengusaha dan dosen. Ini menghasilkan konflik berkepanjangan karena diviralkan pertama kali oleh Mbak Sahara. Awalnya kan hanya masalah sengketa lahan parkir, tapi karena diviralkan sehingga merembet ke mana-mana, sehingga membuat trial by social media atau pengadilan opini publik secara online," ujarnya.
Aryo melihat video-video yang dibuat Sahara sebagai konten kreator datang dari sudut pandangnya sendiri, sehingga memunculkan pengadilan opini dari netizen. Sementara netizen hanya mengomentari apa yang dia lihat, menurutnya ini adalah peralihan dari fenomena yang dekat dengan masyarakat. Peralihan yang dimaksud adalah dari konflik tetangga biasa menjadi konflik nasional, ini karena Gubernur Jawa Barat yaitu Dedi Mulyadi sampai turun tangan.
"Kemudian masuk podcast Deni Sumargo itu membuat netizen beropini sehingga menjadi sebuah framing. Bahkan saya warga Kota Malang yang sebenarnya tidak bertetangga dekat dengan mereka jadi berasumsi siapa sih yang salah. Saya lihat sudah banyak yang berusaha memediasi masalah ini, tapi setelah perkembangan laporan polisi dan sebagainya maka ini sudah bukan ranah media sosial untuk menjustifikasi maka yang salah, karena sudah berbentuk laporan kepolisian," tegasnya.
3. Yai Mim dan Sahara terkesan menikmati gelombang keviralan mereka

Aryo berpendapat kalau terkadang konten kreator itu tidak memperhitungkan dampak dari konten yang mereka buat, sehingga menciptakan jebakan sendiri untuk kreatornya. Ia melihat kalau sepertinya baik Yai Mim maupun Sahara saat ini tengah terbuai dengan keviralan mereka, sehingga tidak melihat solusi dari konflik mereka yang sebenarnya sederhana.
"Sekarang kan publik ada yang membela Yai Mim dan Mbak Sahara, jadi kok saya lihat saling menikmati gelombang viral ini, kalau tidak menikmati pasti sudah selesai. Konten itu adalah performative conflict artinya konten yang kita buat itu konflik framing yang kita ciptakan. Karena dipentaskan dan dikonsumsi publik secara bebas, akhirnya membuat asumsi liar. Mungkin kalau kemarin Yai Mim atau Mbak Sahara selesai atau diam, dan keduanya saling bisa mendengar masing-masing perspektifnya, maka tidak akan berbuntut panjang seperti ini dan viral," paparnya.
Lebih lanjut, ia melihat kalau kejadian ini sudah terlanjur viral, keduanya kini sama-sama punya gengsi untuk mengalah. Keduanya sudah terlanjur viral dan sama-sama punya pendamping hukum, sehingga penyelesaian di tingkat RT kemungkinan akan sulit terjadi.
"Kalau di Ilmu Komunikasi ada istilah defensive communication, artinya kita mendengar tapi hanya untuk membela diri dan bukan memahami konflik. Sebenarnya tetangga ini personal sekali, sebenarnya masalah seperti ini bisa dihindari kalau kita sudah memiliki hubungan sangat dekat dengan tetangga, jadi kalau Yai Mim dan Mbak Sahara sudah punya hubungan dekat maka kesalahan seperti parkir depan rumah akan dianggap tidak masalah," pungkasnya.