7 Upacara Adat di Jawa Timur, Ada yang Mengawinkan Hewan!

Dari Sabang sampai Merauke, kita mengenal keberagaman budaya, salah satunya lewat upacara adat yang khas. Bukan tradisi semata, upacara adat punya nilai-nilai luhur yang sampai hari ini menjadi suri teladan bagi masyarakatnya.
Upacara adat menjadi salah satu cara bagi orang Indonesia biar tetap terhubung dengan alam serta menjaga hubungan baik antarsesama. Salah satu daerah di Indonesia yang menyimpan keunikan beragam upacara adat adalah Jawa Timur. Biar gak penasaran lagi, berikut 7 upacara adat di Jawa Timur yang digunakan untuk berbagai kepentingan. Yuk, simak!
1. Tutup Petik Cengkeh

Di daerah Kabupaten Blitar, ada salah satu upacara adat bernama Tutup Petik Cengkeh. Upacara ini diselenggarakan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan atas masyarakat petani cengkih yang telah dikaruniai kesehatan dan rezeki berupa panenan yang baik. Upacara ini dilangsungkan pada masa penutupan panen raya, bukan pada masa awal panenan.
Tokoh cerita yang disakralkan dalam upacara ini adalah Den Bagus Citra Pandemen, danyang atau roh halus dalam kebudayaan Jawa yang menjaga keselamatan tanaman (kalis ing sambekala). Ragam makanan yang disukainya adalah kepala sapi dan kepala kambing, sehingga dua sesajian ini pasti ada dalam upacara Tutup Petik Cengkeh.
Selain kepala sapi dan kepala kambing, ada juga sesajian lain seperti nasi tumpeng, pisang, takir isi telur, kelapa, beras, gula, sirih pinang, arak-arak gula gimbal, gula gringsing, keleman, dan hasil panenan/petikan.
2. Ruwatan Anak Tunggal

Ruwatan berasal dari kata ruwat yang berarti bebas atau lepas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ruwat berarti pulih kembali seperti keadaan semula; terbebas dari nasib buruk yang akan menimpa sukerta (anak/orang).
Berdasarkan Serat Centhini, ada 13 orang sukerta yang harus diruwat, beberapa di antaranya yaitu ontang-anting (anak tunggal laki-laki), uger-uger lawang (dua anak semua laki-laki), kembang sepasang (dua anak semua wanita), pandhawa (lima anak semua laki-laki), dan kendhana-kendhini (dua orang anak perempuan dan laki-laki, yang sulung anak laki-laki).
Dalam upacara ini, beberapa perlengkapan yang harus disiapkan, yaitu seperangkat gamelan lengkap berlaras slendro dan pelog, pembuatan kelir sebagai tempat dalang menggelar pertunjukan wayang lengkap dengan batang pisang dan blencong, sesajian (palawija, pala pendhem, pala gumandhul/pala gantung, dan pala kesempar), tikar, bantal, dupa, Betara Kala dengan busana lengkap dalam pertunjukan, dayang-dayang pembawa dupa dan sesajian, serta bapak, ibu, dan anak yang diruwat.
3. Sedekah Bumi

Upacara Sedekah Bumi bermula dari kegiatan yang dilakukan leluhur pada zaman Eyang Jayeng Suryo Prawiro. Dalam sastra lisan setempat, dikisahkan bahwa Desa Kambingan pernah mengalami panen raya yang amat menggembirakan petani. Mereka mengadakan pesta dengan kesenian teledhek (tandhak) sambil meminum minuman arak sampai mabuk. Akibatnya, warga desa terkena kutuk danyang. Pagebluk atau wabah dahsyat membuat banyak masyarakat sakit-sakitan, bahkan meninggal dunia.
Eyang Jayeng Surya Prawiro melakukan tirakat dan semadi untuk memohon petunjuk dari Hyang Widhi sekaligus memohon pengampunan atas segala dosa warganya. Sebagai penolak bala, ia mengajak warga desa untuk mengadakan upacara selamatan Sedekah Bumi.
Upacara Sedekah Bumi di Kediri biasanya diselenggarakan di rumah Kepala Desa, dilanjutkan ke makam leluhur desa, Eyang Suryo Prawiro. Setelah itu, upacara diakhiri dengan arak-arakan keliling desa. Beberapa perlengkapan yang diperlukan dalam upacara ini, yaitu padupan (dupa, api dan kemenyan), bunga lima warna, payung, 13 tumpeng khusus, ambengan, buah-buahan dan hasil pertanian, serta seperangkat gamelan untuk mengiringi jalannya upacara.
4. Kirap Kurasan Sendhang Ngumbul

Upacara Kirap Kurasan Sendhang Ngumbul memiliki latar belakang kesejarahan yang khas karena bertumpu pada kisah sastra lisan yang diucapkan tokoh lokal. Di Desa Ngumbul, Kecamatan Delopo, Kabupaten Madiun, terdapat sebuah sendang yang mengandung belerang, sehingga air sendang ini berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit kulit.
Sendang ini dinamai Sendhang Mumbul karena airnya mengalir dari bawah ke atas alias muncrat, jadi masyarakat Jawa menyebutnya 'mumbul'. Karena sering dipakai terus-menerus, sendang ini menjadi kotor. Bupati bersama tokoh masyarakat berupaya melestarikan, merawat, dan menguras sendang pada tanggal satu bulan Sura. Tanggal satu bulan Sura dianggap keramat oleh masyarakat Jawa, karena hari tersebut dinilai sebagai Tahun Baru Jawa.
Beberapa perlengkapan yang dibutuhkan dalam upacara adat ini, yaitu tumpeng sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas air yang sangat berguna dalam kegiatan pertanian, panggang kambing yang menandakan kesuburan tanah sehingga bisa digunakan untuk beternak, palawija sebagai hasil pertanian di ladang, seuntai padi lama, benih jagung, dan ketela sebagai bentuk permohonan agar jenis tanaman ini selalu subur, iringan seni rakyat dongkrek, gamelan Jawa, dan beksan suka-suka seperti gambyong yang dilengkapi pertunjukan wayang purwa.
5. Bubak Kawak

Upacara Bubak Kawak dilakukan oleh pasangan orang tua yang anaknya baru saja melangsungkan pernikahan. Upacara ini hanya dilakukan terhadap anak yang berstatus adat tertentu, misalnya ting-ting kebanting (pasangan suami istri yang hanya mempunyai seorang anak perempuan/laki-laki saja) dan sendhang kaapit pancuran (tiga bersaudara kandung, anak nomor dua perempuan, sedangkan anak pertama dan ketiganya laki-laki).
Upacara Bubak Kawak bertujuan untuk memberikan bekal mental kepada seorang anak yang baru menikah dari seorang resi/mahaguru. Ia memberi air suci agar si anak terbebas dari marabahaya dan gangguan roh jahat. Upacara ini secara tradisional sengaja dilaksanakan pada pukul 24.00 tengah malam dengan tujuan memasuki suasana hening.
Selain bertujuan memberikan bekal, upacara ini juga bertujuan melatihan pasangan orang tua agar rajin menabung. Dalam upacara ini, yang ditonjolkan adalah peranan orang tua yang berani mengadakan Upacara Bubak Kawak karena mereka sudah mempunyai dhelog, yaitu keramik untuk menabung uang.
6. Nebus Kembar Mayang

Di daerah Kota Madya Blitar, ada salah satu upacara adat bernama Nebus Kembar Mayang yang masih eksis hingga saat ini. Upacara ini digelar pada malam nanggulan, yaitu malam sebelum puncak upacara temu pengantin.
Kembar mayang adalah rangkaian janur kuning yang dirakit pada batang pisang atau bokor kuningan dengan metode tertentu. Kembar mayang mempunyai nilai sakral sekaligus lambang keagungan pengantin yang dinikahkan.
Nebus Kembar Mayang sering kali dilakukan dengan cara membeli kembar mayang dari sang pembuatnya. Mulanya, pemilik hajat harus mengemukakan keinginan membeli kembar mayang ini kepada sesepuh desa. Sesepuh desa lalu mendatangi rumah sang ahli pembuat kembar mayang sambil menyerahkan persyaratan "sasrahan pamekase kembar mayang". Setelah itu, barulah sesepuh memboyong kembar mayang ke rumah pemilik hajat. Penyerahan kembar mayang ini dilanjutkan dengan upacara selamatan.
Upacara adat ini dilengkapi dengan ambengan atau sesajian yang terdiri dari nasi broh putih dan kuning beserta lauk pauk, pisang, kelapa, gula kelapa, beras, bunga tiga warna, tikar, dan sirih ayu.
7. Mantu Kucing

Upacara Mantu Kucing merupakan upacara adat untuk memohon kepada Tuhan agar Ia menurunkan hujan. Upacara ini diadakan saat musim kemarau berkepanjangan yang menyebabkan bencana kekeringan.
Upacara Mantu Kucing muncul dari tradisi masyarakat Desa Purworejo, Kecamatan Pacitan, ketika seorang warga desa mendapatkan wisik atau petunjuk dari Allah untuk melakukan suatu upacara agar turun hujan.
Mantu Kucing digelar seperti mengadakan upacara pernikahan dua anak manusia. Khusus dalam keperluan ini, yang dinikahkan adalah dua ekor kucing. Kucing betina berasal dari Desa Purworejo, sedangkan kucing jantan diambil dari desa tetangga yang bersebelahan, yaitu Desa Arjowinangun.
Meski yang dinikahkan seekor kucing, masyarakat Pacitan menyebut dua ekor kucing itu dengan istilah penganten/manten. Seperti acara pernikahan pada umumnya, ada upacara perarakan manten, temu manten, memandikan manten, ngalap berkah, bahkan upacara sungkeman. Wow, unik banget kan?
Nah, itulah 7 upacara adat di Jawa Timur yang unik dan sarat akan nilai-nilai luhur. Jadi, upacara adat mana saja yang pernah kamu jumpai?