Negara Slow Mo pada Ekosistem Industri Animasi

"Kita berjuang di rumah sendiri, tapi kadang malah kalah pamor sama animasi luar," keluh Jacky, seorang dosen animasi di Surabaya.
Surabaya, IDN Times – Di sebuah ruang kelas yang dipenuhi layar komputer dan boneka-boneka karakter 3D, Yohana duduk termenung di depan laptopnya. Matanya nanar menatap layar penuh dengan garis-garis kurva yang membentuk gerakan karakter. Ia baru saja mengulang satu adegan sederhana, sebuah karakter kecil melompat, untuk kesekian kalinya. Tampak sederhana, tapi hasil akhir ini ia dapatkan setelah belajar bertahun-tahun lamanya.
Sebagai mahasiswa semester akhir di International Program in Digital Media (IPDM) Universitas Kristen Petra, perjalanan Yohana belajar animasi tidaklah mulus. Awalnya, Yohana lebih akrab dengan dunia ilustrasi dua dimensi. Namun, dorongan untuk mengeksplorasi dunia animasi membawanya ke animasi 3D, yang lebih kompleks dan memerlukan banyak kesiapan.
"Awalnya aku kira, ah paling tinggal gambar gerakannya saja. Tapi ternyata ngatur motion itu kompleks banget, belum lagi kalau karakter gak kelihatan natural, harus diulang terus,” cerita Yohana pada IDN Times, Jumat (25/5/25).
Tantangan itu sempat membuatnya hampir menyerah. "Capek, burnout, pernah, tapi ya dijalani saja,” tambahnya, sambil tersenyum kecil.
Namun di tengah kelelahan itu, lingkungan belajar di IPDM cukup membantunya bertahan. Kurikulum yang berbasis pada praktik industri, kesempatan magang di studio-studio animasi, dan dukungan dari dosen yang paham dinamika industri kreatif menjadi penyemangat. Yohana merasa menemukan tempat yang tepat untuk belajar.
Pengalaman Yohana mencerminkan realitas lebih besar di dunia pendidikan animasi Indonesia. Meski semangat mahasiswa tinggi, perjuangan membangun kualitas pendidikan animasi di perguruan tinggi masih penuh dengan tantangan: keterbatasan fasilitas, dukungan pemerintah, hingga tuntutan industri yang terus bergerak cepat.
Pendidikan formal animasi di Indonesia bukanlah barang baru. Bahkan, pendidikan formal animasi sudah dimulai sejak jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Namun, dibanding negara-negara seperti Jepang atau Korea Selatan, Indonesia masih dalam tahap merintis.
Ketua Program International Program in Digital Media (IPDM) Universitas Kristen Petra, Daniel Kurniawan Salamoon, S.Sn., M.Med.Kom menceritakan dinamika pendidikan animasi di kampusnya.
"Animasi di Indonesia sudah ada sejak lama. Sejak saya kuliah di Desain Komunikasi Visual (DKV) Petra 2005 sudah ada, bahkan sebelumnya sejak 1998 juga, animasi sudah diperkenalkan lewat mata kuliah pilihan. Hanya saja, selama ini eksistensinya kurang disorot. Jumbo kan meledaknya baru sekarang,” ungkap Daniel pada IDN Times, Jumat (25/5/25).
Daniel menjelaskan bahwa di Surabaya, pendidikan animasi di tingkat sarjana masih cukup langka. Program IPDM Universitas Kristen Petra menjadi salah satu program unggulan karena menawarkan jalur pendidikan internasional, yaitu mahasiswa belajar dua tahun di Petra, kemudian bisa melanjutkan dua tahun lagi di universitas mitra di Korea Selatan.
"Kenapa mengirim mahasiswa ke luar? Suka gak suka harus berani ngomong experience. Menurut kami, mahasiswa harus mendapatkan pengalaman belajar di luar,” ungkapnya.
Ia menambahkan, eksistensi program-program seperti IPDM adalah upaya untuk mengejar industri animasi yang terus bergerak cepat. Program ini lahir dari keinginan Universitas Kristen Petra untuk menjembatani minat tinggi mahasiswa terhadap dunia digital, termasuk animasi, dengan standar global.
"Kita sadar, kalau mau mahasiswa kita bersaing, mereka harus belajar langsung ke luar. Ke tempat di mana industri animasi itu benar-benar hidup,” kata Daniel. Itulah kenapa IPDM merancang program internasional, meski itu berarti beban biaya yang ditanggung tidaklah sedikit.
Setelah membedah bagaimana Petra mengembangkan IPDM, perhatian bergeser ke Universitas Ciputra (UC), yang juga menawarkan pendekatan khusus dalam pendidikan animasi lewat Program Visual Communication Design (VCD) mereka.
Evan Raditya Pratomo, S.Des., M.Ds., dosen prodi VCD UC, menjelaskan bahwa VCD UC berbasis pada empat pilar, yakni kewirausahaan, teknologi, desain, dan keberlanjutan. “Kami ingin mahasiswa bukan hanya jago gambar atau bikin animasi, tapi juga punya mindset entrepreneur dan utamanya adalah keberlanjutan,” kata Evan pada IDN Times, Kamis (24/5/25).
Ia menambahkan, kurikulum di VCD UC bersifat adaptif dan terus diperbarui mengikuti perkembangan industri kreatif, termasuk melalui kolaborasi dengan Apple Developer Academy. Bagaimana memastikan mahasiswa tak hanya menguasai teknologi terbaru, tetapi juga memahami bagaimana teknologi bisa diintegrasikan dengan desain untuk menciptakan solusi kreatif yang relevan jadi hal yang ingin diutamakan.
"Kami ingin lulusan VCD UC tidak hanya mahir secara teknis, tapi juga memiliki mindset wirausaha dan inovatif, mampu melihat peluang dari dua sisi, bukan hanya sebagai kreator tapi juga sebagai pengembang IP lokal,” ujar Evan.
Seiring meningkatnya minat terhadap dunia animasi, Universitas Negeri Surabaya (UNESA) mengambil langkah strategis dengan membuka prodi Film dan Animasi. Sebagai prodi baru, Film dan Animasi UNESA lahir dari semangat untuk menjawab kebutuhan industri kreatif sekaligus memberikan ruang bagi bakat-bakat muda untuk berkembang.
Tri Cahyo Kusumandyoko, S.Sn., M.Ds., ketua prodi Film dan Animasi UNESA mengungkapkan terkait pengembangan prodi ini.
"Penguatan storytelling dan pendekatan kultural dalam industri kreatif, khususnya animasi menjadi fokus utama kami. UNESA mendorong kolaborasi multidisiplin antara bidang DKV, teater, dan sastra untuk memperkaya kemampuan mahasiswa dalam membangun cerita yang kuat dan berkarakter. Selain mampu menghasilkan karya animasi, harapannya karya mahasiswa tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga memiliki kedalaman narasi," kata Tri Cahyo pada IDN Times, Rabu (23/4/25).
Namun, Tri juga menjelaskan bahwa keterbatasan tetap menjadi tantangan. "Hibah dari pusat, yang tidak selalu tersedia, apalagi di tengah upaya efisiensi anggaran ini tentu jadi tantangan kami. Kami terus berupaya untuk memaksimalkan pemanfaatan sarana yang ada, sembari berusaha menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas fasilitas yang tersedia,” jelasnya.
Di tengah berbagai upaya lembaga pendidikan, ada satu nada sumbang yang hampir semua narasumber sepakati, yakni peran pemerintah yang belum optimal.
Jacky Cahyadi, dosen IPDM Universitas Kristen Petra sekaligus anggota dari Asosiasi Industri Animasi Indonesia (AINAKI) mengkritik minimnya regulasi yang mendukung film animasi lokal masuk ke ruang-ruang publik, seperti bioskop atau stasiun televisi.
"Seharusnya pemerintah itu bisa membuat regulasi-regulasi yang memang bagaimana animasi itu menjadi pemain di rumahnya sendiri. Karena selama ini memang kita (Indonesia) gak punya. Misalnya aja, sekarang kalau kita mau tayangin animasi, bisanya ke mana sih?” ungkapnya kepada IDN Times, Jumat (25/5/25).
Jacky menambahkan, ada kolaborasi bagus dari pemerintah yang sempat muncul, seperti digitalisasi cerita rakyat melalui animasi, tetapi sayangnya tidak berkelanjutan. “Waktu itu semangatnya bagus. Kita dokumentasikan cerita-cerita nusantara dalam bentuk animasi. Tapi setelah ganti pejabat, ya selesai sudah,” katanya.
Padahal, menurut Jacky, menghasilkan sebuah karya animasi bukan pekerjaan mudah.
"Untuk membuat satu karya film animasi pendek berdurasi 8 menit saja, dibutuhkan SDM sebanyak 10–12 orang. Prosesnya melibatkan karantina ketat, kerja intensif, dan pengorbanan waktu hingga enam bulan penuh," terangnya.
Bagi Jacky, masalahnya bukan hanya kurangnya apresiasi, tapi juga tidak adanya arah yang jelas.
"Effort sebesar ini, passion sebesar ini, kalau tidak diarahkan lewat kebijakan dan regulasi yang mendukung, ya semuanya cuma jadi perjuangan sia-sia," tutupnya.
Belajar animasi ternyata punya makna yang jauh lebih dalam, bukan lagi sekadar urusan kreativitas atau ketekunan semata. Ada harga besar yang harus dibayar, termasuk biaya pendidikan.
Untuk menempuh pendidikan animasi, mahasiswa harus rela berinvestasi tidak sedikit. Di UNESA, Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk prodi Film dan Animasi bisa mencapai Rp8 juta per semesternya. Di UC, biaya kuliah Program VCD mencapai Rp11,7 juta per semester, belum termasuk biaya studi ekskursi sebesar Rp11–12 juta dan tugas akhir sekitar Rp5 juta. Sementara itu, untuk menempuh jalur internasional di IPDM Universitas Kristen Petra, mahasiswa perlu merogoh kocek Rp200–400 juta untuk empat tahun studi, tergantung pada program (double degree atau tidak).
Semua itu dijalani dengan satu harapan, bahwa setelah melewati perjuangan panjang, mereka akan menemukan tempat layak di industri animasi.
Namun, pertanyaan besarnya adalah, setelah semua pengorbanan ini, apa yang pemerintah kita bisa berikan? Kita membangun SDM animasi dengan usaha sendiri, dengan biaya besar, dengan semangat dan ketekunan, namun setelah itu, kita bertanya: adakah rumah untuk mereka di negeri sendiri?
Semua tentu sepakat bahwa membangun industri animasi tidak cukup hanya mengandalkan semangat komunitas atau lembaga pendidikan semata. Harus ada kebijakan jangka panjang, kolaborasi yang terarah, regulasi siaran, hingga investasi dalam teknologi pendidikan.
Meski tantangan menggunung, semangat untuk membangun masa depan animasi Indonesia tetap membara. Pendidikan menjadi fondasi utama untuk membentuk generasi kreator baru, mereka yang bukan hanya mahir teknis, tapi juga kuat dalam kreativitas dan budaya.
Jika pendidikan animasi terus diperkuat, dengan kurikulum adaptif, kolaborasi lintas disiplin, serta semangat entrepreneurship, Indonesia memiliki peluang besar untuk melahirkan karya-karya animasi berkelas dunia yang membawa identitas lokal. Film animasi Jumbo jadi titik awal yang menyadarkan kita semua, bahwa kita bisa.
Namun, mimpi ini tidak bisa bertumpu hanya pada mahasiswa dan dosen. Industri dan pemerintah harus aktif hadir, membuka ruang, membuat regulasi yang mendukung, dan membangun ekosistem yang berkelanjutan. Jika tidak, semangat besar ini hanya bisa nyala dalam api lilin kecil yang membutuhkan waktu lama untuk bersinar.
Animasi Indonesia tidak lahir dalam semalam. Sejak lama, lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia telah berjuang dalam tantangan mereka. Belajar animasi tidak lagi sekadar mengajarkan bagaimana membuat gambar bergerak, tapi mengajarkan bagaimana “bergerak” di dunia industri yang sebenarnya.