Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Ketika Dokter Unair Menulis Papua dengan Mata yang Peka

Screenshot_20251103_183554_M365 Copilot.jpg
Dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Urologi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR), dr. Intan Andaru, M.Ked.Klin. Dok. Pribadi dr. Intan.
Intinya sih...
  • dr. Intan Andaru, dokter spesialis Urologi Unair, menulis novel Bia dan Kapak Batu di tengah kesibukan belajar.
  • Novel ini terpilih untuk launching di Ubud Writers and Readers Festival 2025 karena bermula dari pengalaman nyata dr. Intan di Asmat, Papua.
  • Tema utama novel ini adalah gegar budaya dan perubahan yang bergerak tanpa pernah diminta.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Surabaya, IDN Times - Di sela-sela kesibukannya menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Urologi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, dr. Intan Andaru menghabiskan waktu senggangnya bukan dengan tidur atau menonton serial, melainkan menulis. Dari ruang belajar, ruang jaga, hingga meja kecil dekat jendela kamar kosnya, ia mengetik perlaha, baris demi baris, hingga lahirlah novel Bia dan Kapak Batu.

Novel itu bukan sekadar buku keenam dalam rekam jejak sastra dr. Intan, setelah 33 Senja di Halmahera (2017) dan Perempuan Bersampur Merah (2019), melainkan karya yang terpilih untuk launching di panggung Ubud Writers and Readers Festival 2025, salah satu festival sastra internasional paling prestisius di Indonesia.

“Saya menulis di sela-sela waktu belajar. Menulis bagi saya adalah terapi,” ujarnya.

Kisah dalam Bia dan Kapak Batu bermula dari pengalaman nyata. Tahun 2018, dr. Intan berada di Asmat, Papua, ketika wabah campak dan gizi buruk merenggut banyak nyawa anak-anak. Pengalaman itu membekas. Rasa getir dan pertanyaan yang tak selesai: mengapa tragedi semacam itu bisa terjadi di negeri yang katanya kaya?

Ia lalu mendapat hibah seni untuk melakukan riset di Asmat. Ia tinggal, tinggal betulan, bukan sekadar singgah. Ia mengobati, mendengar cerita, menyaksikan tarian, duka, dan cara masyarakat menghadapi hari-hari. “Papua bukan gelas kosong,” katanya, tegas tapi penuh hormat. “Niat baik saja tidak cukup. Bantuan yang tidak memahami konteks justru bisa menimbulkan ketergantungan," tambahnya.

Dari pengamatan lapangan itulah tokoh-tokoh seperti Paskalina, Kosmas, dan Urbanus lahir. Mereka bukan karakter fiktif yang jauh dari realitas, melainkan potret manusia Papua yang sedang berada di persimpangan tradisi dan arus modernitas. Novel ini tidak menuding, tidak menggurui. Ia lebih seperti percakapan pelan, tentang perubahan yang bergerak tanpa pernah diminta.

dr. Intan menyebut tema utamanya sebagai gegar budaya, bagaimana dunia baru melintas masuk, dan dunia lama berusaha tetap berdiri. “Saya ingin menulis perubahan itu dengan lembut, supaya pembaca bisa merasakannya, bukan sekadar mengetahuinya,” katanya.

Bagi sebagian orang, profesi dokter dan penulis mungkin adalah dua dunia yang berbeda. Namun bagi dr. Intan, keduanya justru bertemu pada satu titik, kemanusiaan. “Menjadi dokter bukan hanya soal mengobati. Ada ruang empati yang harus dijaga. Kalau dokter tidak peka terhadap sisi kemanusiaan, akan muncul banyak masalah dalam praktiknya," ungkapnya. Ia percaya bahwa menulis membuatnya menajamkan kepekaan itu. Baik terhadap pasien, masyarakat, maupun dirinya sendiri.

Kini, setelah Bia dan Kapak Batu menemukan panggung internasionalnya, dr. Intan tidak berhenti. Di sela jaga rumah sakit, ia tengah menyusun dua draf novel baru, satu tentang perjalanan seorang dokter di berbagai daerah Indonesia, dan satu lagi tentang fenomena prostitusi dalam proyek kayu gaharu di Papua.

“Saya ingin menulis hal-hal yang sering tidak diucapkan, tapi ada dan memengaruhi kehidupan banyak orang,” tukasnya.

Perjalanan dr. Intan tidak hanya mengingatkan bahwa dokter juga manusia, tetapi juga bahwa dunia kesehatan dan dunia sastra bisa saling mengisi. Bahwa tangan yang sama yang memegang skalpel, bisa pula menulis kisah yang menyembuhkan batin orang lain.

Dan barangkali, seperti Bia, seperti Kapak Batu, seperti Asmat yang menyimpan panjang usia, karya itu akan tetap bertahan, mengetuk pelan, mengingatkan: Bahwa memahami manusia adalah pekerjaan yang tidak pernah selesai.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Faiz Nashrillah
EditorFaiz Nashrillah
Follow Us

Latest News Jawa Timur

See More

Marbot Masjid Gresik Lecehkan Bocah Tujuh Tahun Ditetapkan Jadi Tersangka

03 Nov 2025, 21:26 WIBNews