Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pelipis jurnalis Beritajatim.com memerah setelah dipukul polisi saat aksi tolak UU TNI di Surabaya. (IDN Times/Khusnul Hasana)

Surabaya, IDN Times - Seorang jurnalis Beritajatim.com, Rama Indra mendapat kekerasan dari aparat kepolisian saat meliput aksi tolak undang-undang TNI di depan Gedung Grahadi, Senin (24/3/2025). Rama mengalami sejumlah luka di bagian kepala.

Rama mengatakan, ia meliput aksi tersebut sejak pukul 14.16 WIB. Ia meliput peristiwa demi peristiwa yang terjadi, mulai massa datang, melakukan orasi, hingga penangkapan sejumlah demonstran.

Rama terus merekam peristiwa demi peristiwa yang terjadi. Saat pukul 18.28 WIB dia mengambil video pembubaran massa aksi di Jalan Pemuda.

"Saya semula berada di pinggir jalan sisi samping belakang aparat kepolisian. Barikade polisi dan polisi tidak berseragam saat itu mengejar massa aksi, hingga berlarian kejar-kejaran di ruas Jalan Pemuda," ujarnya.

Kamera handphonenya itu merekam aksi polisi menangkap dua orang demonstran. Kameranya menangkap lima hingga enam aparat memukul dan mengeroyok pendemo sampai tersungkur.

"Aktivitas polisi saat mengeroyok dua orang massa aksi itu terekam kamera handphone saya," ungkapnya.

Lalu, tiga hingga empat orang polisi menghampirinya. Mereka meminta Rama untuk menghapus rekaman video di handphone sambil memukul kepalanya.

"Tiga sampai empat orang polisi berseragam barikade dan tidak berseragam menghampiri saya, dan memaksa saya untuk menghapus rekaman video itu, sambil memukul kepala saya serta menyeret," kata Rama.

Saat itu, Rama sudah menunjukkan ID Card Pers sebagai identitas bahwa dirinya adalah awak media. Dia juga sudah mengatakan bahwa dirinya adalah reporter Beritajatim.com.

"Namun, kelompok polisi saat itu tidak menghiraukan dan mereka ini berteriak suruh hapus video pemukulan ke massa aksi. Merebut handphone saya, dan masih berteriak memanggil rekan polisi lain, bahkan handphone saya diancam akan dibanting," ungkapnya.

Kepala Rama juga dipukul beberapa kali. Di antara mereka ada yang menggunakan tangan kosong dan ada juga yang menggunakan kayu. "Kepala saya dipukul beberapa kali dengan tangan kosong dan juga kayu," ungkap dia.

Beruntungnya, ada dua orang Jurnalis yang datang dan mengatakan kepada aparat bahwa Rama adalah jurnalis. Keduanya memarahi petugas yang telah menganiaya Rama.

"Beruntung ada rekan reporter dari media lain Detik.com bersama Kumparan.com, yang saat itu datang menolong saya, dengan memarahi aparat polisi berseragam dan tak berseragam yang saat itu memiting saya," jelasnya.

Akibat aksi ini, Rama mengalami benjol di bagian kepala, luka baret di pelipis kanan dan bibir sebalah kiri lecet. "Kepala saya benjol, luka baret di pelipis kanan, dan bibir bagian dalam sebelah kiri lecet," katanya.

Selain Rama, Wildan Pratama yang merupakan Jurnalis Suara Surabaya juga mengalami intervensi dari aparat. Aparat tersebut meminta Wildan menghapus foto dokumentasi massa aksi yang ditangkap.

"Saat itu saya masuk ke Grahadi setelah aparat kepolisian memukul mundur massa di jalan Gubernur Suryo hingga ke Jalan Pemuda kemudian menangkapi sejumlah orang," sebutnya.

Wildan memotret massa aksi yang diamankan untuk memastikan berapa jumlahnya. Massa aksi yang ditangkap posisinya berada di deret belakang pos satpam Grahadi. Namun, saat memotret ada aparat mengenakan kaos hijau meminta Wildan menghapus foto.

"Dia menjelaskan bahwa massa aksi yang ditangkap masih diperiksa. Kemudian polisi itu meminta saya menghapus dokumen foto itu sampai ke folder dokumen sampah. Sehingga dokumen foto saya soal massa aksi ditangkap itu hilang," pungkas dia.

Sementara itu, Kasi Humas Polrestabes Surabaya, AKP Rina Shanty membantah adanya penganiayaan yang dilakukan polisi kepada media. "Enggak, enggak ada," ujar Rina kepada media.

Diberitakan sebelumnya, mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Surabaya turut bergabung dalam massa aksi Tolak Undang-Undang (UU) TNI di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin (24/3/2025). Ada enam tuntutan yang disuarakan dalam aksi kali ini.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ITS, Jinan Elvaretta menyebut bahwa tuntutan pertama ialah, mendesak pemerintah dan DPR untuk nencabut dan membatalkan UU TNI hingga dilakukan kajian kembali berdasarkan prinsip good governance. Kedua, menolak perluasan wewenang TNI di ranah sipil dan siber. "Ketiga, menuntut pencopotan TNI aktif dari jabatan sipil," tegasnya. 

Keempat, menuntut pemerintah untuk menjunjung tinggi prinsip good governance dalam segala proses perancangan undang-undang serta kebijakan publik. Kelima, menuntut nasib percepatan pengkajian dan pengesahan UU perampasan aset. "Keenam, menempatkan supremasi sipil sebagai prioritas utama," kata Jinan.

Editorial Team