Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
“U.S., Israel and Iran flags are seen in this illustration taken June 18, 2025.”

Intinya sih...

  • Ketegangan AS-Iran berdampak pada perekonomian Indonesia

  • Naiknya harga minyak dunia mempengaruhi subsidi negara dan rantai pasok global

  • Situasi ini bisa menjadi momentum reflektif untuk memperkuat ketahanan domestik melalui strategi jangka panjang dan menengah

Surabaya, IDN Times - Pakar Ekonomi Internasional, Dr Unggul Heriqbaldi SE MSi MAppEc Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair) menanggapi soal ketegangan geopolitik yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dengan Iran. Memanasnya situasi tersebut akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah pun perlu memperkuat ketahanan domestik.

Unggul mengatakan, sejak 13 Juni 2025, harga minyak mentah Brent meningkat 13 persen dan WTI naik 10 persen Brent saat ini berada di kisaran USD 79 per barel. Kondisi geopolitik yang terus memanas sangat mungkin harga minyak dunia terus naik. “Meningkatnya eskalasi, termasuk serangan AS dan respon parlemen Iran yang menyetujui penutupan Selat Hormuz, maka sangat mungkin harga minyak dunia melampaui USD 100 per barel” ungkapnya.

Selat Hormuz menyuplai hampir 20 persen minyak mentah global, menjadikannya jalur energi paling krusial. Bagi Indonesia yang masih menjadi net importer minyak dan LPG, akan berisiko menekan postur subsidi negara dan disrupsi rantai pasok global yang bergantung pada bahan bakar fosil. "Jika harga minyak melampaui asumsi APBN 2025 sebesar USD 80–85 per barel, beban subsidi BBM dan LPG akan melonjak tajam,” imbuhnya.

Lebih jauh, efek domino konflik AS-Iran memicu tekanan nilai tukar, menurunnya arus investasi asing langsung (FDI), serta krisis utang eksternal. Hal ini tentu saja berdampak pada ekonomi Indonesia. “Negara berkembang seperti Indonesia, dengan impor energi tinggi dan eksposur utang luar negeri, berada dalam posisi rentan”terangnya.

Dari sisi keuangan, naiknya harga energi mendorong inflasi global, yang direspons bank sentral negara maju dengan menaikkan suku bunga. Londisi ini memperburuk beban utang luar negeri. "Ketika nilai tukar tertekan dan biaya pinjaman meningkat, negara dengan cadangan devisa rendah dan fiskal lemah menghadapi potensi krisis utang eksternal, sebagaimana yang terjadi di Sri Lanka atau Pakistan," tuturnya.

Namun, situasi ini bisa menjadi momentum reflektif. Artinya, Pemerintah perlu memperkuat ketahanan domestik melalui strategi jangka panjang dan menengah. Diantaranya menyiapkan program perlindungan sosial sebagai bantalan ekonomi bagi kelompok rentan, seperti program bantuan langsung tunai atau conditional cash transfer.

Dari sisi energi, saat ini kebutuhan minyak 1,6 juta barel per hari, Indonesia hanya mampu produksi 600 ribu barel, sisanya bergantung pada impor. “Perlu ada percepatan lifting minyak dalam negeri, efisiensi kilang, dan reformasi struktural sektor energi” ungkapnya.

Ia menegaskan pentingnya value creation melalui hilirisasi sektor minyak, gas, mineral, dan batubara serta perluas bauran energi nasional melalui pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). “Diversifikasi energi tidak hanya memperkuat ketahanan energi, tetapi juga mendorong dekarbonisasi. Pemerintah perlu mempercepat insentif investasi dan infrastruktur pendukung EBT,” pungkasnya.

Editorial Team