Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi. Frugal Living.

Ibarat tanaman kaktus yang hidup di tengah gurun. Ketika hujan turun sesekali, tanaman itu menyimpan cadangan air dalam dirinya sehingga bisa bertahan hidup dengan baik di kawasan minim air. Begitu pula Generasi Z (Gen Z) yang mengelola keuangan dengan menerapkan frugal living. Ketika mendapatkan pemasukan, mereka perlu memutar otak supaya bisa tetap bertahan meskipun sedang dilanda kondisi yang tidak menentu.

Mereka belajar menghargai setiap rupiah dengan sebisa mungkin hidup sederhana di tengah-tengah dunia yang selalu mendorong diri pada kecenderungan impulsif. Bisikan dan godaan untuk membeli keinginan yang sebenarnya tidak diperlukan terkadang hampir meruntuhkan tekad mereka untuk tetap konsisten hidup hemat.

Mengutip dari data Indonesia Millennial and Gen Z Report 2025 oleh IDN Times, generasi Z menunjukkan respons proaktif terhadap tantangan keuangan dalam lingkungan yang tidak pasti. Respons tersebut dibentuk oleh pengalaman ketidakstabilan ekonomi dan ketersediaan perangkat digital untuk penganggaran.

Generasi Z bertekad untuk menghindari kesulitan keuangan yang dialami generasi sebelumnya, yaitu dengan berfokus untuk mencapai financial independent dan bahkan pensiun dini. Akan tetapi terdapat kendala-kendala yang dihadapi sehingga menyulitkan mereka untuk menabung dan berinvestasi, misalnya peluang karir yang terbatas, tingginya biaya hidup, dan meningkatnya biaya pendidikan.

Maka dari itu, tercetusnya gaya hidup hemat atau frugal living seolah menjadi jalan keluar efektif yang dapat dilakukan oleh generasi Z saat ini. IDN Times lewat kolaborasi hyperlocal mencoba menelisik rupa-rupa strategi Gen Z dalam menerapkan hidup frugal. Mumpung lebaran udah usai, kita harus bersiap melanjutkan hidup dengan berbagai tantangannya. Simak liputan ini, yuk!

Cerita frugal Living dari Gen Z untuk kita semua

Zulfauzi, Salah Satu Gen Z Lampung yang Menerapkan Konsep Frugal Living (IDN Times/Istimewa)

Shinta (21) adalah mahasiswa semester 4 di Surabaya yang sudah memiliki penghasilan sendiri semenjak lulus dari bangku sekolah menengah atas. Hingga saat ini, Shinta berkuliah sembari bekerja sebagai karyawan toko dan guru bimbingan belajar (Bimbel).

Meskipun terlahir dari keluarga menengah, namun ia merasa sungkan apabila meminta kebutuhan pribadi ke orang tuanya dan lebih memilih untuk bekerja. Berangkat dari kesadaran sebagai anak muda yang membutuhkan tabungan masa depan, Shinta akhirnya menerapkan frugal living sejak tahun 2023 hingga saat ini.

“Mulai dan tahu frugal living itu dari Twitter, gimana cara supaya pengeluaran gak overbudget. Jadi sadar, oh ternyata selama ini kalau beli barang itu barang yang gak dibutuhin juga dibeli. Jadi, setelah lihat suatu postingan itu, aku niatin diri buat memisahkan mana yang aku beli dan gak aku beli,” kata Shinta.

Shinta mengaku menjalani frugal living karena keterpaksaan, sebab ia menyadari bahwa ia tidak berasal dari keluarga yang serba berkecukupan. Ia memahami bahwa hal-hal yang diinginkan harus ia usahakan sendiri sehingga ia merasa uangnya akan terus habis dan berakhir tidak memiliki tabungan jika tidak bekerja.

Tidak jauh berbeda dengan Shinta, Andin (20) mahasiswa semester 6 di kampus Surabaya yang juga berasal dari keluarga kalangan menengah memutuskan membuka bisnis pribadi berupa buket bunga dari rangkaian kawat bulu sejak tahun lalu.

"Sebenarnya dari rasa wishlist yang tinggi. Aku pingin punya uang sendiri tapi gak nyusahin orang tua. Sebenarnya aku masih belum punya gaji tetap sendiri, tapi sekadar side job (bisnis), selain itu ada gitu keinginan kasih something buat ibu. Aku juga pengin punya sandaran sendiri buat pegangan aku. Kalau ada kerja, kita kan gak tau kedepannya ada apa, jadi aku pingin masih ada bisnis itu yang bantu aku,” ujar Andin kepada IDN Times.

Andin mulai menyadari bahwa ia harus mengatur keuangan dengan bijak semenjak tahun pertama kuliah. Ia terpantik melakukan frugal living untuk membatasi diri agar tidak konsumtif dan supaya memiliki tabungan jangka panjang sehingga ia secara sadar menjalani hidup hematnya dengan sukarela.

Sedikit unik dari frugal living dipraktikkan mahasiswa asal Kota Medan Clarissa Turnip (21). Ia menerapkan psikoanalisis Sigmund Freud dalam kehidupan sehari-hari. Pertengkaran batin lewat id, ego, dan superego menjadi solusi frugal living yang diterapkan Clarissa sehari-hari.

Sebagai mahasiswa yang rumahnya sangat jauh dari kampus, membuatnya harus dapat memanajemen pengeluaran sebijak mungkin. Frugal living baginya bukan sekadar tren, namun kewajiban.

Sebagai mahasiswa yang tidak diongkosi beasiswa bidikmisi, membuatnya berkomitmen untuk senantiasa berhemat dalam kondisi apapun. Sehingga tak ayal ia memutuskan bekerja di samping jadwal kuliah yang luar biasa padat untuk bisa membayar tagihan akademik tiap semesternya.

"Saya bekerja part time sebagai waiters, freelance fotografer, internship editor dan desain grafis, guru di SD, sampai penari," ujar Clarissa.

Dari bekerja part time sebagai waiters, ia biasa mendapat upah Rp85 ribu perhari. Biasanya Clarissa bekerja saat ada hari atau event besar. Ia mengaku total bisa mendapatkan upah Rp300 ribu sampai Rp600 ribu. Sama halnya dengan freelance fotografer yang juga ia lakoni, Clarissa meraup untung lumayan besar saat ada event wisuda yang diselenggarakan kampusnya. Dari bidikan kameranya, ia bisa mendapat laba sekitar Rp350 ribu dari tiap pelanggan yang menyewa jasanya.

"Beda halnya internship editor dan jasa desain grafis yang saya lakoni. Ini selalu jalan minimal sebulan bisa dapat Rp400 ribu. Begitu juga kerjaan saya sebagai guru SD yang dapat gaji tiap bulan," ungkapnya.

Bagi Clarissa, meskipun ia bekerja, namun usaha untuk berhemat harus ditekadkan bulat-bulat. Ia punya prinsip meskipun dapat banyak pekerjaan namun gaya hidup jangan ikut ditingkatkan.

"Uang hasil job dipakai untuk biaya kuliah atau kebutuhan kaya beli beras, minyak, lauk pauk, obat, serta kebutuhan sehari-hari seperti kuota, ongkos, dan makan. Uangnya juga digunakan untuk kebutuhan lain seperti servis sepeda motor," tutur perempuan kelahiran tahun 2003 ini.

Frugal living juga menjadi pilihan mendesak bagi Zulfauzi, seorang Gen Z asal Lampung. Ia mulai menerapkan gaya hidup frugal living sejak 2022, tepat ketika ia mulai memiliki penghasilan sendiri. Baginya, sulitnya mencari uang menjadi alasan utama untuk berhemat, membelanjakan uang sesuai kebutuhan, dan fokus menabung sebanyak mungkin.

Untuk mengatur keuangan, Zul menerapkan sistem kantong belanja terpisah. Setiap gajian, ia membagi pendapatannya berdasarkan persentase agar tidak boros.

"Pendapatanku kan gak tetap, jadi aku bagi setiap kantong belanja pakai persenan. Tabungan pasti 50 persen. Sisanya dibagi lagi untuk kebutuhan pokok seperti bayar listrik dan internet. Terus aku sisihin juga buat jajan. Jadi kalau sudah habis, ya udah, nunggu gajian selanjutnya buat isi kantong lagi," ungkapnya.

Dengan sistem ini, Zul merasa lebih aman secara finansial. Karena pendapatannya tidak selalu stabil, ia harus berpikir jauh ke depan, memastikan ada cadangan dana untuk bulan-bulan ketika pekerjaan tidak ada.

Salah seorang Gen Z yang bekerja di salah satu perusahaan swasta di Kota Mataram Rima Dwita, juga berbagi strategi mengelola keuangan di tengah gaji yang terbatas. Meskipun gaji yang diterima setiap bulan kurang dari Rp3 juta, namun ada yang tetap sisihkan untuk investasi emas.

"Personally, aku gak begitu paham keuangan itu, lebih ke agak hemat. Kenapa? Karena aku ngumpulin duit buat beli sesuatu yang lebih besar. Misalnya, dalam enam bulan ngumpulin duit dari gaji buat beli emas atau ganti HP. Kalau banyak duitnya, lebih kepada investasi beli emas," kata Rima saat berbincang dengan IDN Times akhir Maret lalu.

Rima menjelaskan strategi yang dilakukan menghemat pengeluaran dengan gaji yang pas-pasan. Setiap bulan dia mendapatkan gaji sebesar Rp2,8 juta. Dengan gaji sebesar itu, digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membayar sewa kos dan ditabung.

"Aku kan per bulan itu dapat gaji Rp2,8 juta. Satu juta aku tabung, Rp550 ribu untuk bayar kos, ada yang dikasih ke ortu (orang tua), sisanya buat jajan. Menurutnya itu sudah hemat. Misal Rp1 juta buat jajan, kadang uang yang ku pakai itu masih sisa. Tapi kalau sisa gak kutabung, dipakai shopping," tutur Rima. Dengan gaji yang pas-pasan, kata Rima, dia juga kadang mencari kerjaan sampingan atau side job.

Pilihan untuk hidup frugal bukan berarti harus pelit pada diri sendiri dan orang lain. Yuni, alumni Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Islam di Palembang berpendapan bahwa dengan hidup hemat tetap bisa memberi kesenangan diri sendiri dengan tetap beli kopi seminggu beberapa kali.

Yuni menilai, frugal living itu cerdas memilah apa yang dibutuhkan dan tidak memaksa keinginan secara emosi. Yuni yang memang penikmat kopi, tak bisa meninggalkan kebiasaannya mengonsumsi kopi.

"Jadi lebih ke tidak membeli barang yang tidak penting. Misal lagi jalan lihat tas bagus, ada di dalam diri mau dan ingin beli. Tapi jadi mikir dua kali, kira-kira kalau beli sepenting apa? Padahal ada uangnya, lebih ke menahan diri tidak langsung saat itu mau, langsung san harus beli. Lihat batas kebutuhan," kata Yuni kepada IDN Times akhir Maret lalu.

Tak hanya Yuni, Mela karyawan swasta di Palembang menilai, konsep frugal living bukan hal baru dalam mengatur keuangan. Ia menyebut frugal living saat ini tren penyebutannya, dalam dunia media sosial (medsos). Padahal zaman dulu, orangtua dan keluarga sudah menerapkan konsep frugal living.

"Lebih ke bahasa gaul (frugal living), kalau secara bahasa sekarang, artinya hidup sederhana. Konsep ini meminimalisir hal yang tidak perlu atau kurang penting," kata dia.

Setuju dengan penerapan frugal living, dia juga menggunakan pendapatan hanya untuk hal mendesak. Pengeluarannya pun tidak untuk diri sendiri, namun berbagi dengan sekitar, membantu keluarga, dan lain-lain. Dia yang menerima gaji hasil kerja, uang itu sudah memiliki posko masing-masing untuk memenuhi kebutuhan primer tanpa harus mengejar gaya hidup.

"Jadi tidak mementingkan diri sendiri secara emosional. Lebih mementingkan kebutuhan hidup dan tidak fokus ke gengsi. Contohnya, tidak mengikuti tren seperti kalau ada baju lagi tren, aku gak beli. Jadi beli barang bukan pas lagi ramai, tapi sesuai kebutuhan," jelasnya.

Pembukuan belanja ala Gen Z

Editorial Team

Tonton lebih seru di