Pakar Ekonomi Unair: Redenominasi Picu Inflasi hingga Dampak Psikologis

- Pakar Ekonomi Unair: Redenominasi bisa picu inflasi dan dampak psikologi
- Redenominasi dinilai tidak mendesak dan berisiko bagi perekonomian nasional
- Kondisi fiskal global labil, perbankan belum optimal untuk mendukung kebijakan redenominasi
Surabaya, IDN Times - Rencana redenominasi disebut bisa memicu inflasi hingga dampak psikologis. Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar bidang Ekonomi Moneter dan Perbankan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Wasiaturrahma SE MS.
Menurutnya, langkah redenominasi dinilai tidak terlalu mendesak dan justru menyimpan sejumlah risiko bagi perekonomian nasional. Terutama di tengah ketidakpastian global yang hingga saat ini masih dirasakan sebagian besar masyarakat.
"Tidak ada urgensinya. Sektor bisnis tidak ada yang komplain dan bilang harus redenominasi. Malah bahaya karena banyak barang-barang yg harganya masih seribu dua ribu. Kalo seribu jadi seperak, barang-barang itu susah naik secara pecahan. Akibatnya kalo naik bisa menyebabkan inflasi,” ujarnya, Senin (17/11/2025).
Lebih lanjut, Prof Rahma juga mengingatkan adanya dampak psikologis yang tidak boleh terabaikan. Sebab, redenominasi berisiko menimbulkan persepsi kemiskinan yang mendadak di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.
“Juga jangan lupa dampak psikologisnya. 190 juta rakyat kita masih hidup dengan 50 ribu perak per hari. Kalo 50 ribu jadi 50 perak mereka bisa merasa tiba-tiba jadi ‘miskin’ sekali,” jelasnya.
Tantangan terberat lainnya adalah kondisi stabilitas ekonomi global yang masih labil. Prof Rahma menyoroti kondisi fiskal banyak negara, termasuk Amerika Serikat yang defisitnya mencapai enam persen.
“Probability US bakal resesi memang cuma 30 persen. Tapi itu angka yang tinggi untuk Wall Street. Ini akan berdampak pada ekonomi Indonesia. Ekonomi belum stabil, pertumbuhan, inflasi dan tekanan eksternal, persoalan struktural domestik masih rentan dan uncertainty,” sebutnya.
Ia juga menuturkan peran perbankan dan lembaga keuangan masih belum optimal untuk mendukung keberhasilan kebijakan ini. Kegagalan dalam sosialisasi dan transisi justri berisiko merusak kepercayaan publik.
“Karena publik apalagi orang awam menganggap redenominasi ini sebagai bentuk pemotongan uang atau biasa disebut sanering. Justru nanti membuat panic buying pada masyarakat,” ungkapnya.
Ia pun berpesan kepada pemerintah untuk tidak terburu-buru dalam melontarkan wacana yang mampu memunculkan keresahan publik. “Saat ini publik mengurus untuk kestabilan keuangan dalam rumah tangganya masing-masing akibat pelemahan pertumbuhan ekonomi dan tidak tersedianya perluasan kesempatan kerja baru,” pungkasnya.

















