Tak Lagi Tabu, Pamer Akta Cerai Seakan Jadi Tren Baru di Magetan

- Aksi simbol kebebasan pasca perceraian: Perempuan di Magetan memamerkan akta cerai sebagai ungkapan lega dan pembebasan diri setelah melewati proses sidang yang panjang.
- Angka perceraian di Magetan tinggi: Sejak Januari hingga September 2025, tercatat 927 perkara perceraian dengan penyebab utama adalah pertengkaran terus-menerus.
- Mediasi kerap gagal: PA Magetan berupaya mengadakan mediasi sebelum menjatuhkan putusan cerai, namun sering kali gagal karena ketidakhadiran pihak tergugat atau termohon.
Magetan, IDN Times – Jika dulu perceraian dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan, kini sebagian perempuan di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, justru menjadikannya momen untuk dirayakan. Fenomena baru muncul di depan Kantor Pengadilan Agama (PA) Magetan. Sejumlah perempuan yang baru resmi bercerai memamerkan akta cerai dan mengunggahnya ke media sosial.
1. Aksi simbol kebebasan pasca perceraian

Panitera Muda Hukum PA Magetan, Sri Wilujeng Rahayu, membenarkan tren tersebut. Menurutnya, beberapa perempuan memilih berfoto sambil menunjukkan akta cerai mereka sebagai bentuk ekspresi setelah melewati proses sidang yang panjang. “Memang ada konten pamer akta cerai di Magetan. Rata-rata dilakukan oleh pihak perempuan setelah perkara mereka diputus,” jelas Sri Wilujeng, Kamis (9/10/2025).
Sri menilai, aksi tersebut bisa diartikan sebagai ungkapan lega dan pembebasan diri setelah melewati masa konflik rumah tangga. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga menimbulkan perdebatan sosial di masyarakat.
2. Angka perceraian di Magetan tinggi

Berdasarkan data dari Pengadilan Agama Kelas IB Magetan, sejak Januari hingga September 2025, tercatat 927 perkara perceraian. Dari jumlah itu, 669 kasus merupakan cerai gugat yang diajukan oleh pihak istri, sedangkan 258 kasus adalah cerai talak dari pihak suami. Hingga kini, 721 perkara telah resmi diputus oleh majelis hakim.
Penyebab terbanyak perceraian adalah pertengkaran terus-menerus dengan total 701 perkara, diikuti faktor ekonomi (23 perkara), kurangnya tanggung jawab, serta pasangan yang meninggalkan tanpa kabar. “Mayoritas karena pertengkaran yang berulang. Faktor ekonomi dan tanggung jawab jumlahnya lebih sedikit,” tambah Sri Wilujeng yang akrab disapa Yayuk.
3. Mediasi kerap gagal

Sebelum menjatuhkan putusan cerai, PA Magetan selalu berupaya mengadakan tahapan mediasi agar kedua pihak dapat berdamai. Namun, tahapan ini sering kali gagal lantaran pihak tergugat atau termohon tidak hadir. “Kalau pihak tergugat atau termohon tidak datang, otomatis tidak ada mediasi,” ungkap Yayuk.
Fenomena “pamer akta cerai” di Magetan menjadi cerminan perubahan cara pandang masyarakat terhadap perceraian. Jika sebelumnya dianggap aib, kini sebagian perempuan memaknainya sebagai tanda kebebasan dan kemandirian.
Meski demikian, sejumlah pihak berharap tren ini tetap disikapi dengan bijak. Sebab, di balik rasa lega usai bercerai, masih ada tanggung jawab dan dampak sosial yang harus dihadapi, terutama bagi anak dan keluarga.