Bangunan Kepatihan Ngawi, Warisan Sejarah yang Terlupakan

- Bangunan Kepatihan, warisan sejarah Ngawi
- Rumah Patih kini lapuk dan tak direvitalisasi
- Kepatihan adalah simbol sejarah dan identitas warga Ngawi
Ngawi, IDN Times – Di tengah geliat pembangunan kota, satu bangunan bersejarah di jantung Kabupaten Ngawi malah tampak seperti tertinggal dari zaman. Namanya Kepatihan, sebuah bangunan cagar budaya peninggalan Raden Patih Pringgo Kusumo, tokoh pendiri Kabupaten Ngawi, berdiri sejak tahun 1828 dan menyimpan jejak penting sejarah berdirinya Ngawi lewat sosok Raden Patih Pringgo Kusumo.
Namun, kini bangunan berstatus cagar budaya itu nyaris roboh, bukan karena dimakan usia semata, tapi karena terlupakan oleh mereka yang mestinya menjaga.
1. Rumah Patih yang kini menjadi rumah lapuk

Berlokasi di Jalan Patiunus, Kelurahan Ketanggi, bangunan Kepatihan dulunya adalah pusat pemerintahan lokal pada masa kolonial. Arsitekturnya khas Jawa dengan dinding dari bata merah, tiang jati (saka guru), dan atap genteng tanah liat. Hingga hari ini, hampir semuanya masih asli. Sayangnya, bukan karena perawatan rutin melainkan karena belum pernah direvitalisasi sama sekali.
Tampak pada gambar, kondisi bangunan ini cukup memprihatinkan, dinding retak, plafon ambrol, pintu kayu menganga, dan beberapa sudut bangunan sudah tampak miring. Ironisnya, bangunan ini masih difungsikan sebagai Sekretariat Kebudayaan Kabupaten Ngawi.
2. Tak kunjung direvitalisasi

Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ngawi, Sumarsono, dokumen teknis revitalisasi sudah disusun sejak tahun 2023, berdasarkan hasil kajian Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jatim. Diperlukan anggaran sekitar Rp1,6 miliar untuk menyelamatkan struktur bangunan agar tak menjadi puing.
"Kami sudah siapkan semua dokumennya. Tapi karena keterbatasan anggaran, sampai sekarang belum bisa direalisasikan,” jelas Sumarsono, Rabu (16/7/2025).
Sebelumnya, pemerintah setempat merencanakan kawasan Kepatihan ini akan disulap menjadi Taman Budaya Ngawi, ruang publik yang bisa menjadi pusat kegiatan seni dan budaya. Namun, hingga kini, bangunan tersebut masih menunggu anggaran dan yang pasti kepastian politik.
3. Simbol sejarah dan identitas warga Ngawi

Bagi banyak warga Ngawi, Kepatihan bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah simbol sejarah dan identitas lokal, pengingat masa lalu yang melahirkan Ngawi hari ini. Tapi kini, warisan itu seperti dibiarkan berdebu, keropos, dan tergerus waktu.
"Semoga rencana revitalisasi itu tak hanya jadi wacana. Karena bangunan ini sudah cukup tua dan sangat layak untuk diselamatkan,” harap Sumarsono.
Sementara itu, Kepatihan masih berdiri—dalam diam, dalam rapuh, dalam harapan. Ia menunggu, bukan hanya tangan-tangan tukang untuk membenahinya, tapi juga kesadaran kolektif bahwa sejarah bukan untuk disimpan di rak, tapi dirawat dalam wujud nyata.