TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kematian Ibu dan Bayi Tinggi, Pencemaran Diduga Kuat Jadi Penyebabnya

Butuh kajian lanjut secara epidemiologis

Ketua LP2M Universitas Jember Prof. Achmad Subagio. IDN Times/Istimewa

Jember , IDN Times - Angka kematian ibu dan bayi di Kabupaten Jember menjadi yang tertinggi se-Jawa Timur selama tahun 2020. Persoalan tersebut menjadi atensi setelah rilis data kematian ibu dan bayi disampaikan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pada saat serah terima jabatan bupati di Jember, Selasa (3/3/2021).

Khofifah meminta agar Pemkab Jember berkoordinasi dengan pihak akademisi untuk mencari tahu penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi di Jember.

1. Tak sekadar gizi, pencemaran lingkungan jadi salah satu penyebab kematian ibu dan bayi

Angka kematian bayi di Jember tertinggi di Jatim. IDN Times/Istimewa

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Jember Prof. Achmad Subagio mengatakan, sejak tiga tahun terakhir, Universitas Jember telah melakukan penelitian untuk mencari tahu penyebab tingginya kasus kematian ibu dan bayi.

Dari hasil beberapa studi, pihaknya menyebut ada beberapa faktor, mulai dari pencemaran lingkungan, persoalan nutrisi, hingga pernikahan dini. Namun dari beberapa faktor, pencemaran lingkungan menjadi penyebab paling utama.

"Spesifik ada cemaran, ada masalah di air, udara, maupun di lingkungan, saat ibu itu hamil. Bukan hanya soal gizi, tapi lebih ke soal pencemaran lingkungan. Kita lihat persoalan gizi bukan jadi yang utama, ketika kita teliti," ujar Subagio kepada IDN Times usai menjadi pembicara dalam kegiatan dialog publik di kantor DPRD, Kamis sore, (4/3/2021).

Baca Juga: Mahasiswa Tanya Soal Tambang di Jember, Ini Jawaban Bupati yang Baru

2. Regenerasi sel bayi tidak optimal

Angka kematian ibu di Jember tertinggi se Jatim. IDN Times/Istimewa

Subagio mengatakan, rata rata kasus kematian ibu dan bayi terjadi bukan di rumah, namun setelah dibawa ke fasilitas kesehatan seperti rumah sakit. Pihaknya kemudian mendapatkan informasi bahwa kondisi bayi dalam kandungan sudah mengalami cacat fisik akibat tidak optimalnya regenerasi sel.

"Ambulans berada di setiap desa, tujuannya agar bisa digunakan masyarakat ke rumah sakit. Tapi ternyata dari hasil evaluasi kita, untuk kematian ibu dan balita, persoalannya ketika ada ambulans itu, meninggalnya tidak di rumah, tapi justru di rumah sakit," ujarnya.

"Artinya, adanya ambulans ini menggeser tempat meninggal, ini beramakna bahwasanya ketika hamil kondisinya sebenarnya sudah ada masalah, baik anaknya maupun ibunya, jadi istilahnya cikal bakalnya sudah jelek. Dibawa pun, diselamatkan dengan itu juga tidak selamat," katanya.

Subagio menjelaskan, persoalan gizi atau nutrisi tidak menjadi penyebab utama terganggunya regenerasi sel bayi. Pihaknya memastikan bahwa pencemaran lingkungan menjadi penyebab terganggunya regenerasi sel.

"Karena kalau gizi, tidak sampai membuat cacat bawaan, itu terjadi karena regenerasi sel tidak berjalan sempurna. Terganggunya regenerasi sel karena pencemaran lingkungan itu tadi," ujarnya.

"Sampai sekarang kita masih melakukan kajian, kenapa ibu yang hamil itu bermasalah, ternyata banyak sekali kejadian atau kasus, apa namanya, cacat bawaan. Begitu lahir cacat bawaan, baik itu mulai dari bibirnya sumbing, kepalanya gak ada mohon maaf, tangannya gak ada, dan seterusnya," tambahnya.

3. Butuh kajian lengkap secara epidemiologis

pexels.com/pixabay

Subagio belum bisa menyebutkan secara spesifik penyebab pencemaran lingkungan apa. Namun, yang jelas pencemaran tersebut berkaitan dengan aktivitas masyarakat di sektor pertanian. Pihaknya terus melakukan penelitian secara epidemiologis untuk membuat kesimpulan.

"Cacat bawaan ini kita duga ada persoalan lingkungan, ini yang kita pelajari, kita belum bisa merilis lingkungannya apa, tapi kita sudah punya beberapa dugaan. Jadi Ibu ini berhubungan dalam konteks sosial membantu suami yang pekerjaannya sebagai petani. Jadi yang membuat kami semakin kuat ada indikasi ke situ," ujarnya.

"Kita menduganya sudah sejak 3 tahun yang lalu, tapi sampai sekarang kita masih mengumpulkan beberapa penelitian kecil, karena itu sifatnya harus epidemiologi, karena kita tidak bisa menyimpulkan itu," tambahnya.

Baca Juga: Penelitian Unej, Rata-rata Warga Jember Hanya Lulusan SD

Berita Terkini Lainnya