Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Huru Hara Penahanan Ijazah, Cermin Lemahnya Perlindungan untuk Pekerja

Sejumlah pekerja Surabaya yang mendapatkan kembali ijazahnya setelah ditahan perusahaan. (IDN Times/Khusnul Hasana)

Surabaya, IDN Times - Arin (27) tersenyum kecut melihat layar ponselnya. Ia tengah menonton video dari media sosial milik Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji yang sedang inspeksi mendadak (sidak) gudang milik CV Sentoso Seal di kawasan Margomulyo soal dipenahanan ijazah. Video itu ditonton 36 juta kali dan menjadi perbincangan di masyarakat. Kasus penahanan ijazah oleh CV Sentoso Seal itu berujung pada pelaporan ke polisi. Tak cuma itu, polemik ini sampai membuat Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer turun tangan. 

Polemik penahanan ijazah itu membuat Arin teringat akan dirinya dua tahun silam. Desember 2023 lalu, Arin juga berjuang mendapatkan kembali ijazahnya yang ditahan perusahaan. Ia sempat berencana melakukan hal yang sama seperti karyawan CV Sentoso Seal, mengadukan mantan bosnya ke pemangku kebijakan.

“Ini (CV Sentoso Seal) bukan tempat kerjaku yang dulu sih, cuma tempat kerjaku dulu di sekitar situ. Tapi kayaknya banyak pekerja di pergudangan kawasan itu ijazahnya ditahan,” ujar Arin mengernyitkan dahi, Kamis (24/4/2025).

Beruntungnya, ijazah Arin berhasil kembali meski harus mantan bosnya sempat berkelit. Ia pun tak jadi melapor. “Waktu itu ada karyawan yang sudah mau datang ke dinas ketenagakerjaan. Karena ijazah sudah dikembalikan, akhirnya gak jadi lapor,” kata Arin. 

Kala itu, Arin terpaksa harus mengambil pekerjaan tersebut karena tak ada pilihan, ia punya tanggungan dan harus melanjutkan kehidupan. Meski ijazahnya harus ditahan, ditambah gaji di bawah upah minum regional (UMR). “Mereka awalnya gak bilang kalau harus tahan ijazah, tapi pas hari pertama disuruh bawa ijazah. Kalau gak, ya gak usah datang lagi. Karena butuh akhirnya mau saja,” ungkap Arin. 

Arin tak tahu pasti kenapa saat itu perusahaan memintanya menahan ijazah. Dugaanya, penahanan ijazah dilakukan sebagai jaminan agar karyawan tak tiba-tiba resign tanpa pamitan. “Aku pernah ngobrol sama HRD perusahaan lain, ya tahu sendiri lah Gen Z itu sekarang kerjanya gimana, kalau gak cocok sama kerjaan tiba-tiba pergi. Jadi perusahaan itu tahan ijazah biar mereka gak tiba-tiba pergi, tapi pamitan dulu, cari pengganti dulu, tuntasin dulu pekerjaan sebelumnya, biar kalau resign kerjaan dia bisa diganti sama penggantinya,” kata Arin. 

Arin tak mau memperpanjang masa kerjanya, dia memutuskan hanya tiga bulan bekerja di sana. Niatnya keluar semakin besar setelah dia tahu perusahaan tersebut tidak sesuai dengan aturan pemerintah, seperti harus menahan ijazah, gaji tak sesuai UMR hingga tidak adanya BPJS Ketenagakerjaan. “Wah ini perusahaan kok kayak gini (tidak sesuai aturan pemerintah), terus juga toxic, jadinya aku langsung pergi,” ungkap Arin. 

Sama dengan Arin, ijazah Fitriana (35) juga ditahan perusahaan. Dia bilang kala itu, ijazahnya ditahan karena persyaratan dari perusahaan. Mau tak mau, dia pun rela menjaminkan ijazah S1 miliknya demi bisa menyambung hidup. 

“Ijazah saya ditahan karena sebagai persyaratan (perusahaan), (mau ditahan karena) butuh kerja,” ungkap Fitriana. 

Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 2018, Fitriana memutuskan untuk resign dari perusahaan yang berada di wilayah Sidoarjo itu. Sayang, ijazahnya tak ikut keluar dari perusahaan.

“Ada perjanjian kerja, dua tahun bekerja, saya keluar tidak ada masalah apapun, kita mengajukan pengambilan ijazah, dipersulit. Alhasil sampai satu tahun itu saya berusaha mencari sendiri, pengen ijazah keluar karena saya butuh pekerjaan yang lain, selama 9 tahun ijazah saya di situ,” tuturnya. 

Bahkan, Fitriana sempat diminta untuk membayar penalti hingga Rp3,5 juta. Namun, karena perjanjian kerjanya dua tahun dan dia merasa sudah melewati masa itu, Fitriana enggan membayar pinalti. “Pada waktu itu ada pinalti, tapi saya gak mau karena kontrak kerja saya sudah, tapi kenapa kok dipersulit, (biaya penalti) Rp3,5 juta,” kata dia.

Dia pun membiarkan ijazahnya di perusahaan tersebut selama sembilan tahun lamanya. Barulah setelah gaduh polemik penahanan ijazah, Fitriana pun memanfaatkan momen ini untuk mengabdikan perusahaannya ke Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Kota Surabaya.  

“Setelah viral, Alhamdulillah saya langsung, saatnya saya berbicara, oke saya lapor akhirnya tidak sampai seminggu, 5 hari selesai kita negoisiasi, owner merasa dirinya colaps, dia tidak mau bersama-lama win win solutionnya oke lah diserahkan (ijazahnya),” ungkap Fitriana. 

Penahanan ijazah yang dialami karyawan CV Sentoso Seal, Arin dan Fitriana merupakan sedikit dari banyaknya kasus penahanan ijazah yang terjadi di Surabaya. Catatan Disperinaker Surabaya, setelah pihaknya membuka posko pengaduan penahanan ijazah, per Selasa (29/4/2025) ada sebanyak 64 pekerja melapor, ditambah 31 karyawan CV Sentoso Seal. 47 di antaranya ijazah telah dikembalikan. 

Padahal sudah jelas, penahanan ijazah karyawan telah melanggar Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 42. Dalam aturan itu disebutkan bahwa pengusaha dilarang menyimpang dokumen asli milik pekerja sebagai jaminan pekerjaan. Pelanggaran terhadap ketentuan itu dapat dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 6 bulan atau denda hingga Rp50 juta.

 

Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi saat menyegel gudang CV Sentoso Seal, Selasa (22/4/2025). (IDN Times/Khusnul Hasana)

Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elistianto Dardak menyebut, selama ini pihaknya sudah menyelesaikan banyak kasus penahanan ijazah. Dua tahun terakhir, Disnakertrans Jatim telah menyelesaikan 15 pengaduan penahanan ijazah pekerja. “Ada 15 kasus penahanan ijazah yang telah dilakukan oleh Pemprov Jatim," kata Emil di Surabaya, Kamis (24/4/2025).

Emil mengungkap, selama ini Pemprov Jatim telah melakukan tugasnya untuk melindungi pekerja yang ijazahnya ditahan. Pemprov Jatim memiliki penyidik PNS untuk intensif mengungkap bukti penahanan ijazah. 

"Penyidik ini dilatih di Mega Mendung, dan kami berterima kasih atas bantuan masyarakat melalui beberapa laporan polisi harus dijadikan penguat proses investigasi oleh penyidik PNS disnaker. Kami pastikan kasus-kasus penahanan ijazah akan diusut tuntas," bebernya.

Ketua Dewan Perwakilan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW SPMI) Jatim, Anang Jazuli menilai, polemik penahanan ijazah yang ramai terjadi di Surabaya merupakan puncak gunung es lemahnya pengawasan pemerintah dalam melindungi hak pekerja. Ia yakin, masih banyak perusahaan di Jawa Timur, terutama Surabaya yang masih melakukan praktik tersebut.

“Ya, jadi kami melihat kasus ini, yang paling utama itu menunjukkan lemahnya pengawasan ketenagakerjaan, dalam hal ini yang dibawa oleh Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur,” ujarnya.

Jazuli mengatakan, penahanan ijazah sudah ramai sejak tahun 2014 silam. Ada ribuan anggota serikat pekerja yang saat itu ijazahnya ditahan melapor ke Disnakertrans Jatim, jawaban mereka kala itu tidak ada larangan perusahaan menahan ijazah karena belum ada regulasi yang mengatur. 

“Sampai akhirnya kita penyelesaiannya melalui jalur demonstrasi di perusahaan-perusahaan itu. Jadi beberapa perusahaan kita demo, akhirnya bisa keluar tanpa melibatkan pemerintah,” kata dia. 

Serikat buruh kemudian mendesak adanya peraturan daerah yang bisa melindungi pekerja dari praktik penahanan ijazah. Lahirlah Perda Pemerintah Provinsi Jawa Timur nomor 8 tahun 2016 tentang ketenagakerjaan. Pada pasal 42 diselipkan aturan tentang larangan penahanan ijazah dan dokumen penting lainnya. “Alhamdulillah anggota-anggota kita yang jumlahnya banyak tadi itu, sudah tidak ada lagi penahanan,” tutur Jazuli.

 

Penyegelan gudang CV Sentoso Seal, Selasa (22/4/2025). (IDN Times/Khusnul Hasana)

Walau begitu, Jazuli yakin masih banyak perusahaan yang melakukan penahanan ijazah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak melakukan sosialisasi terhadap aturan yang mereka buat sendiri. 

“Sebenarnya itu kan tanpa harus dilaporin pun, mereka itu juga harus mensosialisasi aturan. Bisa ditanyakan lah, berapa kali pemerintah provinsi dalam ini dinas tenaga kerja, mensosialisasikan perda yang dia buat. Saya tidak yakin, saya tidak pernah mengikuti ada program itu,” terang Jazuli.

Selain lemahnya pengawasan, Jazuli menganggap selama ini Dinakertrans Jatim tak pernah menindaklanjuti laporan pekerja. Hal ini lah yang membuat sejumlah perusahaan di Jawa Timur tetap melakukan penahanan ijazah walau sudah ada Perda yang melarang. 

“Ya, selama ini kita sering melakukan pelaporan, bahkan sampai kejadian larangan sholat jumat pun kita laporkan, tapi tidak ada tindak lanjut yang konkret. Ya sama lah dari tahun ke tahun mirip pengaduan THR,” ungkapnya.

Sehingga cara-cara yang dilakukan buruh untuk mendapatkan haknya adalah dengan melakukan aksi demonstrasi di depan tempat kerja mereka. Demonstrasi dianggap cara yang cukup ampuh ketimbang harus melalui dinas ketenagakerjaan. 

Senada dengan Jazuli, Sosiolog Masyarakat Agraris dan Kebijakan Publik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Khalid Syaifullah menyebut bahwa penahanan ijazah yang dilakukan sejumlah perusahan di Jawa Timur terutama Surabaya adalah bentuk lemahnya pengawasan pemerintah melindungi hak pekerja. Menurutnya, permasalahan ini berakar pada stagnannya regulasi hubungan industrial sejak era Orde Baru.

"Problem utamanya adalah problem hubungan industrial yang saya kira masih stagnan sejak zaman Orde Baru, tidak pernah di-update atau diperbarui,” katanya. 

Penahanan ijazah tidak pernah diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Praktik penahanan ijazah sebagai jaminan saat ini hanya berlandaskan kontrak antara perusahaan dan pekerja. Meskipun ada anggapan bahwa hal ini diperbolehkan jika kedua belah pihak sepakat, secara sosiologis terdapat ketimpangan relasi antara perusahaan sebagai pemberi kerja dan karyawan yang membutuhkan pekerjaan.

"Apalagi di saat sulit seperti ini, dengan banyaknya PHK, pekerja terpaksa menerima aturan semacam itu karena tidak banyak pilihan. Mereka butuh pekerjaan, sehingga jaminan penahanan ijazah terkadang diterima secara terpaksa," imbuhnya.

Khalid menilai, peran Pemda selama ini cenderung hanya sebagai mediator sengketa, dan seringkali berat sebelah, lebih kepada pihak perusahaan. Sehingga, praktik seperti ini terus terjadi dan baru terungkap ke publik setelah viral. 

"Karena tidak ada payung hukum yang jelas, praktik semacam itu menjadi samar-samar, antara boleh dan tidak. Wilayah hukum yang abu-abu inilah yang seringkali dipertahankan oleh perusahaan maupun Pemda, sehingga perusahaan memiliki fleksibilitas untuk bertindak sewenang-wenang terhadap karyawan," tegasnya.

Khalid juga menyoroti bahwa penahanan ijazah secara sosiologis dilakukan perusahaan untuk melemahkan posisi tawar buruh, sehingga pekerja tidak berani memprotes atau menolak perintah kerja di luar kontrak karena khawatir ijazahnya ditahan. Jaminan agar karyawan tidak memutus kontrak seharusnya cukup diatur dalam kontrak kerja.

“Salah satu dampaknya (penahanan ijazah) pekerja tidak berani macam-macam, hanya nurut saja karena ijazahnya ditahan, yang merupakan modal utama mereka untuk mencari kerja," pungkas dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Faiz Nashrillah
EditorFaiz Nashrillah
Follow Us