Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Begini Cerita 2 Dokter UB Selama Bertugas di Gaza

IMG-20250808-WA0021.jpg
dr Kuntadi dan dr Ristiawan saat bertugas di Gaza. (Dok. Humas UB)
Intinya sih...
  • Pengalaman emosional di Gaza
  • Kuntadi dan Ristiawan merasakan kesedihan melihat kondisi medis yang buruk, termasuk mengoperasi balita terkena peluru.
  • Kelaparan juga jadi kekhawatiran
  • Ristiawan menyaksikan kelaparan masif di Gaza, bahkan tenaga medis sampai pingsan karena tidak makan.
  • Tekad untuk hadir sebagai manusia dan kebermanfaatan bagi manusia lain
  • Meski dengan keterbatasan medis dan kelaparan, Kuntadi dan Ristiawan tetap bertahan dengan tekad untuk membantu warga Gaza.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Malang, IDN Times - Dua dokter asal Universitas Brawijaya (UB) yaitu dr Mohammad Kuntadi Syamsul Hidayat dan dr Ristiawan Muji Laksono melaksanakan misi kemanusiaan dengan bertugas di Gaza selama 3 minggu. Mereka membawa kisah yang menginspirasi, juga menyentuh kesadaran kita tentang arti sesungguhnya dari kemanusiaan. Keduanya menyaksikan langsung realitas getir yang membalut tanah Palestina seperti kelaparan, kehancuran, trauma, juga ketegaran.

1. Pengalaman di Gaza jadi kisah paling emosional

IMG-20250808-WA0024.jpg
dr Kuntadi dan dr Ristiawan saat bertugas di Gaza. (Dok. Humas UB)

Kuntadi menceritakan kalau ia bersama Ristiawan bertugas di Rumah Sakit An-Nasr dan Rumah Sakit Eropa, 2 fasilitas medis yang masih beroperasi di tengah krisis kemanusiaan. Mereka tiba di sana karena tergabung dalam tim relawan bersama Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang berkoneksi dengan Rahmah Worldwide selama tiga pekan di Gaza.

Bagi Kuntadi, pengalaman di Gaza selama tiga minggu menjadi titik emosional luar biasa. Selama 40 tahun menjadi dokter, menurutnya di sana merupakan hal yang paling menyayat hatinya. Ini karena ia menyaksikan bagaimana anak-anak kecil tergeletak di lantai dipenuhi darah dan nafasnya tersengal-sengal tanpa perawatan yang layak.

"Di sana asupan gizi nyaris tidak ada, sehingga tubuh mereka kekurangan protein. Dalam situasi serba terbatas itu, warga Gaza tetap bertahan dengan apa pun yang mereka punya," terangnya pada Jumat (8/8/2025).

2. Momen paling menyedihkan baginya saat mengoperasikan balita yang terkena peluru

IMG-20250808-WA0022.jpg
dr Kuntadi dan dr Ristiawan saat bertugas di Gaza. (Dok. Humas UB)

Kuntadi juga mengungkapkan kalau momen paling menyedihkan baginya dan Ristiawan adalah saat menangani seorang anak perempuan yang belum genap dua tahun, anak ini harus dioperasi karena terkena peluru hingga bersimbah darah. Di tengah-tengah kondisi ini, situasi rumah sakit di sana sangat tidak layak karena kekurangan alat medis.

"Bangunan fasilitas kesehatan banyak yang rusak, termasuk blok hemodialisis yang hancur akibat serangan bom. Kemudian setiap hari normalnya ada 250 pasien, sehingga yang tidak kebagian ruangan harus dirawat di tenda medis," bebernya.

"Obat kurang, air bersih terbatas, fasilitas rusak, dan risiko keamanan tinggi. Standar medis yang biasa kami jalankan tak bisa diterapkan sepenuhnya. Banyak prosedur harus dilakukan dengan alat seadanya, bahkan menggunakan obat-obatan lama yang sudah jarang dipakai, tentu ini menjadi tantangannya," sambungnya.

Selama bertugas, menurutnya suara dentuman bom dan kepulan asap jadi pemandangan biasa bagi mereka. Tapi yang membuat keduanya kuat adalah tekad untuk hadir sebagai manusia dan kebermanfaatan bagi manusia lain.

3. Bukan hanya keterbatasan medis, kelaparan juga jadi kekhawatiran

IMG-20250808-WA0023.jpg
dr Kuntadi dan dr Ristiawan saat bertugas di Gaza. (Dok. Humas UB)

Sementara itu, Ristiawan mengungkapkan kalau kondisi paling mencolok bukan hanya luka fisik akibat perang, tapi juga kelaparan masif. Bahkan menurutnya beberapa tenaga medis di rumah sakit kerap pingsan karena tidak makan selama 2 hari.

"Seorang dokter spesialis sampai harus diinfus. Anaknya menangis semalaman karena lapar, kami sendiri tak tega makan sendiri. Bahkan pernah satu permen kopiko kami bagi ke dokter di sana, mereka menerimanya dengan penuh syukur," ungkapnya.

Sebagai dokter yang terbiasa menghadapi situasi darurat, Ristiawan mengakui bahwa pengalaman di sana menggetarkan batinnya. Bahkan meski sudah tiba di Indonesia, ia tetap mengingat kondisi di Gaza dan masih sering menangis.

"Saya melihat melihat kerumunan warga sipil kurus, lemah, keluar dari lorong bangunan lalu meminta makanan di pinggir jalan. Mereka lapar, tapi tidak kasar. Hungry but not angry," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Zumrotul Abidin
EditorZumrotul Abidin
Follow Us