Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kualitas Frugal Living ala Gen Z, Bukan Sekadar Hidup Hemat

Proses pembuatan buket bunga @eternal.studio.co (dok. Zefanya Azzahra Sapna Clarisa)
Proses pembuatan buket bunga @eternal.studio.co (dok. Zefanya Azzahra Sapna Clarisa)

Surabaya, IDN Times - Ibarat tanaman kaktus yang hidup di tengah gurun. Ketika hujan turun sesekali, tanaman ini menyimpan cadangan air dalam dirinya sehingga bisa bertahan hidup dengan baik di kawasan minim air. Begitu pula Generasi Z (Gen Z) yang mengelola keuangan dengan menerapkan frugal living. Ketika mendapatkan pemasukan, mereka perlu memutar otak supaya bisa tetap bertahan meskipun sedang dilanda kondisi yang tidak menentu.

Mereka belajar menghargai setiap rupiah dengan sebisa mungkin hidup sederhana di tengah-tengah dunia yang selalu mendorong diri untuk hidup impulsif. Bisikan dan godaan untuk membeli keinginan yang sebenarnya tidak diperlukan terkadang hampir meruntuhkan tekad mereka untuk tetap konsisten hidup hemat.

Mengutip dari data Indonesia Millennial and Gen Z Report 2025 oleh IDN Times, generasi Z menunjukkan respon proaktif terhadap tantangan keuangan dalam lingkungan yang tidak pasti. Respon tersebut dibentuk oleh pengalaman ketidakstabilan ekonomi dan ketersediaan perangkat digital untuk penganggaran. 

Generasi Z bertekad untuk menghindari kesulitan keuangan yang dialami generasi sebelumnya, yaitu dengan berfokus untuk mencapai financial independent dan bahkan pensiun dini. Akan tetapi terdapat kendala-kendala yang dihadapi sehingga menyulitkan mereka untuk menabung dan berinvestasi, misalnya peluang karir yang terbatas, tingginya biaya hidup, dan meningkatnya biaya pendidikan.

Maka dari itu, tercetusnya gaya hidup hemat atau frugal living seolah menjadi jalan keluar efektif yang dapat dilakukan oleh generasi Z saat ini. IDN Times mencoba menelisik strategi Gen Z dalam menerapkan hidup frugal. Simak, yuk!

Proses pembuatan buket bunga @eternal.studio.co (dok. Zefanya Azzahra Sapna Clarisa)
Proses pembuatan buket bunga @eternal.studio.co (dok. Zefanya Azzahra Sapna Clarisa)

Jalan ninja Gen Z menata keuangan mandiri

Shinta (21) adalah seorang mahasiswa semester 4 yang sudah memiliki penghasilan sendiri semenjak lulus dari bangku sekolah menengah atas. Hingga saat ini, Shinta berkuliah sembari bekerja sebagai karyawan toko dan guru bimbingan belajar. 

Meskipun terlahir dari keluarga menengah, namun, ia merasa sungkan apabila meminta kebutuhan pribadi ke orang tuanya dan lebih memilih untuk bekerja. Berangkat dari kesadaran sebagai anak muda yang membutuhkan tabungan masa depan, Shinta akhirnya menerapkan frugal living sejak tahun 2023 hingga saat ini. 

“Mulai dan tahu frugal living itu dari Twitter, gimana cara supaya pengeluaran gak overbudget. Jadi sadar, oh ternyata selama ini kalau beli barang itu barang yang gak dibutuhin juga dibeli. Jadi, setelah lihat suatu postingan itu, aku niatin diri buat memisahkan mana yang aku beli dan gak aku beli,” kata Shinta.

Shinta mengaku menjalani frugal living karena keterpaksaan, sebab ia menyadari bahwa ia tidak berasal dari keluarga yang serba berkecukupan. Ia memahami bahwa hal-hal yang diinginkan harus ia usahakan sendiri sehingga ia merasa uangnya akan terus habis dan berakhir tidak memiliki tabungan jika tidak bekerja.

Tidak jauh berbeda dengan Shinta, Andin (20) mahasiswa semester 6 yang juga berasal dari keluarga kalangan menengah memutuskan membuka bisnis pribadi berupa buket bunga dari rangkaian kawat bulu sejak tahun lalu.

"Sebenarnya dari rasa wishlist yang tinggi. Aku pingin punya uang sendiri tapi gak nyusahin orang tua. Sebenarnya aku masih belum punya gaji tetap sendiri, tapi sekadar side job (bisnis), selain itu ada gitu keinginan kasih something buat ibu. Aku juga pengin punya sandaran sendiri buat pegangan aku. Kalau ada kerja, kita kan gak tau kedepannya ada apa, jadi aku pingin masih ada bisnis itu yang bantu aku,” ujar Andin kepada IDN Times.

Andin mulai menyadari bahwa ia harus mengatur keuangan dengan bijak semenjak tahun pertama kuliah. Ia terpantik melakukan frugal living untuk membatasi diri agar tidak konsumtif dan supaya memiliki tabungan jangka panjang sehingga ia secara sadar menjalani hidup hematnya dengan sukarela.

Strategi pembukuan keuangan frugal living

Dalam hal pembukuan uang, Shinta membagi menjadi dua kategori yakni dari 100 persen penghasilannya, 60 persen di antaranya adalah dana tabungan, dan 40 persen sisanya untuk keperluan sehari-hari. Hal unik yang jarang dilakukan orang lain, Shinta menitipkan seluruh dana tabungannya kepada teman dekat yang ia percaya dan kenal sejak SMP. Ia juga menegaskan bahwa dengan metode yang ia lakukan ini, ia bisa menonton konser artis KPOP yang ia idolakan di Jakarta.

"Kalau nyimpen uang di bank nanti ada kepikiran beli sesuatu. Tapi kalau dititipkan di teman, kalau ada godaan untuk beli sesuatu itu ditanyain dulu alasannya mau buat apa. Kalau gak penting, buat yang lain aja. Soalnya temanku itu yang paling tahu aku banget, jadi kayak ada yang ngerem," ungkap Shinta.

Shinta yang masih tinggal bersama keluarga mengatakan bahwa ia lebih sering memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya, sebab kebutuhan primer sudah dipenuhi oleh keluarganya. Ia juga biasanya melakukan rencana keuangan setiap satu bulan sekali pada awal bulan, serta langsung mengurutkan barang-barang apa saja yang perlu dibeli di bulan itu.

Berbeda dengan Shinta, Andin lebih memilih untuk menyimpan dana tabungannya di e-wallet dan cash di rumah. Andin juga tidak lupa untuk melakukan pembukuan uang melalui aplikasi keuangan bernama BukuWarung. Meskipun target pengguna aplikasi tersebut adalah pelaku UMKM, tetapi Andin memanfaatkannya untuk mencatat keuangan pribadi dan bisnis buket bunganya.

"Aku membagi keuangan pribadi jadi 50 persen, 30 persen, dan 20 persen. Aku jadikan 20 persen itu untuk investasi jangka panjang di reksadana, 30 persen untuk dana darurat karena takutnya ada pengeluaran gak terduga, dan 50 persen buat primer kayak makan siang, terus buat skala prioritas lain kayak beli laptop."

Dalam mencatat keuangan bisnis yang sedang dijalankannya, Andin mengatakan tidak ada pembagian yang spesifik. Ia hanya mencantumkan pemasukan dan pengeluaran. Biasanya Andin hanya mengambil keuntungan 10-15 persen untuk dimasukkan ke dana pribadi dan untuk didonasikan. Sisanya baru diputar lagi untuk kebutuhan bisnis membeli bahan baku.

Ketika hari raya idulfitri tiba, keduanya juga tidak serta merta menghamburkan uang THR. Mereka mengalokasikan dana THR yang diterima dengan menyisihkan ke hal-hal yang lebih mendasar.

Shinta yang sudah bekerja biasanya mendapatkan THR sekitar 80 persen dari gaji bulanan. Ia tidak menitipkannya kepada temannya, tetapi ia gunakan untuk membeli perhiasan emas.

"Berapapun nominalnya yang aku beli, besok jika butuh tetap bisa dijual juga. Uang THR nya juga terpakai untuk membayar zakat diri sendiri. Untuk memberikan parsel kepada keluarga dan teman dekat, saat ini belum berada di fase itu."

Sedangkan Andin lebih menyisihkan 60 persen dari keseluruhan THR yang ia terima untuk dimasukkan ke tabungan pribadi. Sedangkan 40 persen sisanya ia gunakan untuk membeli sesuatu yang ia inginkan.

Buku Novel (dok. Zefanya Azzahra Sapna Clarisa)
Buku Novel (dok. Zefanya Azzahra Sapna Clarisa)

Hidup frugal masih bisa memenuhi hobi

Sebagai generasi Z yang hidup di tengah gempuran informasi dan kecanggihan teknologi dari berbagai negara, tentunya informasi yang diterima mempengaruhi diri generasi Z dalam menentukan sumber hiburan.

Hal ini terjadi pada Shinta yang memiliki hobi sebagai penikmat KPOP, bermain game Genshin Impact, menonton F1, dan menonton drama China. Dengan beragam hobi yang ia miliki, Shinta tidak menampik bahwa ia kerap mengeluarkan uang untuk memenuhi hobinya. 

Sebagai penggemar KPOP, Shinta pernah mengeluarkan uang untuk membeli album dari artis KPOP yang digemari. Pengeluaran terbesarnya adalah pernah satu kali ia pergi ke konser KPOP di Jakarta. Saat itu ia harus memperhitungkan sebaik mungkin pengeluaran untuk tiket, akomodasi, dan makan selama di sana.

Untuk memenuhi kegemarannya terhadap Genshin Impact dan F1, Shinta lebih memilih untuk membeli merchandise seperti gantungan kunci, pin, dan mobil pajangan F1. Itu semua ia beli dalam jangka waktu yang jarang yaitu ketika diadakan acara khusus saja.

Sedangkan untuk menonton drama China, setiap bulan ia kerap berlangganan di aplikasi streaming OTT seperti iQIYI, YOUKU, dan WeTV. Meskipun banyak, namun ia menyiasati dengan berlangganan yang bersifat sharing pengguna supaya tidak mengeluarkan biaya yang banyak. Shinta juga menambahkan bahwa ia hanya membutuhkan biaya kurang dari Rp50 ribu rupiah untuk total berlangganan aplikasi streaming tersebut.

Tidak hanya Shinta, Andin juga memiliki hobi yang beragam yaitu menonton film di OTT, mendengarkan musik di aplikasi streaming, make up, dan membaca buku. Hobi termurah yang dimilikinya adalah mendengarkan musik karena Andin tidak perlu mengeluarkan biaya. Sedangkan langganan OTT yang ia beli adalah Netflix, itu pun ketika liburan tiba dan saat ada uang lebih.

Untuk hobi make up, Andin biasanya menggelontorkan uang setiap tahun untuk membeli make up, terutama ketika menjelang hari raya. Sedangkan untuk hobi bukunya, Andin mengaku bahwa ia kerap membeli buku preloved yang masih layak dibaca karena lebih murah dibandingkan dengan buku berjudul sama yang baru. Ia tidak peduli dengan sampul atau tampilan bukunya, yang penting isi dari buku tersebut.

Meskipun hidup hemat terkesan mudah dilakukan jika sudah memiliki sumber penghasilan dari bekerja dan uang saku, bukan berarti pelaku frugal living tidak berhadapan dengan kesulitan mengelola keuangan. Pelaku frugal living dari kalangan generasi Z pasti mempunyai tantangan tersendiri supaya bisa konsisten melakukan frugal living.

Shinta mengungkapkan bahwa kesulitan yang ia alami selama menjalankan frugal living adalah ajakan dari teman-temannya untuk jalan-jalan, apalagi ke tempat yang jauh. Hal tersebut membutuhkan biaya yang besar, sebagai anak muda Shinta juga merasa tidak enak jika menolak. Alhasil Shinta mengatur pengeluarannya supaya ia masih bisa tetap ikut tanpa merasa terlalu berat di biaya.

Tidak hanya itu, tantangan lain yang dihadapi Shinta adalah pengeluaran tidak terduga. Ia merasa dilema untuk menentukan dana mana yang harus ia pakai untuk menutupi pengeluaran saat itu. 

"Pernah tiba-tiba harus ganti oli motor. Mau gak mau kan kalau ambil uang tabungan tapi nominalnya gak sampai Rp100 ribu. Tapi kalau ambil uang pegangan, nominalnya juga gak sedikit. Supaya gak terasa berat banget, jadi mengurangi pengeluaran untuk jajan di bulan besoknya. Meskipun gak semuanya ter-cover, tapi ada lah dikit-dikit (dana yang kembali)."

Hal yang sama juga dialami oleh Andin, ajakan nongkrong dari teman-temannya juga menjadi tantangan tersendiri bagi Andin. Ia memutuskan untuk menolak ajakan temannya yang pergi ke tempat fancy dan lebih memilih menggunakan uangnya untuk hal lain. Pengeluaran tidak terduga juga dihadapi oleh Andin.

"Pernah beli charger laptop yang tiba-tiba rusak, habis sekitar Rp300 ribu dalam satu hari. Padahal uang segitu bisa dibuat satu bulan," kata Andin.

Dengan dana tabungan dan dana darurat yang dimiliki, Andin memutuskan untuk menggunakannya untuk mengganti dana kebutuhan primernya. Saat itu dana darurat Andin tidak terlalu banyak sehingga terpaksa harus mengambil sedikit dana tabungan. Namun, karena sudah ada bantuan sedikit dari dana darurat, jadi pengeluaran yang ia lakukan lebih tertata dan hanya membutuhkan waktu satu bulan untuk mengembalikan dana-dana yang dipakai seperti semula.

Ketahanan ekonomi dari hidup frugal 

Meskipun dalam menjalani frugal living tidak selalu mulus, akan tetapi Shinta dan Andin merasakan perbedaan yang signifikan ketika sebelum dan sesudah menerapkan frugal living. Sebelum frugal living, Shinta berujar bahwa gajinya dalam satu bulan ke depan biasanya langsung habis. Tetapi ketika sudah menerapkan frugal living, meskipun uang pegangannya habis di bulan itu, namun ia masih ada dana tabungan yang dititipkan ke temannya. Selain itu, perbedaan juga terasa dalam hal self reward yang ia lakukan.

"Lebih jarang, soalnya dulu sebelum menerapkan frugal living itu malah jatuhnya bukan self reward karena kalau beli gak pakai mikir dulu. Tapi kalau sekarang lebih mikir dulu perlu dibeli atau nggak. Sebulan itu kayak sekitar 3 kali aja self reward-nya. Tapi kalau dulu tuh bisa sampai 10 kali sebulan," ungkapnya.

Begitu pula dengan Andin yang semakin jarang melakukan self reward karena sudah mengetahui bagaimana sulitnya mengumpulkan penghasilan sendiri. Oleh karena itu, ia hanya melakukan self reward tergantung dengan kondisi keuangan. Self reward yang biasanya dilakukan Andin adalah membeli jajan yang ia inginkan dan berharga murah.

"Selalu beli yang aku pengin dan murah, kalau yang sederhana paling kayak jajan. Kadang buat ngasih mama juga. Misalnya aku dapat pemasukan banyak dari bisnis, aku merasa berhutang karena kadang aku dibantuin juga ngerangkai bunganya," imbuhnya.

Meskipun masih belum memiliki pekerjaan tetap dan hanya mempunyai bisnis kecil-kecilan, Andin juga tidak lupa untuk memberi barang dari uang penghasilan buket bunganya kepada mamanya yang kerap membantunya merangkai bunga kawat bulu.

"Mamaku gak suka dikasih uang karena aku belum kerja sendiri, jadi setiap kasih uang ke beliau, duitnya pasti balik ke aku lagi. Percuma kan? Jadi, gimana caranya aku beliin sesuatu. Waktu awal buka usaha, itu lumayan kan (pemasukkannya), aku beliin chopper buat bantu masak. Aku beliin ketika ada rezeki lebih, dan aku anggap itu sebagai self reward karena kalau beliau senang aku pun senang," pungkas Andin.

Prof. Tuti Budirahayu, Dra., M.Si, Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sosiologi Pendidikan FISIP UNAIR (dok. Zefanya Azzahra Sapna Clarisa)
Prof. Tuti Budirahayu, Dra., M.Si, Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sosiologi Pendidikan FISIP UNAIR (dok. Zefanya Azzahra Sapna Clarisa)

Mengawinkan jurus frugal dan minimalism

Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sosiologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Prof. Tuti Budirahayu, Dra., M.Si, memaparkan bahwa definisi frugal living adalah gaya hidup yang menekankan pada hidup hemat. Bermula dari serangan produk-produk baru yang memunculkan istilah YOLO (You Only Live Once), mengakibatkan seseorang menjadi boros dan memunculkan banyak persoalan. Akhirnya ada gerakan untuk sedikit mengerem sehingga yang tadinya YOLO menjadi YONO (You Only Need Once) yang kini dikenal sebagai gaya hidup frugal.

"Orang frugal living berusaha membeli barang yang berfungsi sama dengan harga yang lebih rendah supaya bisa berhemat. Kalau minimalism tidak hanya bicara soal hemat, tapi kualitas juga. Minimalis memang belinya gak banyak, tapi berusaha membeli barang dengan kualitas yang baik meskipun agak mahal sedikit," jelasnya kepada IDN Times, Jumat (21/03/2025).

Tuti mengatakan menyebut terdapat beberapa pemicu generasi Z untuk melakukan frugal living, seperti kondisi ekonomi yang tidak stabil, lapangan pekerjaan yang semakin sulit sehingga membuat mereka harus berpikir dua sampai tiga kali untuk hidup hedon, latar belakang lapisan sosial yang dimiliki keluarga, serta generasi Z yang sudah melek investasi.

Tuti juga menjelaskan bahwa eksistensi frugal living sebenarnya sudah ada sejak dulu. Gaya hidup frugal living tidak muncul tiba-tiba, melainkan berasal dari proses sosialisasi. Misalnya dari pola asuh orang tua dalam mendidik anak-anaknya untuk mengelola keuangan sehingga menciptakan kesadaran bagi anaknya akan kondisi keluarga. Selain itu juga adanya industri besar kapitalisme yang terus merayu untuk melakukan konsumsi sehingga ketika dihadapkan dengan situasi kepepet, mau tidak mau harus menerapkan frugal living.

“Frugal living perlu juga diiringi dengan kesadaran pemikiran konsumtif yang berkaitan dengan keberlanjutan lingkungan atau ekologis, supaya barang-barang yang dibeli tidak dibuang dengan sia-sia dan berakhir merusak lingkungan,” tuturnya.

Terdapat dampak dari sisi positif dan negatif yang ditimbulkan oleh frugal living. Tuti mengungkapkan dampak positif dari frugal living dapat berupa kemampuan untuk membedakan kebutuhan dan keinginan sehingga seseorang bisa berhasil menabung dan menyisihkan dana untuk berbagi karena tidak menghamburkan uang secara cuma-cuma. Selain itu, dengan tidak terlalu banyak mengkonsumsi barang, maka bisa melindungi dan memperpanjang usia lingkungan.

Sedangkan dari sisi negatifnya adalah tidak memperhatikan kualitas produk yang dibeli serta mengarah pada sifat kikir atau pelit, sampai-sampai tidak menyisihkan dana untuk kesenangan diri dan berbagi ke orang lain.

"Kalau sudah melakukan frugal living sampai mengerem (dana) semuanya, itu bahaya. Secara sosiologis dan psikologis kita butuh dana untuk hiburan dan bersosialisasi dengan teman-teman, tetapi dengan bijak mengatur pengeluaran, itu tidak masalah. Frugal living memang hidup sederhana dan hemat, dan tidak lupa juga untuk memikirkan orang lain. Nah jangan sampai itu membuat diri sendiri tidak mau berbagi atau kikir."

Supaya dampak-dampak negatif tersebut tidak terjadi, Tuti mengatakan bahwa diperlukan kombinasi antara minimalism dan frugal living. Dengan begitu, tercipta efisiensi di kualitas barang yang dibeli.

Tuti juga membagikan tips-tips yang dapat diimplementasikan oleh generasi Z yang ingin menerapkan frugal living, yakni seperti menentukan tujuan menerapkan frugal living, memahami perbedaan hidup hemat dan pelit, mempertimbangkan mana kebutuhan dan keinginan, tidak mengorbankan kesejahteraan dan kesehatan, serta mempertimbangkan biaya untuk pengembangan skill diri. 

Tuti juga menambahkan bahwa dalam menjalani frugal living, semuanya itu tentang mindset serta kemampuan mengelola dan menahan diri. Namun, semuanya juga harus fleksibel.

S. Budisuharto, Perencana Keuangan, Founder and Former Chairman of Financial Planner Association Indonesia (dok. Zefanya Azzahra Sapna Clarisa)
S. Budisuharto, Perencana Keuangan, Founder and Former Chairman of Financial Planner Association Indonesia (dok. Zefanya Azzahra Sapna Clarisa)

Dampak frugal living bagi kondisi ekonomi Indonesia

Perencana Keuangan sekaligus Founder and Former Chairman FPAI (Financial Planner Association Indonesia), S. Budisuharto, menjelaskan bahwa frugal living yang dilakukan generasi Z hampir tidak memberi dampak signifikan terhadap kondisi mikro dan makro ekonomi Indonesia. Akan tetapi malah sebaliknya, justru karena kondisi mikro dan makro Indonesia yang sedang tidak bersahabat dengan kantong, itu menyebabkan orang mau tidak mau harus memilih hidup hemat. 

Budisuharto mengungkapkan bahwa sisi positif yang terlihat saat ini, generasi Z dapat lebih bijak dalam membedakan keinginan dan kebutuhan. Barang-barang yang sifatnya keinginan nilai penjualannya akan menurun, misalnya saja makanan, maka akan lebih banyak makanan yang sehat dan murah bermunculan karena penjual menangkap peluang itu.

Apabila ditilik dari kondisi makro ekonomi Indonesia, Budisuharto menyebut terdapat sektor-sektor yang dapat mendorong pertumbuhan target ekonomi per tahun negara, yaitu terdiri dari investasi, Foreign Direct Investment, dan konsumsi. Ia mengatakan bahwa supaya dunia usaha tidak seret, maka pemerintah seharusnya bertindak agar konsumsi meningkat, baik konsumsi pemerintah maupun konsumsi masyarakat.

“Nah kalau keadaan sedang krisis sehingga menyebabkan mau gak mau harus hidup frugal living, maka konsumsi nasional akan turun. Sehingga memperkecil (kesempatan) target pertumbuhan per tahun itu untuk bisa tercapai. Tapi hidup frugal living tidak memiliki andil besar mempengaruhi, hanya sedikit saja dari sektor konsumsi,” kata Budisuharto kepada IDN Times, Kamis (20/03/2025).

Budisuharto mengatakan hal paling mudah untuk hidup hemat adalah menyetarakan income (pemasukan) dan expense (pengeluaran). Apabila pemasukan tidak besar, maka pengeluaran juga jangan sampai besar, sebab hampir semua problematika keuangan berasal dari defisit yang berulang.

“Secara perencanaan keuangan ya, pada dasarnya hidup hemat itu supaya tiap bulan itu surplus bukan defisit. Kenapa kok dikatakan hemat pangkal kaya? Karena seseorang bisa kaya kalau bisa menghasilkan surplus terus menerus dan kemudian ditabung. Orang kaya itu adalah orang yang pandai mengakumulasikan surplus bulanan dia, kemudian diinvestasikan. Dengan investasi, dia bisa menambah pemasukan dia yang berarti surplus dia semakin besar,” terangnya.

Selain itu, ia juga sangat tidak menganjurkan generasi Z melakukan pinjaman online, sebab di awal memang terbantu, akan tetapi ke depannya akan semakin memberatkan jika tidak sanggup memenuhi komitmen.

Menurut Budisuharto, hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kekayaan pribadi adalah mencatat pengeluaran dan pemasukan. 

“Kata-kata dari Bapak Ilmu Manajemen Modern, Peter Drucker, If you can measure it, you can manage it. Artinya, kalau kita bisa mengukur kinerja keuangan kita, kita pasti bisa mengelola keuangan kita. Jadi, kalau orang ingin mengelola keuangan dengan baik, baik itu perusahaan, pribadi, maupun negara, maka harus pandai melakukan pencatatan keuangan juga,” pungkas Budisuharto. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Zumrotul Abidin
EditorZumrotul Abidin
Follow Us