Tak Sekadar Sumpah, 2 Gen Z Magetan Buktikan Bertani itu Keren

- Dari obrolan ngopi jadi inovasi viral
- Ide brilian lahir dari obrolan santai sambil ngopi
- Konten tentang alat semprot viral di media sosial
- Lahirnya COTH Garage, bengkel kecil produksi alat semprot modifikasi Lebih cepat, lebih efisien, lebih cuan
Pekerjaan di sawah jadi lebih efisien dengan alat buatan mereka. Hanya butuh 20 menit untuk menyemprot setengah hektare sawah
Harga alat Rp2-3 juta per unit, mampu memikat banyak petani
Magetan, IDN Times – Di tengah tren anak muda yang lebih memilih kerja kantoran atau jadi konten kreator, dua pemuda asal Magetan justru punya cara keren sendiri buat sukses. Mereka memilih jadi petani modern—bukan dengan cangkul biasa, tapi dengan teknologi rakitan mereka sendiri.
Adalah Yusril Anwar (24) dan Herbet Romadoni, dua pemuda dari Desa Becok, Kecamatan Kartoharjo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, yang sukses bikin heboh dunia pertanian lewat inovasi alat semprot pestisida modifikasi. Hasil karyanya bahkan mampu menyemprot hingga 12 meter, dua kali lipat dari alat biasa.
"Kami ingin tunjukkan, bertani itu bisa keren. Bisa pakai teknologi, punya karya, dan juga bikin sejahtera," kata Yusril, Selasa (28/10/2025).
1. Dari obrolan ngopi jadi inovasi viral

Siapa sangka ide brilian bisa lahir dari obrolan santai sambil ngopi. Herbet yang pernah lima tahun kerja di Jepang, memperlihatkan rakitan alat semprot yang ia kembangkan setelah melihat video petani Thailand di TikTok. Yusril kemudian membuat konten tentang alat itu dan mengunggah ke media sosial.
Hasilnya, video yang diunggah lewat dua akun mereka, Kang Tani Muda dan COTH Garage (Company of Technology Handmade), langsung viral dan ditonton ribuan warganet. Bahkan, pembeli pertama datang dari Bali. Dari situ, lahirlah COTH Garage, bengkel kecil tempat mereka memproduksi alat semprot modifikasi.
"Awalnya cuma iseng bikin konten. Ternyata banyak yang tertarik dan pesanan terus datang,” ujar Yusril bangga.
2. Lebih cepat, lebih efisien, lebih cuan

Dengan alat buatan mereka, pekerjaan di sawah jadi jauh lebih efisien. Kalau biasanya butuh satu jam untuk menyemprot setengah hektare sawah, sekarang cuma butuh 20 menit saja.
"Sekarang baru bisa jual 5–6 unit per bulan, harganya antara Rp2 juta sampai Rp3 juta per unit,” jelas Yusril.
Meskipun belum bisa produksi massal karena keterbatasan modal, inovasi ini sudah bikin banyak petani penasaran dan mulai beralih ke cara kerja yang lebih modern.
3. Tetap semangat di tengah tantangan petani muda

Menjadi petani muda di era digital bukan tanpa tantangan. Cuaca makin nggak menentu, harga gabah turun dari Rp7.200 jadi Rp6.500 per kilogram, dan harga pupuk yang terus naik jadi ujian berat buat mereka.
"Kami berharap ada pelatihan dan dukungan agar petani muda tetap mau bertahan,” kata Yusril.
Bagi mereka, bertani bukan sekadar pekerjaan, tapi cara untuk membangun ketahanan pangan dari desa. Dari bengkel kecil di Becok, semangat dua anak muda ini menyalakan harapan baru bagi masa depan pertanian Indonesia.
"Selama masih ada lumpur dan tekad, bertani tetap keren,” tutup Yusril dengan senyum optimis.


















