Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menghidupkan Budaya, Merawat Warisan di Kampung Majapahit

Kampung Majapahit Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto.
Suasana di Kampung Majapahit Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. IDN Times/Ardiansyah Fajar.
Intinya sih...
  • Bus Trans Jatim Koridor II menghubungkan Mojokerto-Surabaya, membawa penumpang beragam tujuan dan cerita hidupnya.
  • Sriyani (52), pramudi perempuan di Bus Trans Jatim Koridor II, cekatan mengemudikan bus melewati 18 halte dan dua terminal setiap perjalanan.
  • Kampung Majapahit Desa Bejijong di Mojokerto, menyimpan warisan budaya Majapahit yang terjaga hingga kini dengan rumah klasik, Candi Brahu, Maha Vihara Majapahit, dan tradisi serta kesenian yang tetap hidup.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Mojokerto, IDN Times - Jarum jam merangkak berirama, menyambut matahari yang belum sepenuhnya berbenah, Rabu, 24 September 2025. Namun denyut kehidupan di Surabaya sudah berlari kencang. Di Halte Dukuh Menanggal, hiruk pikuk pagi menampakkan wajahnya. Deru mesin, suara klakson, dan lalu lalang kendaraan menjadi orkestra yang akrab setiap hari.

Sejumlah orang menunggu dengan ritme masing-masing. Ada yang menunduk mengecek pesan WhatsApp, ada pula yang hanya membuka layar ponsel sejenak lalu mematikannya kembali, seakan mengulur waktu. Beberapa berdiri, menatap jalan raya yang tak pernah benar-benar sepi. Seorang pria berbaju rapi bertanya dengan nada setengah cemas kepada petugas jaga tentang jadwal bus, khawatir terlambat ke kantor. Di sampingnya, pelajar berseragam putih abu-abu bercampur dengan pekerja berkaus sederhana. Pagi di halte itu seperti kaleidoskop kecil kehidupan Kota Pahlawan.

Sekitar pukul 06.20 WIB, bus berwarna merah berhenti mulus di depan halte. Tulisan Suroboyo Bus tertera jelas di badan kendaraan. Pintu terbuka, dan calon penumpang pun bergegas masuk. Ada yang membawa tas besar, ada pula yang hanya menggenggam botol minuman. Kursi-kursi segera terisi. Bus itu melaju, membawa mereka menuju tujuan, sekolah, kantor, pasar, bahkan rumah sakit.

Hanya sepuluh menit berselang, suasana halte kembali ramai. Kali ini giliran bus berwarna hijau yang merapat. Dari kaca jendelanya tampak penumpang padat. Begitu pintu terbuka, satu per satu penumpang turun. Ada yang tampak terburu-buru, ada pula yang berjalan pelan penuh hati-hati, terutama penumpang lansia yang menuruni anak tangga khusus dengan bantuan pegangan tangan.

Bus itu bukan sekadar angkutan dalam kota. Ia adalah Bus Trans Jatim Koridor II yang menghubungkan Mojokerto–Surabaya. Penumpangnya pun beragam. Para pekerja kantoran dari Mojokerto yang merantau ke Surabaya, mahasiswa asal Krian Sidoarjo yang kuliah di ibu kota provinsi, hingga pedagang kecil yang setiap hari bolak-balik membawa barang dagangan.

Ketika penumpang lama turun dan yang baru masuk, terjadi semacam pergantian cerita. Bus hijau andalan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur (Jatim) ini, setiap hari, menjadi saksi bisu perjumpaan manusia dengan berbagai tujuan hidupnya. Di dalamnya ada canda kecil antar teman sekolah, wajah tegang karyawan yang dikejar target, sampai tatapan mata letih namun penuh harapan dari pedagang yang sudah berangkat sejak dini hari.

Banyak yang menjadikan bus ini sebagai jalan hemat yang nyaman untuk mengejar mimpi di Surabaya, sekaligus sarana kembali pulang melepas penat ke Mojokerto. Tak sedikit pula penumpang, menjadikan bus sebagai pintu gerbang wisata, menyusuri jejak sejarah dan peradaban kuno Majapahit di Trowulan. Menikmati kuliner khas, hingga mendatangi situs budaya yang hanya bisa ditemui di Mojokerto.

Diantar Tribuana ke Raden Wijaya

20250924_063610.jpg
Tiket Bus Trans Jatim Koridor II Tribuana Tunggadewi. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Bus berlabel Tribuana Tunggadewi—salah satu putri Raja Majapahit, Raden Wijaya—itu tak pernah berhenti lama di tiap halte. Begitu pintu menutup, pedal gas segera diinjak, mesin menderu, roda berputar. Dari balik kemudi, tampak sepasang tangan yang begitu tenang menggenggam lingkaran setir. Dialah Sriyani (52), satu-satunya pramudi perempuan dalam armada Bus Trans Jatim Koridor II rute Surabaya–Mojokerto.

Tubuhnya tampak mungil dibanding besar bus yang dikemudikannya. Namun tatap matanya fokus, wajahnya tenang, penuh konsentrasi. Ia melintasi satu halte ke halte lainnya dengan cekatan, tanpa kehilangan kewaspadaan. Total ada 18 halte dan dua terminal yang dilewati setiap kali perjalanan.

Dari Halte Dukuh Menanggal, bus hijau itu singgah bergantian di Halte Siwalankerto 2, Medaeng, Kemendung 2, Trosobo Pos 2, Bypass Timur 2, Terminal Krian, Halte Klenteng KKrian, Jabaran 2, Bypass Barat 2, Bakalan 2, Bakung 2, Ciro 2, Singkalan 2, Kramat Tumenggung 2, Mlirip 2, Mertex 2, Sekar Putih 2, Gunung Gedangan dan terakhir Teminal Kertajaya.

Jalanan pagi itu padat, terutama jalur Surabaya–Krian yang hampir tiap jam masuk kerja berubah jadi lautan kendaraan. Namun Sri tampak tidak gentar. Tangannya luwes memutar kemudi, sesekali menekan klakson pendek untuk memberi tanda, lalu kembali mengatur ritme laju.

"Saya sudah biasa menghadapi jalanan padat, wong dulu sempat bawa truk tronton bertahun-tahun," ujarnya sambil tersenyum saat ditemui di sela istirahatnya. Pengalaman itu membuatnya luwes mengendalikan bus berukuran sedang, bahkan di tengah lalu lintas yang sering membuat pengemudi lain frustrasi.

Di dalam bus, penumpang tampak rileks. Kursi berjejer rapi, AC dingin, dan suara musik pelan menemani perjalanan. Seorang petugas tiket—sering disebut crew—berkeliling menghampiri penumpang satu per satu. "Mau bayar tunai atau nontunai, Pak?” tanyanya dengan ramah. Tarifnya terjangkau. Cukup Rp5.000 untuk umum dan Rp2.500 bagi pelajar atau santri, jarak jauh maupun dekat.

Perjalanan dari Surabaya ke Mojokerto yang berjarak sekitar 40 kilometer (km) ini hanya butuh waktu 1,5 jam saja. Bus Trans Jatim Tribuana Tunggadewi ini seolah mengantarkan para penumpang untuk sesegera mungkin tiba di kawasan Kerajaan Majapahit, tepatnya Terminal Kertajaya, Mojokerto. Menuju tempat sang ayahanda Tribuana, yang juga Raja Majapahit, Raden Wijaya.

Kampung Majapahit Bejijong menjaga warisan budaya leluhur

IMG-20250925-WA0039.jpg
Petilasan Siti Inggil di Kampung Majapahit Desa Bejijong. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Pukul 08.00 WIB, Bus Trans Jatim Koridor II akhirnya tiba di Terminal Kertajaya, Mojokerto. Penumpang bergiliran turun, melewati anak tangga dengan ritme masing-masing. Sebagian buru-buru melanjutkan perjalanan dengan bus kota, ada yang menunggu ojek pangkalan, dan tak sedikit yang mampir sejenak ke gerai Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di sekitar terminal untuk sarapan pecel atau membeli camilan ringan.

Bagi wisatawan, perjalanan menuju Trowulan terasa mudah. Hanya 12 kilometer jaraknya dari terminal. Jika menggunakan ojek online, cukup 15 menit dengan tarif sekitar Rp20 ribuan. Namun, Trowulan hanyalah gerbang. Di baliknya, tersimpan sebuah desa yang dikenal sebagai Kampung Majapahit Desa Bejijong.

Bejijong menyambut siapa saja dengan ramah. Begitu memasuki desa, deretan rumah bergaya klasik langsung mencuri perhatian. Dinding bata merah berdiri kokoh, berpagar bata dengan ornamen Surya Majapahit di tengahnya. Rumah-rumah ini dikenal sebagai Rumah Kawula Majapahit, reinkarnasi hunian rakyat jelata pada era kerajaan.

"Bejijong ini istimewa, karena dalam Prasasti Alasantan disebut sebagai desa sima—desa yang mendapat keistimewaan dari Majapahit," tutur Ketua Lembaga Kemasyarakatan Desa Bejijong, Margono. Bejijong diyakini merupakan bagian dari metropolitan kuno Majapahit.

Sejarah Bejijong tak hanya tertulis dalam prasasti. Warisannya nyata berdiri hingga kini. Ada Candi Brahu, satu-satunya bangunan suci yang masih utuh dari sekian banyak kompleks candi di kawasan Mojokerto. “Tokoh-tokoh Suku Tengger juga sering datang ke sini,” kata Margono.

Ada pula Siti Inggil, tanah tinggi yang dimuliakan. Tempat ini dipercaya sebagai lokasi pertapaan Raden Wijaya sebelum mendirikan Majapahit. "Hampir semua Presiden Indonesia pernah ke Siti Inggil. Ada yang datang terang-terangan, ada yang diam-diam," ungkap Margono.

Sementara di sisi lain desa, berdiri megah Maha Vihara Majapahit dengan Patung Buddha Tidur berlapis emas. Patung ini adalah yang terbesar di Indonesia dan terbesar ketiga di Asia Tenggara. Tak hanya menjadi pusat ritual umat Buddha, situs ini juga menjadi magnet wisatawan domestik dan mancanegara.

Bejijong juga kaya tradisi. Dari tangan-tangan warganya lahir karya kriya cor kuningan, batik bercorak Majapahit, hingga wayang kulit. Dari dapur mereka muncul kuliner khas seperti telur asin asap dan ayam kemaron, yang konon resepnya diwariskan sejak masa Majapahit.

Dari sisi kesenian, desa ini tak pernah sepi. Tari Mayang Rontek dipentaskan untuk menyambut tamu, karawitan bergema di balai desa, sementara wayang kulit dimainkan hingga larut malam, memadukan hiburan dengan tuntunan.

Kini, Bejijong bukan sekadar desa. Ia adalah ruang hidup yang menyatukan sejarah, budaya, dan kehidupan sehari-hari. Ornamen Surya Majapahit yang terpampang di setiap pagar rumah, juga di Gedung Negara Grahadi Surabaya dibubuhi tulisan “Gerbang Baru Nusantara”, menjadi simbol yang terus menyala.

Budaya dan pelestarinya bak laboratorium hidup

20250924_115612.jpg
Para pengrajin cor kuningan di Kampung Majapahit Desa Bejijong. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Kekayaan warisan di Kampung Majapahit Bejijong tidak serta merta hidup dengan sendirinya. Ia tetap bernapas hingga hari ini berkat tangan-tangan warga desa, para pegiat, pelaku, dan pelestari budaya. Mereka bahu-membahu mengambil peran masing-masing, menjaga api kebudayaan agar tetap menyala. Menjaga warisan peradaban yang menjadi simbol, bukan hanya bagi Nusantara, tapi juga dunia.

Setiap sudut Bejijong menghadirkan jejak Majapahit. Rumah Kawula Majapahit—rumah bata merah berpagar ornamen Surya Majapahit—masih berdiri menawan. Pemilik rumah merawatnya dengan tekun, seolah menjaga potret kehidupan rakyat jelata di masa lalu.

Tak jauh dari sana, dentuman palu dan bara api terdengar dari bengkel kriya. Di sinilah pengrajin cor kuningan bekerja, mewarisi keterampilan dari satu orang perintis, lalu diteruskan oleh empat anaknya, hingga kini berkembang menjadi ratusan perajin. "Awalnya hanya satu orang saja, lalu anak-anaknya ikut, dan akhirnya masyarakat tertarik belajar. Sekarang jadi sentra industri kreatif kriya logam kuningan," kata Kepala Desa Bejijong, Pradana Tera Mardiatna. Selain kriya logam, desa ini juga melahirkan batik corak Majapahit dan wayang kulit, masing-masing dengan pengrajin yang menjaga ruh kebudayaan tetap hidup.

Di ranah kuliner, Bejijong punya komunitas Centhini, beranggotakan perempuan desa yang menjaga resep makanan khas Majapahit. Dari tangan mereka lahir ayam kemaron dan telur asin asap, cita rasa yang tak sekadar mengenyangkan, melainkan menyambungkan lidah hari ini dengan dapur masa lalu.

Tak kalah penting, kesenian menjadi denyut nadi desa. Di Sanggar Biyung Pandan Sari, anak-anak berlatih setiap akhir pekan. Tari Mayang Rontek—tarian khas Mojokerto bernuansa Praja Majapahit—selalu diajarkan sejak dini. "Tarian ini biasanya kami persembahkan untuk tamu yang datang ke tanah Majapahit," jelas Pradana.

Selain tari, ada wayang kulit yang tetap hidup meski zaman berubah. Setiap Rabu, Sabtu, dan Minggu, dalang dan warga menggelar latihan. Suara gamelan, dengan laras slendro dan pelog, kerap terdengar merdu, baik di balai desa maupun di area Maha Vihara Majapahit. Tak jarang, wisatawan ikut hanyut dalam alunan karawitan atau tawa riuh pertunjukan ludruk.

Pelestarian budaya di Bejijong bukan hanya soal seni. Ruwah Desa, tradisi turun-temurun sejak nenek moyang, tetap digelar sebagai pengikat warga sekaligus wujud syukur. Bagi Pradana, menjaga budaya juga berarti menjaga lingkungan. Karena itu, warga menanam kembali pohon majja—pohon yang dulunya banyak tumbuh di Trowulan, memberi nama pada Majapahit, namun kini mulai langka.

Keseimbangan antara sejarah, budaya, dan lingkungan menjadikan Bejijong magnet bagi banyak orang. Ribuan wisatawan singgah setiap tahun, baik domestik maupun mancanegara—dari Bali, Thailand, Jerman, Belanda, Italia, Malaysia, hingga Filipina.

Tak hanya wisatawan, desa ini juga menjadi tujuan mahasiswa dan peneliti. "Bejijong ini seperti laboratorium hidup. Mereka yang datang bukan sekadar melihat, tapi ingin merasakan kehidupan yang digadang-gadang menyerupai era Majapahit," ujar Pradana. Karena di Bejijong, setiap yang singgah dapat menikmati wisata edukasi. Merasakan langsung membatik hingga membuat motif patung cor kuningan.

Di Bejijong, Majapahit bukan sekadar kenangan. Ia hadir dalam rupa rumah bata merah, dentuman palu pengrajin, alunan gamelan, aroma ayam kemaron, hingga teduhnya pohon majja yang kembali tumbuh. Semua itu adalah orkestrasi warga desa, yang dengan tekun menjaga api peradaban tetap menyala.

Berkah dari menjaga warisan Majapahit

20250924_112923.jpg
Pembuat wayang kulit, Hartono di rumahnya Kampung Majapahit Desa Bejijong. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Terawatnya peradaban kuno Majapahit di Desa Bejijong, Trowulan, bukan hanya menghadirkan kebanggaan sejarah. Ia juga membawa berkah berlimpah bagi warganya yang berjumlah total 4.334 jiwa. Penduduk desa tak perlu menguras tenaga di luar kota, apalagi pergi ke negeri orang sebagai pekerja migran. Cukup menekuni potensi yang ada di kampung sendiri. Ada yang menjadi pengrajin kriya cor kuningan, pembatik, perajin wayang kulit, pengelola homestay, hingga pemandu wisata. Semua memiliki jalannya sendiri untuk menjemput rezeki dari tanah leluhur.

Siang itu, dentuman palu terdengar dari bengkel sederhana milik Subagyo (42). Sejak 2003, ia menekuni kriya cor kuningan. Dari tangan dan cetakan miliknya, lahir patung-patung kecil hingga hiasan berlapis emas yang siap merantau jauh ke luar daerah.

"Saya dulu sempat kerja sebentar di Gresik. Tapi setelah punya modal, saya pulang kampung, ikut usaha bikin patung. Sampai sekarang alhamdulillah masih jalan. Isu ekonomi turun pun tidak pengaruh," ujarnya sambil tersenyum.

Setiap pekan, Subagyo mampu mengirim hingga seribu produk cor kuningan ke Bali. Cara pengirimannya masih sederhana, dititipkan ke bus antarkota antarprovinsi. "Kalau lewat bus lebih murah. Per boks Rp60 ribu. Kalau ekspedisi lain, hitungannya per kilo," jelasnya.

Dari hasil itu, omzet Subagyo bisa mencapai Rp75 juta hanya dalam dua minggu. Patung-patung kecil ia jual mulai Rp30 ribu, sementara karya rumit dari kuningan atau perunggu bisa menembus jutaan rupiah. "Kalau lapis emas, ya lebih mahal lagi," tambahnya.

Kisah serupa datang dari Sri Mujiatim (49), akrab disapa Atim. Awalnya ia hanyalah penjahit rumahan. Namun pelatihan batik yang difasilitasi Pemkab Mojokerto membuka jalannya. Kini, ia mengembangkan berbagai motif batik Majapahitan, mulai Gapura Majapahit, Surya Majapahit, hingga Rumah Kawula Majapahit.

"Sekarang saya bikin batik tulis, batik cap, jumputan, sampai eco print," ujarnya. Pembelinya beragam: dari warga lokal hingga kolektor mancanegara. "Biasanya saya kirim ke Malaysia, dipakai souvenir," tambahnya.

Kesuksesan itu membuat Atim bisa membuka lapangan kerja. Enam orang kini membantunya setiap hari. Omzetnya pun stabil, Rp20 juta per bulan. Yang lebih membanggakan, Atim tak pelit berbagi ilmu. Rumahnya sering jadi jujugan mahasiswa dan wisatawan yang ingin belajar membatik langsung dari sumbernya.

Di sudut lain Bejijong, Hartono (60) masih setia menekuni profesi yang kian langka, menjadi pembuat wayang kulit. Tangannya terampil menggores kulit sapi atau kerbau, membentuk tokoh-tokoh pewayangan.

"Sekarang di Trowulan tinggal saya sendiri yang bikin wayang," katanya. Meski sempat beberapa kali ingin berhenti karena sepi pesanan, Hartono selalu kembali. "Tiga kali saya niat alih profesi, tiga kali juga tiba-tiba ada pesanan banyak. Mungkin sudah jalannya," ujarnya sembari memperlihatkan wayang Pandawa karyanya.

Wayang buatannya dijual antara Rp750 ribu hingga Rp2 juta. Hasilnya cukup untuk menyekolahkan anak dan membelikan jajan cucu. Kini, Hartono bertekad mencari penerus. "Dalang baru mulai banyak, tapi pembuat wayangnya habis. Peluangnya besar. Dulu saya butuh empat tahun belajar sampai bisa bikin berbagai model," tuturnya.

Di Bejijong, warisan Majapahit bukan hanya cerita masa lalu. Ia hidup di tangan warganya. Dari patung kuningan yang menyeberang pulau, kain batik yang merambah negeri jiran, hingga wayang kulit yang menjaga ruh kebudayaan. Di sini, sejarah dan ekonomi berjalan beriringan. Warga desa tak hanya menjaga peradaban, tapi juga menjadikannya sumber penghidupan.

Dari api peradaban Majapahit menuju penopang gerbang baru nusantara

20250924_111236.jpg
Mahasiswa yang sedang belajar membatik di usaha Batik Majapahit Desa Bejijong. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Ekosistem yang hidup di Kampung Majapahit, Desa Bejijong tak sekadar menjaga peradaban. Ia juga menyalakan bara semangat ekonomi yang kini bergema hingga level provinsi. Desa wisata yang dipimpin Pradana Tera Mardiatna ini menjadi bukti bahwa budaya, sejarah, dan ekonomi bisa berpadu dalam satu harmoni.

Tahun 2021, Bejijong masuk daftar 50 desa terbaik dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Tak berhenti di sana, desa ini juga menyabet juara ketiga berkat konsistensinya memenuhi standar CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environment Sustainability). “Prestasi yang sudah diraih ini merupakan hasil kekompakan masyarakat Desa Bejijong,” ujar Pradana, menirukan pesan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Sejak itu, Bejijong tak pernah redup. Hingga 2025, denyutnya tetap terasa. Wisatawan terus berdatangan, warisan Majapahit tetap terjaga, dan perekonomian desa semakin menguat.

Bejijong hanyalah salah satu mozaik dari 693 desa wisata di Jawa Timur yang tercatat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jatim. Dari desa wisata alam, budaya, hingga buatan, Jawa Timur membuktikan diri sebagai provinsi dengan atraksi wisata paling beragam di Indonesia.

"Penghargaan yang kita peroleh ini membuktikan bahwa Jawa Timur memiliki potensi luar biasa. Keindahan alam, kekayaan budaya, dan keramahan masyarakat mampu menarik wisatawan dari dalam dan luar negeri," kata Kepala Disbudpar Jatim, Evy Afianasari.

Namun, Evy menegaskan, potensi saja tak cukup. Diperlukan dedikasi, inovasi, kreativitas, kerja keras, dan gotong royong dari pemerintah daerah, desa, Bumdesa, Pokdarwis, hingga masyarakat. Untuk itu, Pemprov Jatim meluncurkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pemberdayaan Desa Wisata. Payung hukum ini menjadi fondasi agar desa wisata tumbuh dengan arah yang jelas. Lestari sekaligus produktif.

Dalam denyut desa wisata, bernafas pula UMKM. Dari kuliner tradisional hingga kriya kuningan, dari homestay hingga batik Majapahitan, pelaku UMKM menjadi penopang ekonomi Jatim. Tak heran, kontribusi UMKM mencapai 60 persen PDRB Jawa Timur.

"Kalau bicara masa depan ekonomi Jatim, ya bicara UMKM," ujar Sekdaprov Jatim, Adhy Karyono. Pemerintah Provinsi, lanjutnya, sudah menyiapkan berbagai program akseleratif. Pelatihan SDM, akses pembiayaan, fasilitasi ekspor, hingga digitalisasi UMKM.

Capaian itu nyata. Berdasarkan data BPS per 5 Agustus 2025, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada triwulan II 2025 mencatat 5,23 persen year on year (yoy) dan 5,12 persen cumulative to cumulative (ctc). Angka ini lebih tinggi dibanding ekonomi nasional yang hanya tumbuh 5,12 persen (yoy) dan 4,99 persen (ctc). Secara quarter to quarter (qtq), ekonomi Jatim tumbuh 3,09 persen, tertinggi di Pulau Jawa, mengalahkan Jawa Barat (2,33 persen), Jawa Tengah (1,87 persen), dan DKI Jakarta (1,60 persen).

"Kuartal II ini pertumbuhan ekonomi Jatim tertinggi se-Jawa, bahkan melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Ini bukti kita konsisten melakukan akselerasi ekonomi di masyarakat," kata Gubernur Khofifah.

Struktur ekonomi Jatim masih bertumpu pada tiga sektor. Industri (31,25 persen), perdagangan (18,44 persen), dan pertanian (10,87 persen). Sementara, sektor pertanian menjadi motor tercepat dengan pertumbuhan 16,53 persen qtq. Tak heran jika Jatim kini disebut Khofifah sebagai Gerbang Baru Nusantara. Simpul penghubung, penggerak utama, dan penambah nilai ekonomi nasional.

Harus terus berinovasi untuk menjaga eksistensi

IDN Times/Ardiansyah Fajar.
Infografis Kampung Majapahit Desa Bejijong. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Meski demikian, akademisi mengingatkan agar desa wisata tidak berhenti pada capaian. Kepala Program Jurusan Pariwisata Kreatif Universitas Kristen Petra Surabaya, Yudianto Oentario, menyebut desa wisata adalah laboratorium ekonomi kerakyatan. Dampaknya merembes ke transportasi lokal, kuliner, akomodasi, hingga pertunjukan seni. "Uang wisatawan tidak hanya berhenti di tiket masuk, tapi mengalir ke warung, pengrajin, homestay, hingga petani," katanya.

Namun, generasi wisatawan baru—khususnya Gen Z—menginginkan pengalaman otentik, bukan sekadar tontonan. "Desa wisata budaya harus diubah agar pengunjung bisa berpartisipasi, misalnya ikut membuat kerajinan tangan hingga memainkan kesenian yang ada di dalamnya," jelas Yudianto.

Inovasi, lanjutnya, tak cukup pada produk, tetapi juga pada model bisnis. Apalagi di tengah keterbatasan anggaran promosi dan modal. "Masyarakat jangan terlalu bergantung pada pemerintah. Pemerintah cukup hadir melalui perizinan yang mudah, sertifikasi, keamanan, dan kolaborasi antar-desa wisata," katanya. Dengan begitu, desa wisata bisa tetap tumbuh meski efisiensi anggaran diberlakukan.

Kini, Kampung Majapahit Desa Bejijong membawa dampak langsung pada ekonomi kerakyatan. Bagi Yudianto, inilah bukti bahwa desa wisata sejalan dengan visi Gerbang Baru Nusantara, mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis budaya dan alam.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Zumrotul Abidin
EditorZumrotul Abidin
Follow Us

Latest News Jawa Timur

See More

Menghidupkan Budaya, Merawat Warisan di Kampung Majapahit

02 Okt 2025, 02:00 WIBNews