Penjurusan di SMA Dihidupkan Lagi, Ini Kata Siswa dan Guru

Tahun ajaran baru 2025/2026 menjadi momentum penting bagi dunia pendidikan Indonesia dengan diterapkannya sejumlah kebijakan baru oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Salah satu yang paling banyak diperbincangkan adalah wacana kembalinya sistem penjurusan di jenjang SMA/MA, yang sebelumnya dihapus melalui Kurikulum Merdeka. Rencana ini menuai berbagai tanggapan dari kalangan siswa, guru, hingga pengamat pendidikan.
Mojokerto, IDN Times - Dunia pendidikan di Indonesia kembali diramaikan dengan wacana penerapan sistem penjurusan di jenjang SMA/MA, khususnya jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Rencana kebijakan ini menuai banyak tanggapan dari berbagai kalangan, mulai dari tenaga pendidikan, siswa, dan pengamat pendidikan. Sistem penjurusan sendiri sebelumnya sempat dihapus dalam Kurikulum Merdeka yang diterapkan secara nasional, di mana siswa kelas X akan mendapatkan pelajaran umum terlebih dahulu tanpa dibedakan jurusan, baru pada kelas XI memilih kelompok mata pelajaran sesuai minat.
Namun, dalam beberapa waktu terakhir, muncul kembali wacana untuk menghidupkan sistem penjurusan sejak awal masuk SMA. Hal ini dipertimbangkan setelah melihat berbagai kendala di lapangan, baik dari segi efektivitas pembelajaran, beban jam pelajaran, hingga kesiapan siswa dalam menentukan arah studi lanjutan di perguruan tinggi.
Untuk mengetahui langsung bagaimana respons dari pelajar dan tenaga pendidik di sekolah, IDN Times melakukan wawancara dengan sejumlah siswa serta Wakil Kepala Kurikulum di MAN 1 Mojokerto. Hasilnya, sebagian besar menyambut baik wacana tersebut dan berharap kebijakan ini benar-benar diterapkan kembali dengan perencanaan yang matang.
Dika, salah satu siswa MAN 1 Mojokerto, mengungkapkan bahwa dirinya sangat senang mendengar kabar tentang kembalinya sistem penjurusan di SMA. Menurutnya, dengan adanya penjurusan, siswa bisa lebih fokus belajar sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki.
"Ketika dengar penjurusan mau diadakan lagi, itu membuat saya lebih semangat belajar. Soalnya kalau tidak ada penjurusan itu kan sudah pasti masuk kelas ini itu (kelas yang tidak diinginkan), jadi bikin lebih malas belajar," ujar Dika saat diwawancarai pada Sabtu (19/04/2025).
Selama ini, Dika mengaku mengalami kesulitan mengikuti kurikulum yang berlaku tanpa sistem penjurusan sejak awal masuk SMA. Pasalnya, materi pelajaran yang didapat terlalu beragam dan bercampur antara mata pelajaran IPA, IPS, dan lainnya, sehingga membuatnya kesulitan dalam memahami dan menyerap pelajaran secara maksimal.
"Saya agak bingung sistemnya kayak gimana, kayak kurang nyambung gitu. Susah untuk mencerna materi yang campur-campur. Kalau ada penjurusan lagi, saya sukanya IPA, jadi ya sudah, saya bisa lebih fokus ke IPA," tambahnya.
Senada dengan Dika, Tania, siswi MAN 1 Mojokerto, juga menyampaikan hal serupa. Ia mengaku antusias dengan wacana tersebut karena sistem penjurusan dianggap lebih praktis dan tidak membuat siswa kewalahan dengan banyaknya materi dari berbagai bidang.
"Iya, senang. Karena lebih mudah mawon, gak ribet. Teman-teman kebanyakan juga berpendapat begitu," ujar Tania saat diwawancarai di waktu yang sama.
Meski demikian, Tania menyayangkan bahwa angkatannya tidak langsung mendapatkan sistem penjurusan sejak awal masuk sekolah, seperti angkatan-angkatan sebelumnya.
"Saya, angkatan saya sekarang ini merasa agak sedikit kecewa. Karena tidak langsung penjurusan waktu masuk SMA seperti angkatan yang dulu," tambahnya.
Dari sisi tenaga pendidik, Slamet Hariadi selaku Wakil Kepala Kurikulum MAN 1 Mojokerto juga menyampaikan pandangannya terkait wacana ini. Menurutnya, penerapan kembali sistem penjurusan di SMA/MA akan memberikan banyak manfaat, baik untuk siswa maupun sekolah.
Slamet menjelaskan bahwa tanpa adanya penjurusan, sekolah kerap menghadapi kesulitan dalam mengatur jadwal pembelajaran, ujian, hingga input nilai ke pangkalan data sekolah (PDSS) untuk keperluan pendaftaran perguruan tinggi.
"Penjurusan itu sebenarnya sangat membantu di madrasah, terutama untuk tingkat aliyah, SMA, atau SMK. Karena kalau tanpa penjurusan, saat masuk ke data PDSS untuk keperluan perguruan tinggi, nilai mata pelajaran anak-anak tetap harus lengkap. Padahal tujuannya peminatan itu kan mengurangi beban belajar, tapi tetap saja nilai semua pelajaran harus masuk," jelas Slamet.
Selain itu, ia menambahkan bahwa beban jam pelajaran siswa saat ini sudah sangat tinggi tanpa sistem penjurusan.
"Kalau dihitung, beban belajar anak-anak di sini minimal 51 jam pelajaran, bahkan bisa sampai 57 jam untuk program MAN-PK. Itu melebihi beban ASN yang hanya sekitar 40-45 jam," ungkapnya.
Dari segi teknis, pengelompokan kelas berdasarkan jurusan IPA dan IPS akan mempermudah sekolah dalam menyusun jadwal pelajaran dan ulangan.
"Kalau dulu kelas XI IPA, kelas XI IPS, itu sudah jelas mata pelajarannya. Sekarang ini tiap kelas pilihannya beda-beda, jadwal ulangan pun jadi ruwet. Kalau penjurusan diterapkan lagi, kita bisa mengelompokkannya dengan lebih mudah," paparnya.
Ia juga menilai bahwa sistem penjurusan dapat membantu siswa lebih cepat menentukan arah masa depannya.
"Anak-anak bisa lebih terarah, misal ada yang ingin jadi perawat, analis, atau guru SD, mereka bisa memilih jurusan yang sesuai sejak SMA. Jadi wacana penjurusan ini kalau diterapkan lagi, saya rasa akan sangat membantu madrasah maupun sekolah," tutupnya.