Ancaman Dampak Polusi Udara di Balik Pengolahan Sampah PLTSa Benowo

- PLTSa Benowo menghasilkan asap dan partikel berbahaya
- Kualitas udara di sekitar PLTSa melebihi ambang batas WHO
- Pemerintah membantah hasil penelitian Walhi Jatim tentang kualitas udara
Surabaya, IDN Times - Aroma tak sedap menyambut dari kejahuan. Gunungan sampah berwarna hitam dengan corak warna-warni tak beraturan terlihat dari Jalan Jawar, Surabaya. Di antara tumpukan itu tampak asap putih pekat keluar dari cerobong bangunan modern lalu menghambur ke udara. Di sudut lain, truk-truk pengangkut yang berdesakan masuk. Mereka membawa puluhan ton sampah. Sampah-sampah itu akan berakhir di gunungan, sebagian lagi masuk dalam sebuah gedung yang lebih mirip seperti pabrik untuk diolah menjadi bahan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau PLTSE. Ini adalah pemandangan harian di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo.
Di bawah langit yang sudah mulai tertutup warna birunya, ada puluhan orang yang sibuk mengais sisa-sisa kehidupan dari jutaan warga Surabaya. Mereka mengumpulkan berbagai macam barang bekas untuk dijual. Rumiati (51) salah satunya. Ribuan lalat mengerubungi tubuhnya, tapi Rumiati tak peduli, ia tetap bekerja hingga sampah-sampah bernilai itu terkumpul banyak dalam keranjangnya. “Kerja mulai jam 6 pagi sampai jam 5 sore, dapatnya tidak tentu paling sehari Rp80-100 ribu, gak cukup ya dicukup-cukupin (untuk kebutuhan sehari-hari),” ujar warga asli Lamongan itu.
Sudah 20 tahun lebih Rumiati bergelut dengan sampah, ia menjadi saksi transformasi TPA Benowo. Dari yang semula sampah-sampah itu hanya ditimbun saja menjadi gunungan, hingga kemudian pada 2015 silam PLTSa dibangun dan sampah pun berakhir menjadi tenaga listrik.
Asap tebal keluar dari cerobong PLTSa yang jadi ancaman baru kesehatan tubuhnya tak Rumiati hiraukan. Baginya, kesehatan nomor sekian, yang penting ia bisa tetap mengais uang untuk memenuhi kebutuhan. “Gak (gak masalah dengan asap dari PLTSa), aman, sudah biasa, memang kerjanya seperti ini, nak,” kata Rumiati sembari tetap sibuk memilah gelas plastik.

Bila Rumiati yang sehari-hari paling dekat dengan cerobong PLTSa Benowo tak begitu peduli dengan kesehatannya. Lain halnya dengan Diva (24). Kehadiran, PLTSa Benowo justru menjadi ancaman baru baginya dan masyarakat yang tinggal di sekitar PLTSa. “Menurut saya bisa menjadi ancaman jika pengelolaannya tidak dilakukan dengan benar, terutama dalam hal pengendalian emisi dan limbah,” ujar Diva.
Rumah tinggal Diva memang berjarak beberapa kilometer dari PLTSa Benowo, tapi asap putih tebal yang keluar dari cerobong PLTSa itu menghambur ke udara lalu tertiup angin. Bisa jadi partikel-partikelnya jatuh di pemukiman sekitar, termasuk tempat tinggal Diva. “Potensi pencemaran udara dari asap pembakaran sampah, yang bisa mengandung zat berbahaya seperti dioksin dan furan. Selain itu, bau tidak sedap, kebisingan, dan risiko kesehatan jangka panjang seperti gangguan pernapasan juga menjadi kekhawatiran. Ada juga potensi penurunan kualitas lingkungan di sekitar area pemukiman,” jelasnya.
Meski begitu, Diva yakin bila proses pengolaan PLTSa dilakukan dengan teknologi yang tepat, maka pencemaran itu bisa diminimalisir. “Namun jika teknologinya modern, dan pengawasannnaya ketat, ancaman bisa diminimalisir, jadi ancamannya tergantung pada bagaimana pengoprasiannya dijalakan,” kata Diva.
Ancaman kesehatan di balik sisa-sisa pembakaran PLTSa Benowo itu bukan tanpa sebab, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur (Walhi Jatim) kualitas udara di sekitar PLTSA Benowo, rata-rata Particulate Matter 2.5, yaitu partikel udara halus yang berukuran 2,5 mikrometer atau biasa disingkat PM2.5 mencapai 26,78 µg/m³, hampir dua kali lipat dari batas harian WHO dalam Global Air Qualiy Guideline sebesar 1526,78 µg/m³.
Bahkan dalam beberapa titik pemantauan, nilai PM2.5 melampaui 100 µg/m³, yang tergolong sangat bahaya. Kemudian untuk PM10 juga demikian , konsentrasi puncak PM10 mencapai 150 µg/m³. Mengacu pada standart nasional berdasarkan Baku Mutu Nasional yang tercantum dalam PP nomor 22 tahun 2021 untuk PM2.5 batas ambangnya adalah 55 µg/m³, sementara PM10 adalah 75 µg/m³.
“Penelitian pemantauan kualitas udara di sekitar TPA Benowo dilakukan sejak November 2024 sampai Januari 2025. Pantauan dilakukan menggunakan alat AirBeam3 dengan metode stasioner dan mobile,” ujar Direktur Walhi Jatim, Wahyu Eka.
Wahyu menyebut, lonjakan partikel-partikel ini terutama terekam pada jam-jam operasional insinerator, memperkuat dugaan bahwa sumber utama pencemaran adalah proses pembakaran sampah di PLTSa.
Mayoritas hari selama masa pemantauan menunjukkan kualitas udara berada pada zona kuning (sedang), oranye (tidak sehat bagi kelompok sensitif), hingga merah (tidak sehat bagi semua kelompok). “Hanya 11 persen hari untuk PM10 dan kurang dari 4 persen hari untuk PM2.5 yang berada dalam kategori baik,” ungkap dia.
Ancaman dampak polusi udara dari PLTSa Benowo itu nyata. Pakar Kesehatan Pernafasan Universitas Airlangga (Unair), Alfian Nur Rosyid mengatakan, pengoperasian insenerator di PLTSa dapat menghasilkan partikel kecil yang bisa melayang ke udara dan terhirup masuk ke dalam paru.
“Partikel kasar bisa berupa debu, abu, jelaga, serpihan tanah, polutan udara dapat masuk ke saluran napas atas mulai hidung, tenggororokan, trakea dan bronkus atau saluran napas besar,” ujarnya.
Menurut Alfian, partikel ini berbahaya dan akan berdampak terhadap kesehatan pernapasan. “Partikel halus lebih berbahaya lagi karena dapat masuk saluran napas yang lebih dalam dan kecil, bahkan masuk ke peredaran darah memicu radang kronis pernapasan dan kerusakan pembuluh darah,” ungkap dia.
Penyakit yang dapat ditimbulkan dari aktivitas itu adalah akut dan kronis. Gejala akut setelah terhirup partikel ini adalah batuk, pilek, nyeri telan, tenggorokan gatal, dahak, bahkan sesak napas dan serangan asma. Dampak kronis dari pajanan berulang dapat terjadi bila terhirup secara rutin setiap hari, terutama bagi pekerja atau warga sekitar sumber polusi. Penyakit yang ditimbulkan seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), asma kronis, kanker paru, bahkan juga penyakit pembuluh darah seperti jantung dan stroke.
“Partikel berbahaya yang sangat lembut dapat juga berdampak terhadap janin, bila sang ibu hamil menghirup partikel berbahaya secara rutin jangka panjang,” ungkap dia.
Alfian nenuturkan, orang di sekitar sumber polutan dari cerobong asap memiliki dampak kesehatan terutama pernapasan yang lebih tinggi dibandingkan orang di luar area sumber polutan. Penduduk dengan radius sekitar 1 kilometer akan mengalami dampak polusi udara yang lebih tinggi dibandingkan warga yang lebih jauh.
“Problem kesehatan akan dapat diamati dari data kunjungan fasilitas kesehatan setempat, dengan peningkatan kasus ISPA dari warga sekitar sumber polutan,” terangnya.
IDN Times pun menelusuri korelasi antara pencemaran udara yang ditimbulkan dari aktivitas PLTSa tersebut terhadap kondisi kesehatan masyarakat setempat. Masyarakat yang tinggal di wilayah itu mayoritas berada di Kecamatan Pakal, Puskemas utama kecamatan ini adalah Puskemas Benowo.
Hasil penelusuran IDN Times, kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit yang paling sering dikeluhkan pasien Puskesmas. Bahkan, menjadi penyakit nomor satu di Puskesmas Benowo.
Kepala Puskesmas Benowo, dr Aloysius Tri Joehanto merinci pada September 2025 saja jumlah kasus ISPA di Puskesmas tersebut mencapai 512 kasus. Kemudian, ada juga kasus radang tenggorokan dengan 250 kasus. “Ya memang di sini 10 penyakit terbanyak memang batuk pilek, bahkan menjadi nomor satu,” kata dia.
Sayangnya, Joe juga tak bisa menunjukkan data penyakit ISPA di wilayahnya selama kurun waktu beberapa tahun terakhir. “Datanya ada, tapi saya tidak bisa kasih,” ungkap Joe.
Dirinya juga tak bisa memastikan apa penyebab utama ISPA menjadi penyakit nomor satu di wilayah tersebut. Yang jelas banyak masyarakat di Kecamatan Pakal mengeluh soal bau sampah dari TPA. “ISPA ini kan faktornya banyak ya, polusi juga masuk bagian dari faktor, bisa alergi, mungkin karena cuaca dingin, kena debu dan polusi kendaraan,” katanya.
Joe tak menampik, kemungkinan kasus ISPA di wilayahnya juga karena dampak dari polusi udara yang dikeluarkan dari sisa-sisa pembakaran PLTSa. Namun demikian, hal tersebut perlu dibuktikan melalui penelitian.
“(Pembakaran PLTSa jadi faktor kasus ISPA) bisa jadi iya, tapi ya belum tentu, karena dia kan ke atas kemudian turun ke bawah, apakah tertiup angin terus ke mana gak tahu, yang jelas rata-rata penyakit pilek dan radang tenggorokan ini akut ya, kalau saya melihat sih bukan dari situ. Kalau soal pembakaran PLTSa kita belum tahu ya karena kan asapnya ke atas,” tutupnya.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan Puskemas lain, yakni Puskemas Sememi, angka kasusnya lebih sedikit dari Kecamatan Pakal. Pada bulan September 2025 saja kasus ISPA yang dikeluhkan pasien puskemas di wilayah tersebut hanya 101 kasus.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Nanik Sukristina ketika dimintai data soal kasus ISPA di Kota Surabaya selama 5-10 tahun terakhir tidak memberikan data. Namun Nanik menyebut bahwa kasus ISPA di Surabaya menunjukkan tren yang cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun. Fluktuasi ini sangat dipengaruhi oleh perubahan musim, kondisi lingkungan, serta dinamika kepadatan dan mobilitas penduduk kota metropolitan. “Kondisi kualitas udara dan kepadatan penduduk turut berperan dalam mempercepat penularan kasus ISPA,” ujar dia.
PT Sumber Organik, pengelola PLTSa Benowo menyatakan bahwa residu gas buangan dari sisa-sisa aktivitas PLTSa Benowo, Muis mengatakan kualitas udara sisa-sisa buangan sudah sesuai dengan ketentuan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) No. 15 Tahun 2019. Namun, ia tak bisa menunjukkan datanya. “Sudah sesuai, waduh saya tidak hafal (angka kualitas udara di sekitar PLTSa Benowo),” ungkap Manager Operasional Muis Yulianto.
Menurut Muis, sampah yang masuk di setiap harinya 1600 ton. 1000 ton diubah menjadi energi listrik melalui teknologi gasifikasi yang menghasilkan listrik 9 MW, dan 600 ton dengan teknologi landfill yang bisa menghasilkan listrik 1,65 MW, dengan kapasitas maksimal 2 MW. Dari total 11 MW, 9 MW dijual ke PLN sementara sisanya untuk operasional PT SO. Harga listrik yang dijual ke PLN sesuai dengan Permen nomor 19 tahun 2019. Sampah yang masuk ke PLTSa Benowo adalah seluruh jenis sampah rumah tangga. Baik organik maupun anorganik, kecuali sampah perabotan. Seluruh sampah yang masuk tanpa melalui proses pemilahan. “Sampah rumah tangga dan sejenisnya, iya sampah rumah tangga dan sejenisnya semuanya. Jadi semuanya masuk. (Sampah perabotan) enggak bisa,” ujarnya saat ditemui di PLTSa Benowo, pada Selasa (7/10/2025) lalu.
Muis nenyebut, sisa-sisa aktivitas PLTSa menghasilkan dua residu, yakni Fly Ash dan Bottom Ash (FABA). “Faba itu Fly Ash dan Bottom Ash, kalau Bottom Ash itu digunakan untuk urukan, kalau fly ash itu nanti akan diolah sendiri di kita,” ungkap dia.
Hal senada juga disampaikan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya, Dedik Irianto mengatakan, berdasarkan uji kualitas udara terbaru yang dilakukan oleh laboratorium terakreditasi, emisi yang dihasilkan PLTSa Benowo berada jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan pemerintah.
Pengujian ini melibatkan parameter debu partikulat PM2.5 di area sekitar cerobong dan permukiman, serta emisi dari cerobong PLTSa itu sendiri. Rangkuman dari pengujian tersebut, antara lain pengujian di titik buang aktif atau di dekat cerobong (827 meter dari cerobong) sebesar 3,9 µg/Nm³ dan di titik buang tidak aktif (448 meter) sebesar 2,8 µg/Nm³. Angka ini jauh di bawah baku mutu udara ambien yang ditetapkan, yaitu 55 µg/Nm³ melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2021.
“Kemudian pengukuran di permukiman Jawar (1,2 km dari TPA Benowo) menunjukkan kadar PM2.5 sebesar 1,6 µg/Nm³. Ini membuktikan bahwa lingkungan permukiman tetap aman dari paparan emisi,” ungkap Dedik.
Selain itu, ujar Dedik, emisi yang dihasilkan dari tiga boiler PLTSa terpantau sangat rendah. Boiler 1 tercatat 2,0 mg/Nm³, boiler 2 sebesar 3,5 mg/Nm³, dan boiler 3 sebesar 2,5 mg/Nm³. Angka-angka ini jauh di bawah baku mutu yang ditetapkan, yaitu 120 mg/Nm³ sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) No. 15 Tahun 2019.
“Lalu, emisi dari LFG 1 sebesar 4,7 mg/Nm³ dan LFG 2 sebesar 1,4 mg/Nm³. Kedua hasil ini juga berada jauh di bawah baku mutu yang ditetapkan, yaitu 95 mg/Nm³ melalui PermenLHK No. 11 Tahun 2021,” imbuhnya.
Alih-alih mencari solusi dari dampak yang ditimbulkan dari aktivitas PLTSa Benowo, Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi mengatakan teknologi PLTSa Benowo akan beralih dari gasifikasi ke insenerasi. Insenerasi dianggap sebagai teknologi terbaru yang diklaim mengeluarkan emisi rendah daripada menggunakan gasifikasi.
Eri belum bisa menjamin udara yang keluar dari insenerator 0 emisi. Tetapi ia memastikan, emisi dari insenerator lebih rendah daripada gasifikasi.
“Saya kurang tahu ya karena insinerasi bukan di ini, tapi yang pasti mungkin residunya lebih rendah daripada residu menggunakan gasifikasi. Jadi itu yang masih digerakkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian PU dan Menkopang sekaligus dengan Danantara,” ungkap dia
Penggantian gasifikasi ke insenerasi ini akan dilakukan antara tahun 2027 atau 2028. Pendanaannya berasal dari Danantara. “Insinerasi untuk perpresnya itu ada di 10 kota selain Surabaya ya, yang menghasilkan sampah 10 ton per hari, maka itu dikerjakan selama 2 tahun. Berarti insinerasi ini baru berjalan Insyaallah di sekitar tahun 2027 atau 2028,” pungkas dia.

















