Lahan Pemakaman di Surabaya Kian Menipis, Eri Sarankan Makam Keluarga

- Lahan pemakaman di Surabaya menipis akibat pertumbuhan penduduk.
- Pemerintah Kota Surabaya mendorong pengelolaan lahan makam kampung sebagai solusi.
- Sistem pemakaman keluarga dengan satu liang untuk beberapa anggota keluarga menjadi langkah realistis.
- Lahan pemakaman di Surabaya menipis akibat pertumbuhan penduduk.
- Pemerintah Kota Surabaya menyarankan satu liang makam untuk satu keluarga di pemakaman kampung.
- Pemkot Surabaya mendorong sinergi dengan pengelola makam di tingkat kampung agar pemanfaatan lahan bisa dilakukan bersama.
Surabaya, IDN Times - Seiiring bertambahnya jumlah penduduk, lahan pemakaman di Kota Surabaya kian menipis. Atas hal itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menyarankan agar makam dalam satu liang untuk satu keluarga di pemakaman kampung jadi solusi.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi mengatakan peningkatan jumlah penduduk menjadi tantangan utama dalam penyediaan lahan makam di kota besar seperti Kota Pahlawan.
"Kalau lahan makam dengan bertambahnya orang pasti tambah kurang. Karena itulah maka kita fungsikan adalah lahan makam yang perkampungan," ujar Wali Kota Eri Cahyadi, Senin (27/10/2025).
Pemkot Surabaya mendorong sinergi dengan pengelola makam di tingkat kampung agar pemanfaatan lahan bisa dilakukan bersama. Ia menegaskan, pola lama yang mengandalkan makam keluarga atau makam kampung perlu dihidupkan kembali.
"Jadi kita bersinergi dengan lahan makam kampung. Kalau setiap orang minta satu (lahan makam), ya habis semua tanahnya,” katanya.
Menurutnya, pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan menjadi faktor utama penyusutan ruang pemakaman. "Kemarin (jumlah penduduk) 2,7 juta, hari ini sudah 3 juta lebih, karena Surabaya didatangi orang terus. Kan tidak mungkin lahan kita digunakan menjadi lahan makam semuanya,” ujarnya.
Eri kemudian mencontohkan tradisi pemakaman keluarga yang dahulu lazim dilakukan oleh masyarakat Surabaya. Tradisi tersebut, kata dia, juga masih diterapkannya saat memakamkan anggota keluarganya sendiri.
"Kalau makam keluarga saya di Tembok Dukuh, dulu makamnya mbahku. Ketika mbahku sudah lama (meninggal), almarhum bapak (abah) dimakamkan di sana. Lek Bapak dewe iki dewe, lahan e sopo (kalau bapak sendiri, ini sendiri, lahannya siapa),” tuturnya.
Ia menjelaskan, praktik pemakaman keluarga seperti itu sebenarnya bisa menjadi solusi untuk keterbatasan lahan, sekaligus memperkuat nilai kebersamaan antarwarga.
"Nah, pemerintah kota juga tidak akan menyiapkan (lahan) semuanya untuk warga terus. Makanya kita berkolaborasi, kita bersinergi juga dengan makam-makam yang ada di kampung. Kalau warga yang ada di kampung di situ, keluarganya ya dimakamkan di situ,” jelasnya.
Ia menegaskan pengelolaan lahan makam berbasis komunitas ini menjadi langkah realistis untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan ruang hidup dan pemakaman di tengah keterbatasan lahan kota.
"Dengan yang seperti tadi saya contohkan, ada mbahku sedo (meninggal), mbahku wes suwi (sudah lama meninggal), ada abahku sedo (meninggal), ya dimakamkan di situ. Jadi, bukan sendiri-sendiri,” katanya.
Ketika ditanya apakah sistem itu berarti satu liang digunakan untuk beberapa anggota keluarga, Wali Kota Eri membenarkan. "Iya, satu liang," pungkasnya.


















