Demo Damai di Magetan, Bayang-Bayang Pam Swakarsa Ikut Muncul

- Demo mahasiswa di Magetan berjalan damai tanpa kericuhan
- Bayang-bayang Pam Swakarsa menimbulkan kekhawatiran akan praktik represif
- Forum dialog lebih dibutuhkan untuk mencegah gesekan sosial dan menyampaikan aspirasi
Magetan, IDN Times – Gelombang aspirasi masyarakat yang menguat di berbagai daerah juga sampai ke Kabupaten Magetan di Jawa Timur. Pada 1 September 2025, ratusan mahasiswa menggelar aksi damai di depan Kantor DPRD setempat. Mereka menuntut realisasi program Rp3 juta per RT, janji politik pasangan bupati dan wakil bupati terpilih yang hingga kini belum terealisasi.
Meski mengangkat isu lokal, tuntutan mahasiswa di Magetan memiliki benang merah dengan isu nasional, seperti transparansi anggaran dan pemenuhan janji kampanye. Isu serupa juga digaungkan dalam aksi buruh nasional pada 4 September 2025, yang menuntut 17 poin mendesak plus 8 agenda reformasi.
1. Demo berjalan damai tanpa kerusuhan

Menariknya, aksi mahasiswa di Magetan berlangsung damai tanpa kericuhan. Tidak ada insiden yang mengganggu keamanan. Aspirasi tersampaikan dengan tertib, bahkan menghadirkan optimisme baru bahwa perubahan bisa diperjuangkan tanpa kekerasan.
“Magetan ini seharusnya bisa jadi teladan. Demo berjalan damai, aspirasi tersampaikan, dan masyarakat tetap menjaga kebersamaan. Ini potret demokrasi yang sehat: kritis tapi tidak destruktif,” ujar Agus Pujiono, penggerak Forum Rumah Kita, Rabu (10/9/2025).
Agus menegaskan, semangat semboyan Magetan “Manunggaling Roso Suko Hambangun” harus diwujudkan dalam ruang demokrasi partisipatif. “Semboyan itu bukan sekadar kata, tapi ajakan untuk membangun melalui dialog, bukan konfrontasi,” tambahnya.
2. Bayang-bayang Pam Swakarsa timbulkan kekhawatiran

Namun, kedamaian itu terasa terusik setelah muncul surat edaran mengenai Pam Swakarsa pasca-demo. Kebijakan ini menimbulkan trauma kolektif karena mengingatkan pada praktik represif era Orde Baru.
“Pam Swakarsa ini menghidupkan hantu masa lalu. Alih-alih menciptakan rasa aman, justru bisa menimbulkan ketakutan baru di masyarakat. Orang bisa ragu untuk menyampaikan aspirasi karena khawatir dicap pengacau,” tegas Agus.
3. Forum dialog lebih dibutuhkan

Menurut Agus, yang lebih dibutuhkan Magetan bukanlah kebijakan bernuansa represif, melainkan ruang dialog yang terbuka. Forum diskusi dari tingkat RT hingga kabupaten disebutnya sebagai jalan praktis mencegah gesekan sosial.
“Kalau pemerintah membuka ruang dialog yang lebih luas, aspirasi bisa tersalurkan tanpa harus turun ke jalan. Itu cara terbaik menjaga Magetan tetap damai tapi tetap kritis,” tutup Agus.
Dengan semangat persatuan dan keterbukaan, Magetan dinilai berpotensi menjadi model daerah yang mampu mengelola gejolak aspirasi rakyat tanpa harus terjebak pada bayang-bayang masa lalu.