Guru Besar UB Beberkan Dampak Etanol ke Mesin Kendaraan

- Etanol 10 persen tidak merusak mesin kendaraan
- Pemerintah perlu perbaiki komunikasi terkait kebijakan biofuel
- Bioetanol bisa jadi peluang Indonesia untuk sektor energi terbarukan
Malang, IDN Times - Campuran etanol 10 persen pada bensin di Pertamina menimbulkan polemik, pasalnya masyarakat mempertanyakan dampak campuran etanol pada mesin kendaraan mereka. Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (UB), akhirnya mengungkapkan fakta penggunaan etanol pada mesin kendaraan.
1. Campuran etanol 10 persen ternyata tidak memberikan dampak kerusakan pada mesin

Guru Besar Fakultas Teknik (FT) Universitas Brawijaya (UB), Prof I Nyoman Gede Wardana mengungkapkan bahwa riset penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) sudah dimulai UB sejak tahun 1980-an, saat itu pihaknya bahkan mencampur etanol sebanyak 20-30 persen ke dalam BBM. Ia menyimpulkan kalau campuran etanol ke dalam BBM bukanlah hal baru dan sudah teruji keamanannya sejak lama.
"Gasohol (gasoline alcohol) itu sudah kita teliti di UB sejak tahun 80-an, ya. Jadi waktu itu kita dapat dana besar dari BBBT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), dari Pak Habibie, lewat BBBT juga. Tujuannya untuk menguji etanol 20 persen yang dicampur ke bensin. Hasilnya etanol dengan kandungan 20 sampai 30 persen tidak memiliki dampak ke mesin, hanya kalau sampai 80 persen itu ada dampaknya tapi kecil," terangnya pada Jumat (17/10/2025).
Ia membenarkan kalau etanol memang menyerap kadar air, tapi penyerapan kadar air ini berbahaya kalau jumlah etanolya besar, kalau hanya sedikit tidak akan berdampak apapun pada mesin. Bahkan hasil riset terbaru di UB menunjukkan bahwa campuran etanol dalam bahan bakar justru meningkatkan efisiensi dan kualitas pembakaran mesin. Pasalnya campuran etanol meningkat kadar oktan dalam BBM.
“Menurut hasil penelitian saya sekarang dengan mahasiswa S2, penambahan etanol justru meningkatkan kualitas bahan bakar. Jadi misalnya kita beli bahan bakar murah, lalu kita campur sendiri, kualitasnya bisa naik,” katanya.
Ia membeberkan dengan etanol ini bisa mengurangi impor minyak hingga 10–20 persen, karena sebagian besar bahan bakar yang diimpor digunakan untuk transportasi. Menurutnya ini langkah posisi karena kini harga bahan bakar impor jadi mahal.
2. Dosen UB menilai pemerintah harus mulai perbaiki komunikasi

Sementara itu, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi UB, Andhyka Muttaqin menilai mandatori biofuel ini bisa menjad kebijakan energi yang lebih berorientasi lingkungan dan efisiensi. Namun ia mengingatkan pentingnya tahapan yang jelas agar kebijakan ini diterima masyarakat dan industri.
"Sebenarnya seperti kebijakan LPG 3 Kg itu kan bagus, cuma kan harusnya ada tahapan. Kalau kebijakan itu perlu ada tahapan, jadi biar masyarakat nggak kaget dan pemerintah nggak diserang," jelasnya.
Tapi ia meminta para pejabat melakukan komunikasi kebijakan yang terukur agar masyarakat bisa memahami bahwa etanol bukan sekadar pencampuran bahan bakar. Harus dijelaskan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari strategi menekan impor, menghemat devisa, dan memperluas pasar energi terbarukan.
3. Bioetanol bisa jadi peluang Indonesia untuk sektor energi terbarukan

Lebih lanjut, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang, Muhammad Sri Wahyudi Suliswanto, menilai kebijakan biofuel dan bioetanol ini menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk membangun rantai pasok energi yang mandiri. Ia menegaskan kalau keberhasilan swasembada energi sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah menghubungkan sektor hulu dan hilir secara sinergis.
"Kalau dilihat di kuartal pertama, memang ada tanda-tanda ke arah sana (kemandirian energi). Secara progres sudah mulai terlihat hasilnya, meskipun tentu masih butuh waktu," pungkasnya.