7 Upacara Adat di Madura, Ada Mengukur Keperawanan Pengantin

Indonesia terkenal dengan keberagaman budaya, salah satunya lewat upacara adat yang unik di setiap daerah. Gak cuma sekadar tradisi turun temurun, upacara adat juga punya nilai-nilai luhur yang menjadi pedoman hidup masyarakatnya.
Upacara-upacara ini menjadi salah satu cara bagi orang Indonesia biar terhubung dengan alam dan menjaga hubungan baik antarsesama. Salah satu upacara adat yang unik terdapat di daerah Madura. Ternyata, di sini gak cuma ada Karapan Sapi, lho! Berikut ini 7 upacara adat di Madura yang pastinya insightful buat kamu. Biar gak makin penasaran, yuk simak!
1. Tompang Tresna

Biasanya, kondisi keperawanan seorang pengantin wanita tidak menjadi konsumsi publik. Tapi, ternyata ada upacara adat di Madura yang terang-terangan memberitakan status keperawanan tersebut. Tompang Tresna jadi salah satu tradisi unik yang ada di wilayah Bangkalan, sebab tradisi ini bertujuan untuk mengukur kesucian pengantin wanita pada malam pertama.
Upacara adat Tompang Tresna dilaksanakan di rumah pengantin putri, setelah para undangan meninggalkan upacara pesta. Saat pasangan pengantin memasuki kamar pengantin, di ruang tamu dibacakan Tembang Macapat yang sering disebut "mamaca" atau "Macapatan". Sang mertua laki-laki menyerahkan keris ke pihak pengantin pria. Pada malam itulah pasangan pengantin diberi kesempatan untuk melakukan kewajiban suami dan istri.
Bila malam pertama itu telah berlangsung, pihak pengantin pria akan melemparkan keris tersebut ke luar kamar. Jika keris dilempar tanpa kerangka, artinya pengantin pria telah berhasil memetik kegadisan pengantin putri. Jika keris dilempar dalam keadaan kerangka (bersarung), artinya pengantin pria telah menggauli pengantin wanita, tetapi wanita itu sudah tidak perawan. Ini menjadi aib pihak keluarga pengantin wanita. Dari upacara adat ini, gak heran kalau masyarakat Madura sangat ketat dalam menjaga kesucian atau kegadisan anak perempuannya.
2. Selamatan Desa

Upacara Selamatan Desa di Madura disebut "Khadisa". 'Kha' berarti keselamatan, sedangkan 'Disa' berarti desa. Upacara ini diadakan pada tanggal 14 bulan Syaban. Upacara ini memiliki latar belakang yang unik, lho! Konon katanya, Khadisa bermula dari perjalanan hidup Kakek Singa Wulung yang telah menyelamatkan Desa Blimbing, Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso. Saat itu, desa ini mengalami kemarau panjang sehingga kehidupan warga desa terancam.
Kakek Singa Wulung dan teman akrabnya, Pak Jasiman, segera melakukan puasa atau tirakat untuk memohon kepada Tuhan agar masyarakat Desa Blimbing bisa diselamatkan. Gayung bersambut, tak lama setelahnya ia berhasil menemukan sebuah olbu, yang dalam bahasa Madura berarti mata air. Oh iya, ciri khas Kakek Singa Wulung adalah mempunyai binatang peliharaan berupa seekor singa. Jadi, dalam Khadisa ini masyarakat sering membuat seni singa-singaan atau macan-macanan bernama Macan Ondhangan. Singa ini dipercaya menjadi jelmaan singa peliharaan Kakek Singa Wulung, sehingga kepadanya diberi keleluasaan untuk memakan sesajian berupa tumpeng selamatan.
Upacara selamatan ini dibuka dengan hiburan Tari Singa Wulung. Setelah itu, kepala desa memberi wejangan kepada warga desa, dilanjutkan dengan prosesi perarakan menuju Olbu-Nangger. Di sana, sesajian diletakkan di tempat khusus. Pemuka adat/kyai membacakan doa syukur kepada Allah agar warga desa selalu dalam naungan-Nya. Lalu, acara dilanjutkan dengan atraksi topeng kuno. Penonton bisa memberi sedekah dengan cara menaruh uang di jamang penari. Tradisi ini disebut "nyompenge". Setelah upacara selesai, masyarakat menuju ke rumah kepala desa untuk melakukan Selamatan Taneyan. Di sini, biasanya ada hiburan semalam suntuk dengan iringan gamelan Kenong Tello yang nada dasarnya lebih tinggi dibandingkan gamelan Jawa.
3. Perkawinan Tradisional Sogugan

Perkawinan dengan upacara adat Sogugan masih sering dijumpai di daerah Jember bagian utara. Tradisi ini berkaitan dengan aktivitas buwuh atau mbecek, yaitu memberi sumbangan kepada pemilik hajat. Gak hanya berbentuk bahan-bahan mentah, sumbangan biasanya juga bisa berupa uang. Sogugan, yaitu pemberian hadiah dengan nominal di atas rata-rata.
Dalam tradisi ini, penyogug atau penyumbang biasanya membawa uang yang bernilai cukup besar dan jodhang. Jodhang ialah peti kayu panjang berisi makanan dan biasanya dipikul dua orang. Penyogug ini disambut pemilik rumah di pintu depan terop, dengan iringan gamelan Kenong Tello dan seorang pesinden. Iringan yang biasa digunakan, yaitu gendhing Walang Kekek, Pelog Temor, gendhing Gantung, dan gendhing Jula-Juli Jawa Timuran. Lalu, penyumbang dan pemilik hajat yang biasanya diwakili cacam (juru bicara) berdialog. Intinya, pihak penyumbang menyatakan keikhlasannya. Setelah itu, upacara ini dilanjutkan dengan serah terima sumbangan sambil menari yang diwakili oleh cacam.
Penghitungan uang dilakukan di tempat yang sudah ditentukan, dengan disaksikan cacam, pesinden, dan tamu undangan lainnya. Uang sumbangan lalu disimpan di bokor yang dijaga khusus. Kadang-kadang, uang ini dirangkai pada sebilah bambu. Semakin besar sumbangan yang diberikan, semakin tinggi pula status sosial penyumbang di mata masyarakat.
4. Panebusing Bayi Julung Caplok

Menurut Prawiroatmodjo, 'julung' berarti "sudah takdir" atau "akan mendapat kecelakaan karena lahir pada waktu yang tidak baik". Ada enam kriteria bayi yang lahir di waktu tidak baik, yaitu Julung Kembang, Julung Pujut, Julung Sarap, Julung Sungsang, Julung Wangi, dan Julung Caplok.
Julung Kembang berarti lahir bersamaan dengan matahari terbit di ufuk timur. Anak ini ditakdirkan akan bertemu dengan hewan buas. Julung Pujut, yaitu nama wuku (salah satu planet) yang ke-15. Julung Sarap, yaitu anak yang lahir menjelang matahari terbenam. Julung Sungsang, yaitu anak yang lahir pada pukul 12 siang. Julung Wangi, yaitu nama wuku (salah satu planet) yang ke-9. Julung Caplok, yaitu anak yang dilahirkan pada waktu matahari terbenam.
Mengacu ke kepercayaan masyarakat Penthungbulus, Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang, upacara adat Panebusing Bayi Julung Caplok terutama kepada bayi yang lahir di hari Selasa Pahing bertujuan untuk membebaskan bayi dari ancaman penyakit, gangguan roh halus, dan serangan hewan buas. Konon katanya, kepercayaan yang terkait dengan kelahiran bayi Julung Caplok dikaitkan dengan karma atau hukuman atas perbuatan orang tuanya.
5. Petik Laut

Upacara Petik Laut masih dilangsungkan di Madura, salah satunya di Kelurahan Mayangan, Probolinggo. Upacara ini sering disatukan dengan upacara bersih desa. Saat upacara berlangsung, pesta rakyat dilaksanakan amat meriah, termasuk perahu-perahu yang dihias sedemikian rupa untuk kegiatan selamatan. Siang harinya, ada hiburan rakyat seperti pementasan wayang kulit, sandiwara ludruk, dan sebagainya.
Uniknya, upacara adat ini menyajikan aneka sesajian yang masing-masing memiliki makna khusus. Ada tumpeng brok yang melambangkan kepasrahan kehidupan bayi, tumpeng mas yang melambangkan penghormatan terhadap Kanjeng Ratu Mas, dan tumpeng sewu yang melambangkan isi jagad raya dengan beragam kehidupannya.
Gak cuma itu, di upacara ini kamu bisa menemukan sekul punar melambangkan asal usul manusia dan siklus kehidupan manusia, yakni wiji, dumadi, pambudi, dan pati. Ada juga tumpeng kawat untuk menghormati Nini Among dan Kaki Among sebagai roh ciptaan Allah yang mengawal hidup manusia. Sesajian lainnya, yaitu sekul suci ulam lembaran, sega golong lima/pitu/rolas, kepala kerbau, bubur sengkala, kembang setaman, suruh ayu, dan rujak degan. Gak cuma makanan, ada juga makna dari minuman wedang kopi pait, yaitu penghormatan terhadap Kanjeng Sunan Kalijaga agar manusia selalu dinaungi Allah sepanjang hari.
6. Rokat Gumbak

'Gumbak' dalam bahasa Madura berarti mengaduk-aduk air kolam atau sungai hingga menimbulkan ombak atau gelombang. Istilah ini berkaitan dengan tradisi 'baceman' yang artinya membersihkan dan menyucikan senjata atau pusaka tradisional. Senjata ini berjumlah 24 buah, di antaranya Si Jelik, Si Klaras, Si Gungseng, Si Rajang, Si Olak Semenit, Si Kedik, Si Cale' Kettong, Si Mardha, Si Bajjar, Si Berak, Si Burnang, Si Pecat, Si Kepet, Si Grimis, Si Garsot, Si Nyelo, Si Guntur, Si Patel, Si Blarang, Si Peddis, dan Si Bellis. Bentuk senjata ini beragam, ada yang berupa tombak, celurit, pedang, linggis, dan pisau bermata dua.
Tradisi ini bermula dari dua tokoh sakti bernama Buju' Toban dan Buju' Bung Kenek yang ahli dalam membuat senjata dengan bahan baku tanah liat (lempung). Karena kesaktian dan mantra-mantranya, senjata ini menjadi amat kuat. Senjata ini bisa digunakan untuk berburu binatang buas sampai melindungi warga masyarakat dari musuh. Senjata ini tidak bisa dijual atau dimiliki orang lain yang bukan keturunan mereka berdua. Sampai sekarang, senjata ini tetap disimpan di belakang Masjid Banjar.
Upacara Gumbak sudah berlangsung selama ratusan tahun. Upacara ini dilaksanakan setahun sekali, bersamaan dengan upacara bersih desa. Tempat upacara rutin ini selalu sama setiap tahunnya, tepatnya di Buju' Tenggina, tanah Galis atau tanah paokalan yang menjadi tempat pertarungan pendekar.
7. Selamatan Anak "Pojian"

Tradisi "Pojian" masih bisa kamu temukan di Desa Tambak Ukir, Kecamatan Kendit, Kabupaten Situbondo. Masyarakat setempat percaya, upacara ini menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan Allah. Upacara "Pojian" bisa dilakukan saat masyarakat meminta hujan, memohon agar bayi lahir dengan selamat, dan memohon agar bayi diberi kesehatan jasmani dan rohani.
Ada sebelas tata cara upacara selamatan anak, yaitu Jaggur, Jing Anut, Paton, Ampahe, Hardemong, Gilang, Talon, Dhimong, Sonnar, Naren, dan Temmang. Semuanya memiliki arti baik, mulai dari permohonan agar bayi menjadi anak yang taat hingga permohonan agar bayi selalu bijaksana dalam setiap langkah hidupnya.
Dalam "Pojian", beberapa sesajian yang tidak boleh diabaikan adalah nasi tumpeng, ayam ingkung panggang, dan jajan pasar. Setelah acara ini, tumpeng dan jajan pasar dibagikan kepada tamu yang hadir.
Itulah 7 upacara adat di Madura yang menyimpan nilai-nilai keluhuran. Jadi, upacara adat mana saja yang pernah kamu ikuti?