Debit Air Terus Menurun, Gunung Lawu Dinilai Butuh Perlindungan

- Debit air di Gunung Lawu terus menurun
- Pemerintah Jawa Timur dan KLHK rencanakan status Tahura pada 2026
- Penurunan debit air berdampak pada ketersediaan air bersih dan keanekaragaman hayati
Magetan, IDN Times – Menyusutnya debit air dari tahun ke tahun di kawasan Gunung Lawu bukan lagi sekadar catatan teknis, melainkan sinyal kuat krisis ekologis yang sedang berlangsung. Gunung yang menjadi tulang punggung sistem hidrologi di Jawa Timur bagian barat ini kini dinilai membutuhkan perlindungan level tertinggi demi menjaga keseimbangan lingkungan dan keberlanjutan sumber air.
Kondisi tersebut mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menaikkan status kawasan hutan Gunung Lawu menjadi Taman Hutan Raya (Tahura) yang ditargetkan mulai berlaku pada 2026.
Berdasarkan kajian terpadu tim teknis KLHK pada awal Desember 2025, sebanyak 7.341 hektare hutan lindung di wilayah Kabupaten Magetan dan Ngawi direkomendasikan beralih status menjadi kawasan konservasi. Kajian lapangan yang dilakukan selama sekitar 10 hari tersebut menilai Gunung Lawu membutuhkan payung perlindungan lebih kuat untuk menjaga fungsi ekologis jangka panjang.
1. Hutan penyangga air kian tertekan

Gunung Lawu memiliki peran krusial sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi wilayah sekitarnya. Namun, perubahan iklim global, degradasi tutupan hutan, serta tekanan aktivitas manusia dinilai mempercepat penurunan debit air di kawasan tersebut. Kepala Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Wilayah Madiun, Dwijo Saputro, menyebut tren penurunan debit air terjadi hampir setiap tahun dan berdampak langsung pada ketersediaan air bersih bagi masyarakat.
“Dari tahun ke tahun sumber air dan debit air selalu menurun. Ini menjadi keprihatinan serius pemerintah daerah. Upaya perlindungan ini penting agar keberlanjutan air bagi generasi mendatang tetap terjaga,” ujar Dwijo.
2. Tahura sebagai instrumen perlindungan ekologis

Sebelumnya, Pemprov Jawa Timur mengusulkan sekitar 10.244 hektare kawasan hutan Gunung Lawu sebagai calon Tahura. Namun, hasil evaluasi teknis menyaring area yang dinilai paling strategis secara ekologis, khususnya wilayah dengan fungsi vital sebagai penyangga sumber air dan habitat satwa.
Status Tahura akan meningkatkan kawasan dari hutan produksi dan hutan lindung menjadi hutan konservasi, sehingga pengelolaannya dapat dilakukan secara lebih ketat dan terarah. “Kewenangan provinsi dalam konservasi hutan hanya melalui skema Tahura. Karena itu, peningkatan status ini penting untuk menjamin keberlanjutan kehidupan, terutama bagi wilayah Ngawi dan Magetan,” jelas Dwijo.
Jika seluruh proses administratif berjalan sesuai rencana, penetapan resmi Tahura Gunung Lawu ditargetkan efektif pada 2026.
3. Dampak hingga hilir Bengawan Solo

Fungsi ekologis Gunung Lawu tidak berhenti di wilayah lerengnya. Aliran air dari kawasan ini mengalir ke berbagai daerah dan bermuara di Bengawan Solo, sungai terpanjang di Pulau Jawa.
Air dari Gunung Lawu dimanfaatkan oleh masyarakat Ngawi dan Magetan, lalu mengalir hingga Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik. Penurunan debit air di hulu dikhawatirkan akan memicu efek berantai hingga ke wilayah hilir, termasuk ancaman kekeringan dan gangguan ketahanan air.
4. Warisan ekologis untuk generasi mendatang

Selain sebagai penyangga air, Gunung Lawu juga menjadi rumah bagi berbagai satwa dan tumbuhan langka. Kawasan ini tercatat sebagai habitat macan tutul Jawa, lutung Jawa, elang Jawa, serta beragam flora endemik seperti anggrek hutan. Tingginya keanekaragaman hayati bahkan disebut membuat tim ahli dari Jakarta terkesan saat melakukan kajian lapangan. Fakta ini memperkuat urgensi perlindungan Gunung Lawu sebagai benteng terakhir ekosistem pegunungan di wilayah perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dwijo menegaskan, rencana perubahan status Gunung Lawu menjadi Tahura bukan hanya untuk menjawab tantangan hari ini, melainkan sebagai investasi ekologis jangka panjang. “Tujuan akhirnya adalah menjaga keberlanjutan kehidupan. Bukan hanya untuk kita sekarang, tetapi juga untuk anak cucu kita,” pungkasnya.
Dengan dukungan kajian ilmiah dan komitmen lintas pihak, dorongan menjadikan Gunung Lawu sebagai Tahura dinilai sebagai langkah krusial untuk menjaga sumber air, keanekaragaman hayati, serta masa depan lingkungan hidup di Jawa Timur.


















