Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

[OPINI] Militerisasi Ruang Digital Mengabaikan Tata Kelola Internet

ilustrasi orang mengakses internet (pexels.com/Alex P)
ilustrasi orang mengakses internet (pexels.com/Alex P)

Pada 20 Maret 2025, masyarakat Indonesia menyaksikan perubahan dari rezim demokrasi menjadi rezim otoriter dengan diberlakukannya amandemen Undang-Undang TNI (Tentara Nasional Indonesia). Kekhawatiran terbesar dari Undang-Undang TNI yang baru adalah pengembalian dwifungsi militer yang justru lebih banyak menimbulkan dampak negatif, terutama terkait dengan perlindungan hak asasi manusia. Undang-Undang TNI yang baru memberikan kewenangan yang lebih luas kepada militer Indonesia, termasuk pengawasan dunia maya. Beberapa ketentuan dalam undang-undang baru tersebut berpotensi merugikan hak digital, seperti kebebasan berekspresi, hak privasi, dan hak atas informasi.

Dalam draf akhir Undang-Undang TNI, Pasal 7 Ayat 2b menyebutkan bahwa salah satu fungsi utama TNI adalah Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menerima usulan dari kelompok masyarakat sipil untuk menambahkan “ketahanan siber” dalam ketentuan tersebut, bukan “pertahanan siber.” Padahal, hal itu mungkin belum cukup, mengingat Pasal 7 Ayat 1 Angka 8 mengatur bahwa Presiden mempertimbangkan ancaman lain melalui Peraturan Presiden, bukan melalui kebijakan negara, yakni kewenangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang menyeimbangkan kewenangan badan-badan negara, bukan semata-mata dari sudut pandang Presiden.

Militerisasi dunia maya seolah “dibenarkan” dengan dalih perlindungan keamanan nasional. Namun, sektor ini mau tidak mau berbenturan dengan kebebasan individu, serta bertentangan dengan kewajiban hak asasi manusia negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. Meskipun negara seharusnya menjadi yang pertama menetapkan peraturan perundang-undangan terkait isu seperti keamanan nasional, keterlibatan warga negara tetap sangat dibutuhkan untuk fungsi pengawasan atas program dan kebijakan negara. Kontrol informasi yang berlebihan akan berdampak buruk pada kebutuhan dasar warga, bahkan dalam kondisi kritis, dimana negara seharusnya bisa bekerjasama dengan banyak pihak. Contoh terbaru di gempa Myanmar bulan Maret lalu, menunjukkan akibat buruk pada evakuasi dan mitigasi bencana alam.

Kekhawatiran masyarakat sipil tentang militerisasi dunia maya bisa dimaklumi, mengingat UU TNI yang diamandemen, akan mengambil alih perspektif utama ketahanan dunia maya melalui peran tentara dalam operasi dunia maya yang menargetkan sistem komputer dan elektronik serta perang informasi dunia maya. Yang pertama berfokus pada infrastruktur digital, sedangkan yang kedua berfokus pada perilaku manusia dalam mengonsumsi dan menyebarkan informasi. Potensi bahaya terhadap kebebasan sipil tercermin selama proses penyusunan undang-undang, yang mencakup daftar isu potensial yang dianggap sebagai ancaman, seperti manipulasi sosial, pencemaran informasi, dan narasi dengan ekspresi yang berlebihan.

Kekhawatiran publik bersinggungan dengan isu yang muncul tentang kekacauan informasi. Di era digital, penyebaran misinformasi dan disinformasi menyebabkan polarisasi dan diskriminasi politik, yang diperkuat oleh media sosial, yang telah menjadi sumber utama informasi, termasuk informasi yang benar dan salah. Melalui UU TNI yang baru, undang-undang tersebut tidak hanya memberikan kewenangan yang lebih besar dalam memutuskan informasi mana yang benar, tetapi juga mengabaikan potensi membekali warga negara dengan literasi digital yang mengarah pada ketahanan digital.

Seiring dengan kebutuhan akan literasi digital, diperlukan tata kelola lintas sektor yang membekali keterampilan literasi digital dan menyeimbangkan hak asasi manusia. Namun, pendekatan militer dalam mengendalikan informasi akan memengaruhi potensi pendekatan dan tata kelola multipihak, terutama mengingat kurangnya konsensus tentang definisi misinformasi dan disinformasi dalam kerangka hukum saat ini, yang memengaruhi perlunya regulasi yang kuat untuk mengurangi risiko dan kerugian dari kekacauan informasi.

Selain itu, UU TNI yang baru, dalam Pasal 47 Ayat 1, memperluas peluang bagi anggota militer aktif untuk menduduki jabatan di lembaga pemerintah yang mengatur ruang siber, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) atau Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Komdigi). Sayangnya, ini adalah contoh lain bagaimana militer akan mengambil alih ruang sipil yang potensial, yang memengaruhi ketahanan siber sebagai bagian dari komando, bukan kesadaran alami masyarakat, yang membawa dampak negatif.

Masalah lain terkait tata kelola internet adalah bagaimana UU TNI yang baru berpotensi menciptakan tumpang tindih tanggung jawab dengan lembaga pemerintah lainnya. Peran militer yang lebih luas di dunia maya akan meningkatkan kompleksitas masalah tersebut. Selain tidak adanya ukuran kualitatif untuk menilai ancaman terhadap negara, yang pada akhirnya merugikan hak asasi manusia, “tanggung jawab” baru tentara dapat tumpang tindih dengan peran otoritas pemerintah lainnya, seperti Kementerian Komunikasi dan Digital. Tata kelola regulasi yang lemah dapat mengaburkan tujuan negara dan menghambat perlindungan warga negara.

Pada akhirnya, meskipun pemerintah telah membantah potensi masalah dwifungsi dan militerisasi dunia maya, satu fakta penting yang tidak boleh diabaikan, adalah internet dan akses terhadapnya merupakan kebutuhan dasar masyarakat, yang pengelolaannya tidak hanya menjadi tugas pemerintah dan militer. Ketahanan dunia maya harus diatur dalam pendekatan multi-sektoral, menghadirkan ketahanan di era digital yang berkelanjutan, bukan sebagai konsep yang dipaksakan dari atas ke bawah.

 

Eka Nugraha Putra

Peneliti di Centre for Trusted Internet and Community - National University of Singapore dan Fellow Indonesia School on Internet Governance 2025

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Faiz Nashrillah
EditorFaiz Nashrillah
Follow Us