Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Jalan Panjang Para Pencari Identitas untuk Pulang

Ana Van Valen dan Indra Jaya saat di depan rumah sewa kawasan Citraland Surabaya. IDN Times/Ardiansyah Fajar

“Saya bingung, di Belanda saya dibilang Indonesia. Tapi ketika di Indonesia, saya dianggap asing. Banyak yang tanya, dari mana? Dan itu membuat saya sedih,” ungkap Ana Maria Van Valen.

Surabaya, IDN Times - Siang itu, Ana menatap lamat-lamat foto yang terpajang di tembok rumahnya. Foto-foto itu tampak lawas. Ada potret wajah Ana semasa kecil. Senyum merekah dengan pose tangan kanan di pipinya. Tangan kirinya, dilipat bak duduk manis ala anak kecil usia taman kanak-kanak. Di sampingnya ada foto Ana, bersama keluarganya di Belanda. Bukan keluarga asli. Tapi keluarga angkat.

Iya, Ana ialah anak yang diadopsi sejak berusia 2,5 tahun. Ia lahir di salah satu desa di Bogor, Jawa Barat pada tahun 1975. Karena masih belia, ia tak tahu jelas kronologi yang dialaminya. Medio tahun 1978, tiba-tiba saja dibawa ke sebuah yayasan. Tak lama kemudian ia dibawa ke Belanda. Katanya, ada Warga Negara Asing (WNA) asal Belanda yang berminat merawatnya.

“Saya bersama anak-anak lain masuk pesawat. Sudah siap kursi masing-masing. Disuruh duduk. Sampailah kami di Belanda,” ujar Ana saat ditemui IDN Times di rumahnya di kawasan Citraland Surabaya, Jumat (25/4/2025). “Saya hanya bisa nangis. Saya nangis terus,” ungkapnya.

Tangisan Ana berlanjut sampai ke rumah barunya. Rumah orang tua angkatnya. Ana bingung dengan keadaan yang ada. Beberapa wajah baru mencoba menenangkannya. Ada jajanan hingga mainan yang ditawarkan. Itu buat penenang. Tapi, sementara. Perlahan, Ana memilih berdamai dengan keadaan. Meski malam-malamnya tetap diselimuti kegelisahan. Kangen ibu yang di desa. Di Indonesia.

Kegelisahan itu ditagih saat remaja

Ana Van Valen menatap fotonya dari masa ke masa. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Ana kecil mulai beranjak remaja. Usianya kini sudah belasan tahun. Ia lebih kritis, lebih sering bertanya asal usulnya. Diam-diam, Ana mencari identitas aslinya. Melihat itu, orangtua angkatnya tidak tega. Mereka mulai membuka fakta, menjanjikan terbang ke Indonesia jika Ana sudah cukup usia. Hari demi hari, Ana menagih janji.

Sekitar tahun 1994, Ana yang berusia 18 tahun diantar orangtua angkatnya ke Indonesia. Mereka terbang bersama. Turun di salah satu bandar udara di Jakarta. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Bogor. Beberapa berkas yang dibawa jadi rujukan, mencari alamat pasti orangtua kandung Ana.

"Ketika di sebuah desa di Bogor, kami seakan disambut warga sana. Ternyata di sana heran, selama ini tidak didatangi orang asing (WNA). Kami pun tanya dengan tentang orangtua saya. Kemudian ada yang menunjukkan, yang wajahnya mirip saya," kata Ana.

Tangis haru pecah saat Ana bertemu dengan ibu kandungnya. Pelukan erat tak ragu ia lakukan. Ia tak percaya, selama bertahun-tahun, orang yang dulu mengajaknya ke sawah, kemudian terpisah antarbenua, kini ada di depan matanya. Ia memegang erat sang ibu. Begitu pula ke sang ayah, Ana juga memeluknya erat. Ia tak menyangka kalau punya ayah. Karena di dokumen adopsinya, tidak tertera nama sang ayah. Suasana suka cita menghias isi rumah. Seolah tak mau pisah. Sayangnya, ada tembok di antara mereka.

"Saat bertemu tidak bisa saling bicara berbagi cerita. Saya terkendala bahasa,” kata Ana. Iya, saat pertama kali menginjak Indonesia lagi, Ana tidak bisa berbahasa Indonesia. Dia tumbuh besar di Belanda, maka bahasa yang dikuasainya pun Belanda. Tapi terlepas dari itu, Ana lega, bisa bertemu dengan orang tua serta saudara-saudaranya di desa. Momen itu diabadikan dalam sebuah foto yang kini terpajang di rumah kontrakan Ana di Surabaya.

Tak bisa berlama-lama dengan orang tua

Foto Ana Van Valen bersama keluarga Belanda dan Indonesia. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Niat hati Ana untuk tinggal di Indonesia, sirna. Ana sadar, identitasnya juga berbeda. Bukan hanya bahasa, ia tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) seperti orang tuanya, seperti saudara-saudaranya. Yang ia kantongi paspor dan visa, berlogo pemerintah Belanda.

Ana yang ingin berlama-lama di Indonesia, menikmati udara desa di Bogor bersama orangt ua harus beranjak pergi. Meninggalkan bumi pertiwi, untuk kembali ke negeri kincir angin. Kegelisahan pun kian menggunung. Ana sekuat hati, sekuat tenaga dan pikiran berupaya bisa kembali ke Indonesia, lagi.

Sampai akhirnya ketika beranjak dewasa, mempunyai penghasilan yang layak, Ana mengumpulkannya. Untuk bisa pulang ke Indonesia. Dia lebih nyaman menyebut perjalanan ke Indonesia ialah pulang. Karena rumahnya di Indonesia. Bukan Belanda. Tahun 2015, Ana memutuskan tinggal di Indonesia. Berbekal Bahasa Indonesia yang ia pelajari selama masa kuliah di Belanda. Akan tetapi kendala itu masih ada. Berupa visa karena statusnya WNA.

Bolak balik perpanjang visa demi Indonesia

Perjuangan Ana untuk bisa tinggal di Indonesia cukup berat. Selama setahun, ia harus bolak balik ke Singapura atau Malaysia sampai enam kali. Hanya untuk memperpanjang visa. Buku visanya pun penuh dengan stempel. Sampai petugas imigrasi di sana hafal dengan Ana.

“Dalam setahun saya bisa keluarkan uang puluhhan juta untuk perpanjang visa dan biaya perjalanan,” keluh Ana. Hanya tahun lalu, ia mendapatkan izin tinggal karena ada sponsor. Semua itu tetap ia lakukan sampai 10 tahun lamanya. Demi bisa tinggal di Indonesia. Tanah kelahirannya.

Selama di Indonesia, Ana melakukan berbagai kegiatan sosial. Membantu mempertemukan anak yang terpisah dengan orang tua atau saudaranya. Ia merasa pernah mengalaminya. Maka, ia tak ingin hal serupa dialami oleh orang lain. Ana ingin kelak menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Meski ia sendiri, statusnya belum diakui oleh Pemerintah Indonesia.

Gandeng teman sepenanggungan

Indra Jaya ketika memeriksa foto dan dokumen adopsinya. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Perjuangan Ana untuk identitasnya diakui sebagai WNI tidak sendirian. Di rumah sewanya di Surabaya, Ana juga mengizinkan temannya, Indra Jaya Leksana tinggal. Dia juga bernasib sama seperti Ana. Dibawa ke Belanda sejak bayi. Tak tahu sama sekali orangtua kandungnya.

Ketika berusia 10 tahun, Indra tahu kalau dirinya ialah anak adopsi. Sama halnya Ana, semasa kecil, ia kerap bertanya ke orang tuanya di Belanda. Sampai akhirnya, ketika berusia 10 tahun ia mengetahui kenyataan yang di luar jangkauannya. Ia adalah anak adopsi. Sedih membuncah. Indra yang punya nama Belanda, Scipio Jan Luc, kecewa.

Kesedihan itu menjadikan Indra penasaran. Ia ingin tahu, dari mana asalnya, siapa orang tua kandungnya. Ketika ayahnya di Belanda meninggal dunia, ia tak sengaja menemukan amplop pada tahun 2019. Ternyata berisi foto perempuan. Indra meyakini itu ibunya yang ada di Indonesia. Namanya Rohani. Serta beberapa berkas pendukung lain. Ada surat kelahiran dari Klinik Bidan Rosa. Dan beberapa dokumen kesepakatan adopsi sekitar tahun 1982. Ketika Indra berusia satu bulan. Sebelum dibawa ke Belanda.

"Saya di titik kesedihan mendalam sekaligus menyakitkan. Saya kehilangan ayah angkat saya yang meninggal dunia. Saya juga tidak tahu orangtua kandung saya," ungkap Indra.

Berkas-berkas itu segera dikumpulkan Indra. Ia tahu, ini semua akan bermanfaat untuk membukakan jalan bertemu orangtua kandungnya. Dalam hatinya, ada tekad besar untuk segera terbang ke Indonesia. Meski ada sejumlah kendala yang dialaminya. Seperti izin masuk ke negara tujuan, karena saat itu, virus SARS CoV-2 atau COVID-19 sedang merebak.

Berjuang mendapatkan status WNI

Indra Jaya saat menujukkan foto sang ibunda dan masa kecil di Belanda. IDN Times/Ardiansyah Fajar

Tahun 2022, Indra memberanikan diri pulang ke Indonesia. Dia dibantu Ana untuk bisa mencari keluarganya. Di Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Upaya itu tidak mudah. Tak seperti membalikkan telapak tangan. Karena ternyata, dokumen adopsi yang dipegang Indra, ialah palsu.

Indra tak patah arang. Perjalanan berliku ia tempuh. Hasilnya, ia menemukan keluarganya. Benar, di Cileunyi. Berbeda dengan Ana, yang bisa menjumpai dan memeluk ibunya secara langsung, Indra tidak demikian. Ia hanya bisa menemui sang ibu di pemakaman. Rohani, ibunda Indra, meninggal dunia pada 2016. Sebelum tiada, sang ibu pernah menitipkan pesan kepada saudaranya. "Kelak ada anak laki-laki dari Belanda yang akan pulang," ucap Indra menirukan pesan yang dibawa saudaranya.

Dari Cileunyi itu pula, Indra mendapatkan informasi. Ia selama ini punya lima saudara di Indonesia yang merupakan anak Rohani. Indra pun mulai mengunjungi satu persatu saudaranya. Tapi ada yang belum bertemu, karena merantau ke tanah Papua. Bagi Indra itu tak masalah. Dia sudah betah di Indonesia. Selama 2022 hingga kini, ia hanya balik tiga kali ke Belanda untuk mengurus salah satu usahanya.

Tapi yang jadi persoala Indra seperti Ana. Ialah masalah visa. Masa berlaku visa Indra hhanya 60 hari saja. Praktis, ia harus bolak-balik untuk mempepanjangnya. Ke Singapura. Jika dihitung, setahun bisa empat kali ke Singapura hanya untuk perpanjangan paspor. Bahkan, hanya di bandara ia langsung balik. Tidak ingin jalan-jalan. Ingin pulang saja ke Indonesia.

"Sampai Bandara Singapura seringnya langsung balik ke Indonesia," ungkapnya.

Dengan kondisi yang ada, Indra dan Ana berharap agar status WNI diberikan kepadanya. Indra sempat berpikir, jelang 80 tahun Indonesia merdeka, dirinya belum merasakan. Hak-haknya sebagai orang yang lahir di Indonesia telah dirampas. Sebagai anak kecil, ia tak punya pilihan. Kini ketika memilih dan ingin kembali, jalannya berliku. Terjal pula.

"80 tahun Indonesia merdeka, saya belum merdeka. Saya ini asli orang Indonesia. Lahir di sini, saya cinta Indonesia," tegas Indra mengungkapkan.

Indra dan Ana hanya segelintir, faktanya banyak

Ana Van Valen saat bertemu keluarganya di Bogor. Dok. Pribadi Ana.

Dua anak penyintas adopsi, Indra dan Ana hanya contoh kecil. Sekjen Komisi untuk Orang Hilang dan penyintas Tindak Kekerasan (KontraS), Andy Irfan mengungkap bahwa ada ribuan kasus yang sama. Bahkan, sebagian dari mereka ialah penyintas penculikan. Hal ini terungkap saat Andy ditemui seseorang yang merupakan perwakilan komunitas anak adopsi berstatus WNA.

"Mereka cerita hambatan yang dihadapi terikait advokasi hukum juga pencarian keluarganya," katanya.

Dari pertemuan itu, ada fakta bahwa pada tahun 1978 sampai 1980-an terjadi penculikan anak di Indonesia. Khususnya wilayah Jawa hingga Sumatera. Andy menyebut jumlahnya sampai ribuan anak. Mereka para penyintas dimasukkan ke yayasan panti asuhan secara ilegal. Kemudian dibuatkan Kartu Keluarga (KK) ilegal.

"Terus diadopsi sejumlah orangtua bukan hanya dari Belanda, tapi memang rata-rata dari Belanda. Ketika gede baru sadar kalau berbeda dengan orangtuanya dan lingkungan sekitarnya. Karena mereka ini rata - rata diadopsi di umur di bawah 5 tahun," ungkap Andy.

Dari situ, para penyintas berupaya seccara mandiri mencari orangtua maupun keluarganya di Indonesia. Seperti yang dilakukan Indra dan Ana. Sebagian memang bertemu. Tapi masih banyak yang belum. Nah, dari sini para penyintas mendesak Pemerintah Belanda untuk ambil bagian atas kasus dugaan penculikan hingga adopsi ilegal yang terjadi beberapa puluh tahun lalu.

"Pemerintah Belanda tahun 2021 itu sudah kasih respons, mereka minta maaf dengan peristiwa itu. Pemerintah Belanda juga membuka bantuan poltik dan hukum kepada penyintas," kata Andy.

Tapi, menurut Andy, upaya ini tidak efektif. Harusnya ada langkah kerja sama antarpemerintah. Dalam hal ini, Belanda dengan Indonesia. Pemerintah Indonesia bisa bergerak aktif. Melibatkan beberapa kementerian. Mulai dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum, Kementerian HAM, Kementerian Sosial dan Kementerian Dalam Negeri.

"Harusnya didorong kerja sama G-to-G, Pemerintah belanda dengan Indonesia untuk membuka tabir ini secara menyeluruh. Ini sindikat yang melibatkan lintas kota dan provinsi. Salah satu locus itu di panti asuhan, panti asuhannya saat ini beberapa masih ada," tegas Andy.

Dengan kerja sama yang baik, maka penyintas bisa mendapatkan haknya. Mulai dari bertemu dengan keluarganya, bisa menyandang kembali status WNI bagi yang memang ingin berkewarganegaraan Indonesia dan juga kepastian hukum tetap, mengikat. "Tanpa itu (kerja sama antarpemerintah), saudara kita yang ingin menemukan identitasnya akan kesulitan," kata Andy.

Hanya beri saran prosedural

Kepala Kanwil Kemenkum Jatim, Haris Sukamto. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Sementara Pemerintah Indonesia belum punya solusi terhadap persoalan ini. Para penyintas hanya diminta mengikuti prosedur yang ada. Bagi yang ingin pindah kewarganegaraan harus mengikuti aturan yang berlaku. Hal itu pernah ditanyakan langsung oleh Ana kepada kementerian terkait. Kementerian Hukum (Kemenkum) Kantor Wilayah (Kanwil) Jatim pun jawabannya sama.

"Diarahkan ke kantor saja. Biar bisa diarahkan AHU (Administrasi Hukum Umum), terkait kewarganegaraan," kata Kepala Kemenkum Jatim, Haris Sukamto saat dikonfirmasi, Sabtu (26/4/2025).

Jika berdasarkan proserdur, pindah kewarganegaraan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. WNA yang ingin menjadi WNI harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM.

Hal tersebut telah dilakukan Ana. Tapi untuk syaratnnya, Ana yang merasa kesulitan. Menurutnya, sebagai anak kelahiran Indonesia berstatus adopsi WNA, tidak seharusnya diberlakukan syarat yang susah. Adapun syarat yang dimaksud, harus tinggal di Indonesia 5 - 10 tahun. Selain itu, butuh sponsor dan biaya yang tidak sedikit. Kemudian ada juga jalur yang harus bekerja di perusahaan besar di Indonesia untuk menjadi sponsor atau menikah dengan orang Indonesia. Syarat ini membuat Ana, Indra dan penyintas lainnya seolah harus ‘membeli’ status WNI.

Pentingnya identitas diri maupun sosial

Dosen Jurusan Psikokologi Universitas Ciputra yang mempunyai kepakaran Psikologi Sosial Komunitas dan Terapan, Jony Eko Yulianto. Dok. Pribadi.

Apa yang sedang diperjuangkan oleh Ana, Indra dan anak-anak penyintas adopsi WNA di masa lampau ini merupakan sebuah kebutuhan. Dosen Jurusan Psikokologi Universitas Ciputra yang mempunyai kepakaran Psikologi Sosial Komunitas dan Terapan, Jony Eko Yulianto mengungkap soal pentingnya identitas diri.

Menurut Jony, identitas diri terbagi menjadi dua. Yakni identitas personal dan identitas sosial. Nah untuk status kewarganegaraan, masuk ke dalam kategori identitas sosial. Dalam identitas sosial, ada dua kemungkinan levelnya. "Bisa kuat sekali, bisa juga tidak terlalu kuat,” katanya via sambungan telepon, Sabtu (26/4/2025).

Lebih lanjut, Jony bilang bahwa seseorang ketika menegaskan personal diri tidak harus menyebut dirinya sendiri. Bisa saja ia menampilkan identitas sosialnya. Begitu juga cara orang untuk menilai orang lain pun sama. Tak hanya personalnya tapi juga sosialnya.

"Jadi memang kebutuhan, punya identitas itu. Baik personal maupun sosial," ungkap Jony.

Jony menambahkan, identitas sosial ini lebih banyak faktornya. Ada yang dipengaruhi internal, ada pula eksternal. Namun yang lebih dominan memang eksternal. Menurutnya, ekspektasi sosial dibentuk oleh lingkungan, zaman ke zaman, generasi ke generasi lewat cerita maupun narasi.

Akan tetapi yang dialami para penyintas adopsi WNA ini berbeda sejak kecil mereka tidak mendapatkan cerita atau narasi tentang Indonesia. Mereka bahkan menemukan dan menyadari identitasnya saat dewasa. Dorongan dari diri sendiri inilah yang membuat mereka ingin sekali menyandang status WNI.

"Secara ekstrernal identitas sosial kita direproduksi dari generasi ke generasi. Tapi perlu diingat, di satu sisi lain aspek internal punya peran besar. Dari kita sendiri punya keinginan atau cara untuk mencintai Indonesia, mencintai bangsa dengan kontribusi untuk bangsa dan negara," jelasnya. Maka tak heran, Ana dan Indra di usianya yang matang saat ini tetap berusaha keras agar menjadi bagian dari Bangsa Indonesia. Lahir, menetap hingga mati kelak di tanah leluhurnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ardiansyah Fajar
Zumrotul Abidin
Ardiansyah Fajar
EditorArdiansyah Fajar
Follow Us