TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Pustakawati Nuning Haryati, Pahlawan Literasi Banyuwangi

Benteng terakhir literasi adalah pustakawan, kalian berjasa!

IDN Times/Reza Iqbal

Banyuwangi, IDN Times - Mengenakan pakaian oranye berbalut kerudung dengan warna yang sama, Nuning Haryati nekat maju ke panggung menghampiri Najwa Shihab. Kala itu Nana, sapaan akrabnya, tengah berbicara di hadapan peserta Indonesia Writers Festival 2018 yang diselenggarakan oleh IDN Times di Jiwa Jawa Resort, Banyuwangi, Jawa Timur. 

Ibu berusia 39 tahun itu berani menghampiri Najwa untuk menyampaikan segala keluh kesahnya sebagai seorang pustakawati. Maklum saja, ia mengagumi Najwa, sebab putri dari Quraish Shihab itu adalah duta baca Indonesia. 

Di hadapan Najwa, tenaga pendidik di SMAN 1 Genteng Banyuwangi ini menceritakan kali pertama dia terpanah dengan untaian kata khas Najwa. "Saya kagum dengan mba Najwa yang bilang jika bangsa yang besar selalu menghormati pahlawan, bangsa yang maju niscaya menghargai pustakawan. Sebab menjadi pustakawan adalah kehormatan, pustakawan mengabdi pada ilmu pengetahuan," kata Nuning Jumat (24/9). 

Tidak lama setelah untaian itu terlontar dari sang pustakawan, ia tetiba berhenti berucap dan menitikkan air mata. Dia terharu dengan kata-kata inspirasi yang ditulis Najwa. Akhirnya, Najwalah yang menyelesaikan puisi itu sambil memeluknya. Seketika suasana malam semakin syahdu. 

"Karena memang pustakawan itu dipandang sebelah mata mba. Padahal pekerjaan ini sangat mulia. Saya juga sudah memberikan emas kepada Banyuwangi mba," lanjut Nuning disambut tepuk tangan para penonton. 

1. Nuning memulai pekerjaannya sebagai perawat

Pixabay/DarkoStojanovic

Sebelum menjadi penjaga markas literasi, Nuning merupakan seorang perawat di rumah sakit. Ia pernah bertugas sebagai pegawai Unit Kesehatan Sekolah (UKS) di SMAN Genteng Banyuwangi. Ia juga aktif di Palang Merah Remaja (PMR) hingga berhasil mengantarkan siswa-siswinya pada perhelatan Jembara Nasional di Makassar. 

Kepada IDN Times, Nuning mengakui keinginannya untuk menjadi pustakawati merupakan panggilan hati. Ia melihat suatu fenomena yang dirasanya janggal, yaitu banyaknya petugas pengelola perpustakaan yang tidak pernah mengampu ilmi keperpustakaan. 

"Akhirnya saya mengambil kuliah lagi di Universitas Terbuka tahun 2012 jurusan ilmu keperpustakaan. Keinginan ini juga karena saya suka menulis," terang dia. 
 

Baca Juga: Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat Baca

2. Nuning harus menjaga sang anak

Ilustrasi oleh Rappler Indonesia

Alasan kedua mengapa Nuning terjun ke dunia literasi adalah keterbatasan yang dimiliki anaknya. "Anak saya yang kedua ini autis mas dan suami tidak mengizinkan kerja di rumah sakit," sambungnya. Karena itulah sang suami meminta istrinya untuk memiliki waktu lebih kepada anaknya. 

Hingga suatu hari, Nuning meneguhkan hatinya untuk mengikuti tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) pada 2014. Nuning pun diterima sebagai PNS melalui jalur K2.  "Alhamdulillah saya dikasih sehat dan diterima sebagai PNS untuk mengelola perpustakaan sekolah."

3. Perhatian terhadap pustakawan di Indonesia masih sangat kurang

IDN Times/Reza Iqbal

Bersama perpusatakaan yang dikelolanya, ia telah berhasil memberikan banyak medali kepada Banyuwangi. Bisa dibilang ia merupakan salah tenaga kependidikan yang memiliki kontribusi banyak terhadap bangsa ini. 

Kendati sudah banyak menorehkan prestasi untuk sekolah dan Banyuwangi, termasuk memenangi banyak kompetisi, harapan Nuning ia ingin mendapatkan lebih dari sekadar penghargaan simbolis. Ia ingin pemerintah lebih memperhatikan profesi seorang pustakawan. 

"Setahu saya, ini mau menghadapi tes CPNS. Untuk formasi pustawakan sangat minim, apalagi di kabupten dan kota bahkan tidak ada sama sekali untuk formasi ini, padahal dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan semakin maju," beber dia. 

Baca Juga: Kamu Gak Akan Menyangka Kalau Perpustakaan Terbaik ASEAN ini Ada di Indonesia

Berita Terkini Lainnya