Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Dosen Unair: Lima Hal Soeharto Tak Layak Jadi Pahlawan Nasional

Aliansi Jogja Memanggil menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin (10/11/2025)
Ilustrasi -Aliansi Jogja Memanggil menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Tunggul Damarjati)
Intinya sih...
  • Dosen Unair menolak Soeharto jadi pahlawan nasional
  • Soeharto dianggap mengorbankan keselamatan rakyat demi pertumbuhan ekonomi
  • Rezim Orde Baru menciptakan ketidakadilan sosial, politik, dan budaya
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Surabaya, IDN Times - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair), Airlangga Pribadi mengkritik pemberian gelar pahlawan nasional kepada presiden kedua Republik Indonesia Soeharto. Ia dengan tegas menolak Seoharto ditetapkan sebagai pahlawan.

Airlangga menilai bahwa kepahlawanan harus diteguhkan sebagai bentuk integritas negara-bangsa dan menjadi 'hakim kolektif sejarah' yang menilai apakah pikiran dan tindakan seseorang sejalan dengan tujuan fundamental berdirinya Republik Indonesia.

"Pemberian gelar pahlawan oleh suatu negara adalah bentuk pengakuan terhadap prinsip hidup, pikiran, dan tindakan dari seseorang yang sejalan dengan tujuan dari negara ini, yaitu Republik Indonesia diproklamasikan, diselenggarakan untuk rakyat, bumi, air, udara, tanah, laut bagi keselamatan semuanya!" ujar Airlangga, Selasa (11/11/2025).

Airlangga pun menganjurkan lima pertanyaan reflektif tentang pemberian gelar pahlawan Soeharto. Lima pertanyaan itu berangkat dari proposal historis Indonesia merdeka, yakni Pancasila untuk menguji kelayakan seseorang menjadi pahlawan nasional.

Pertama, kepemimpinan Soeharto mengorbankan keselamatan rakyat demi pertumbuhan ekonomi. Rezim Orde Baru dianggap menempatkan jalan pembangunan sebagai jalan kekerasan yang mengorbankan keselamatan rakyat dan sumber daya alam demi pertumbuhan ekonomi semata.

"Suatu rezim yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan dan kemerdekaan politik manusia serta kebahagiaan sosial-ekonomi-budaya rakyatnya jauh lebih rendah dari desain pembangunan yang represif dan membuka ruang sistem kekuasaan bagi pembajakan sumber daya negara bagi segelintir lapisan kelas atas yang mampu dan berkuasa (oligarki)?," ujar Airlangga.

Kedua, rezim Orde Baru membatalkan persatuan sejati demi tatanan paksaan. Soeharto dinilai membatalkan jalan politik persatuan yang bertujuan membentuk tatanan yang setara, bhinneka atau keberagam dan anti-feodalisme. Hal ini diganti dengan persatuan yang dipaksakan yang jauh dari makna sejati Indonesia.

Ketiga, Seoharto mengganti Prinsip Kerakyatan dengan 'Ningratisme'. Menurut Airlangga, tatanan kekuasaan Orde Baru dianggap tidak berlandaskan atas prinsip kerakyatan yang dibimbing oleh hikmah kebijaksanaan atau nalar publik atau akal sehat. Prinsip ini diganti dengan tata kekuasaan ningratisme yang dibimbing oleh hierarki atau bapakisme. Tujuannya disebut adalah memberantas keragaman untuk membentuk kuasa di atas rakyat yang bungkam.

Keempat, Soeharto menciptakan ketidakadilan sosial, politik, dan budaya. Rezim Orde Baru dituding menghadirkan tatanan yang timpang dan tidak adil. Hasil pembangunan dinikmati oleh segelintir kelompok bisnis, birokrasi, dan politik yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.

"Kondisi ketidakadilan budaya di mana setiap warga negara tidak mendapatkan pengakuan yang adil atas dirinya yang dalam hubungan masyarakat memunculkan lahirnya stigma-stigma untuk mengabsahkan perilaku tidak manusiawi kepada rakyat seperti: komunis, cina, kiri, sesat, bencong dan seterusnya," kata Airlangga.

"Kondisi ketidakadilan politik ketika rakyat dipisahkan dari partisipasi publik untuk terlibat dalam kebijakan bagi urusan-urusan dirinya," imbuh Airlangga.

Kelima, pemerintah Orde Baru memegang absolutisme dan membungkam Kritik. Soeharto dianggap mengabaikan kesadaran filosofis bahwa yang absolut hanyalah Tuhan. Sementara makhluk tidak bersifat absolut.

"Dengan pengabaian itu semua, rezim kekuasaan memegang absolutisme dengan menempatkan semua yang kritis terhadap dirinya sah untuk dibungkam, dihilangkan, diputus hak hidup dan kesempatan untuk hidup yang layak," jelasnya.

Kata Airlangga, lima hal tersebut haruslah menjadi perenungan untuk menilai patutkah seseorang menjadi pahlawan. Pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya berangkat dari proposal historis bagi Indonesia merdeka, Pancasila. "Oleh karena renungan-renungan tersebut, maka Soeharto bukanlah sosok yang pantas menyandang gelar pahlawan," pungkas dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Faiz Nashrillah
EditorFaiz Nashrillah
Follow Us

Latest News Jawa Timur

See More

Ada Parpol Klaim Usul Syaikhona Kholil Pahlawan Duluan, PKB: Itu Urusan Mereka!

11 Nov 2025, 20:35 WIBNews