Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sekolah Budaya Anak Gang Dolly, Cahaya Baru dari Lorong Gelap

IMG-20251015-WA0069.jpg
Sekolah Budaya di Gang Dolly. Dok. Humas Unesa.
Intinya sih...
  • Sekolah Budaya Anak Gang Dolly diresmikan pada 12 Oktober 2025, kolaborasi lintas pihak untuk pendidikan karakter dan kebudayaan bagi anak-anak di kawasan eks-lokalisasi.
  • Sekolah budaya ini mengusung konsep Culture-Based Learning dengan tokoh-tokoh Pandawa sebagai inspirasi pembentukan karakter anak.
  • Program ini mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-4 tentang Pendidikan Berkualitas dan poin ke-10 tentang Pengurangan Kesenjangan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Surabaya, IDN Times - Minggu pagi di Gang Dolly kini tak lagi sepi dan kelam seperti masa lalunya. Dari aula kecil di Pasar Burung Dolly, terdengar riuh tawa anak-anak yang sedang berlatih menirukan gerak wayang Pandawa. Sambil memegang kertas bergambar tokoh Bima dan Arjuna, mereka berdiskusi tentang arti keberanian dan kejujuran. Di sinilah harapan baru sedang tumbuh. Sekolah Budaya Anak Gang Dolly.

Program ini diresmikan pada 12 Oktober 2025, hasil kolaborasi lintas pihak, Fakultas Psikologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Binar Community, Tim Pandawa RW XII Kampung Dolly, Pertamina Foundation, serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Surabaya.

Tujuannya sederhana tapi besar, menghadirkan pendidikan karakter dan kebudayaan bagi anak-anak di kawasan eks-lokalisasi, agar mereka tumbuh percaya diri dan berdaya.

Bukan buku tebal atau teori yang menjadi bahan ajar di sini, melainkan cerita budaya dan nilai-nilai lokal. Sekolah budaya ini mengusung konsep Culture-Based Learning, yang menjadikan tokoh-tokoh Pandawa sebagai inspirasi pembentukan karakter anak.

Yudhistira mengajarkan kejujuran, Bima menanamkan keberanian, Arjuna melambangkan ketekunan dan fokus, sementara Nakula dan Sadewa mengajarkan kerja sama dan kasih sayang.

"Anak-anak di sini adalah calon pemimpin masa depan. Kami percaya mereka bisa dibina dan diberdayakan melalui pendidikan karakter berbasis budaya lokal,” ujar perwakilan Tim Pandawa M Faiz Chisshomudhin yang juga tumbuh besar di kawasan ini.

Setiap Sabtu, 35 anak binaan mengikuti kegiatan belajar yang disusun dengan pendekatan psikologis dan budaya. Alih-alih hanya duduk di kelas, mereka diajak menggambar, bermain peran, hingga mengenal nilai-nilai sosial lewat cerita rakyat.

"Kami melihat potensi besar untuk mengubah wajah pendidikan anak-anak di kawasan marginal,” terang dosen Fakultas Psikologi Unesa Fitrania Maghfiroh yang menjadi penggerak utama program.

Awal mula program ini bukan datang dari ruang kuliah, melainkan dari interaksi nyata di lapangan. “Mahasiswa kami sudah sering turun ke Gang Dolly. Mereka melihat, anak-anak di sini punya semangat besar tapi butuh pendekatan yang sesuai. Mereka lebih tertarik pada budaya daripada teknologi,” jelas Wakil Presiden Binar Community Rifda Haura Fathina Besri.

Dari pengamatan itu, lahirlah ide untuk menjadikan budaya sebagai jembatan pendidikan. Binar Community menggandeng Fakultas Psikologi Unesa untuk memberikan dukungan akademik, termasuk fasilitasi pendampingan psikologis dan pelatihan relawan mahasiswa. Semua dilakukan dengan semangat gotong royong.

Dukungan warga menjadi kunci keberhasilan program ini. Ketua RW XII, Cahyo Andrianto tak kuasa menyembunyikan kebanggaannya. “Kami ingin memutus rantai kemiskinan sosial. Program ini memberi ruang bagi anak-anak kami untuk berani bermimpi dan percaya diri,” ujarnya.

Bagi banyak warga, Sekolah Budaya Anak Gang Dolly bukan sekadar tempat belajar, tapi juga simbol perubahan identitas kawasan yang dulu dikenal karena luka sosial. Kini, mereka punya cerita baru yang lebih cerah.

Tak ada ujian tertulis, nilai angka, atau rapor akademik di sekolah ini. Penilaian dilakukan lewat observasi dan interaksi sosial sehari-hari. Anak-anak dinilai dari empati, keberanian berbicara, dan kemampuan bekerja sama.

"Setiap anak unik. Kami ingin mereka mengenal dirinya lebih dalam, bukan sekadar mengejar nilai,” tambah Rifda. Di akhir program tiga bulan ini, tim akan melakukan evaluasi kualitatif, bagaimana anak-anak berubah dalam hal sikap, rasa percaya diri, dan semangat belajar.

Program ini juga mendukung Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya poin ke-4 tentang Pendidikan Berkualitas dan poin ke-10 tentang Pengurangan Kesenjangan. Melalui kolaborasi lintas sektor, Unesa dan mitra berharap inisiatif ini menjadi model pendidikan alternatif berbasis budaya yang bisa diterapkan di kawasan marginal lainnya.

"Harapannya sekolah ini tidak berhenti di Dolly. Kami ingin semangatnya menular ke tempat lain,” katanya. "Di tengah arus modernisasi, pendidikan karakter justru makin penting. Budaya bisa jadi kunci agar anak-anak tetap punya akar," imbuh dia.

Saat sesi belajar usai, seorang anak perempuan berusia sembilan tahun dengan rambut dikuncir dua menghampiri papan tulis dan menulis kalimat sederhana: "Aku ingin jadi orang baik seperti Yudhistira."

Tulisan polos itu seolah merangkum makna besar dari seluruh program ini, bahwa pendidikan sejati bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi juga tentang menumbuhkan hati dan harapan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Zumrotul Abidin
EditorZumrotul Abidin
Follow Us

Latest News Jawa Timur

See More

DVI Polda Jatim Tuntaskan Identifikasi 63 Korban Tragedi Ponpes Ambruk

15 Okt 2025, 19:16 WIBNews